Minggu, 25 Januari 2015

RAGA DAN ROH

(Penghargaan bagi Prof. dr. Bambang Wirjatmadi, MS,MCN, Ph.D, SpGK)

Dalam kehidupan nyata, kita bisa menemukan penegak hukum berperilaku bandit. Ia seharusnya menegakkan kebenaran, keadilan dan memerangi kejahatan. Malah ia sendiri yang menjadi penjahatnya. Bisa dibayangkan betapa rumitnya menghadapi situasi seperti ini. Apalagi bila sang penegak hukum memiliki pangkat tinggi  dan jabatan strategis.

Pada kesempatan lain kita menemukan agamawan yang berperilaku tidak sesuai dengan apa yang selalu dikatakannya saat berkotbah. Hidup sehari-harinya lebih sering bertentangan dengan keyakinan mulia yang diajarkannya.

Sebaliknya ada orang-orang yang tergolong jahat seperti pelacur, rampok, dan lintah darat mampu berbuat baik dengan tulus. Mereka melakukan kebaikan dengan kesungguhan tidak dengan niat agar disebut orang baik.

Inilh realitas manusia sejak dulu kala di berbagai tempat di dunia ini. Dunia manusia diisi orang baik dan jahat. Orang baik bisa berbuat jahat. Sebaliknya orang jahat bisa berbuat baik.

Secara hakiki tidak ada orang suci. Sebab semua manusia pasti pernah berbuat khilaf dan salah, sekecil apapun. Dalam realitas seperti ini, sebutan orang baik tidak memiliki arti orang tersebut tidak pernah berbuat salah. Namun, ia lebih banyak berbuat kebaikan daripada kesalahan atau kejahatan. Begitupun sebaliknya, seseorang diberi cap sebagai orang jahat tidak berarti ia sama sekali tidak pernah berbuat baik.

Persoalan kebaikan dan kejahatan manusia telah banyak dibahas dengam beragam pendekatan sejak zaman kuno hingga kini. Dulu diyakini bahwa manusia adalah bagian yang tak terpisahkan dari makhluk-makhluk lain. Meski  tak terpisahkan, namun mereka berbeda. Perbedaan paling nyata tampak pada aspek raga atau fisik.

Perbedaan raga ini tentulah membawa sejumlah akibat. Misalnya karena manusia itu makhluk yang berdiri tegak secara penuh, maka bentuk dan  fungsi tangan serta kakinya benar-benar berbeda. Tidak demikian halnya dengan monyet dan gorila yang tidak sepenuhnya berjalan tegak.
Meski raga mereka sangat berbeda, namun diyakini rohnya bersifat universal. Artinya jika manusia mati, rohnya bisa saja muncul dalam raga kera. Bahkan bisa menghuni pohon besar.

Itulah sebabnya pada banyak zaman kuno orang menyembah pohon besar karena meyakini roh-roh nenenk moyang mereka berkumpul di situ. Dalam Avatar James Camerron kita menyaksikan bagaimana perang antara orang moderen yang melihat pohon tak lebih sebagai pohon dan suku asli melihat pohon yang sama secara berbeda. Mereka melihat dan menghayati pohon itu sebagai tempat suci karena semua roh orang yang meninggal berhimpun di situ.

Kita juga menyaksikan ada binatang tertentu yang dianggap suci dan harus dijaga. Sebab diyakini meski raganya berbentuk binatang, namun roh yang menghuni raga itu adalah roh nenek moyang mereka. Bahkan tidak sedikit suku-suku tradisional yang merasa bahwa mereka adalah keturunan harimau, dan binatang-binatang lain.

Mereka meyakini roh-roh itu dapat berpindah-pindah. Dalam kaitan ini mungkin bisa dimengerti mengapa ada begitu banyak siluman seperti yang kita saksiskan dalam film Sun Go Kong, Si Kera Sakti. Siluman itu sebagian merupakan hasil perpindahan roh dari manusia yang sangat jahat atau jahat. Ia harus melakukan banyak kebaikan sebagai penebus dosanya pada masa lalu.

Dalam cara fikir seperti itu, sangat tidak mengherankan bila roh manusia bisa menempati raga kera dan sebaliknya. Tentu saja cara fikir ini mustahil dibuktikan secara empiris atau dengan cara kerja ilmiah. Ini sepenuhnya soal keyakinan. Dasarnya adalah percaya atau tidak.

Terlepas dari apakah kita percaya atau tidak. Boleh jadi cara berfikir ini bisa digunakan untuk menjelaskan mengapa ada manusia berperilaku seperti monyet atau tikus.

Bisa jadi penggunaan lambang bintang untuk menunjukkan perilaku manusia lebih bersifat simbolik. Misalnya koruptor dilambangkan dengan tikus. Perseteruan KPK lawan Polri dilambangkan dengan Cicak lawan Buaya.

Namun, jika terbersit dalam fikiran bahwa manusia yang berperilaku seperti tikus yang kerjaannya mengerat atau mencuri apa saja, jangan-jangan ada roh tikus dalam raganya, tidak usahlah dianggap sebagai fikiran yang terlalu aneh. Jika terbersit dalam fikiran bahwa jika ada penegak hukum yang berperilaku penjahat, jangan-jangan ada roh penjahat dalam dirinya, anggap saja itu cara baru untuk memahami suatu masalah yang memang pelik.

Ini bisa terjadi karena sejatinya roh itu bersifat universal dan bisa memasuki raga yang manapun.  Tentu saja akan sangat problematis untuk menjelaskan bagimana caranya roh penjahat memasuki raga penegak hukum, atau roh penegak hukum memasuki raga penjahat. Kerumitan problematika ini menegaskan bahwa

TIDAK PERNAH GAMPANG MENGHADAPI KEJAHATAN DAN MENYEMAI SERTA MENUMBUHMEKARKAN KEBAIKAN.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

setiap komentar yang masuk akan terkirim secara langsung ke alamat email pribadi Bapak DR. Nusa Putra, S.Fil, M.Pd