Sabtu, 31 Januari 2015

KMP VS KMP

Politik Indonesia adalah cuaca pancaroba. Berubah sangat cepat, tak bisa diduga. Polanya adalah tanpa pola. Itulah sebabnya pengamat politik lebih banyak dari pengamat sepak bola. Ketidakpastiannya membuat siapa saja boleh bicara apa saja. Fakta itulah yang membuat ilmu politik lebih rumit dari matematika dan fisika. Kepastian memang bukan merupakan nilai utama. Justru disitulah menariknya.

Politik Indonesia semakin hari menjadi sangat menarik, mengalahkan opera sabun manapun yang pernah dibuat. Bukan saja cair, licin dan banyak busa. Politik indonesia mirip betul dengan air sabun, tak pernah bisa jernih dalam waktu yang agak lama. Butek dan penuh lendir. Licin dan menggelincirkan.

Dalam pilpres, Jokowi dan Prabowo berhadap-hadapan. Suasana sangat panas. Dinamika politik terus memuncak. Apalagi setelah pembentukan koalisi merah putih (KMP) yang sering diplesetkan menjadi koalisi mendukung Prabowo. Berhadapan dengan KMP adalah KIH (koalisi Indonesia hebat). Pertarungan di DPR sampai memunculkan pimpinan DPR tandingan. Rakyat benar-benar diberi tontonan sinetron murahan yang tak nalar.

KIH merupakan koalisi pendukung Jokowi-JK. PDIP dan Megawati merupakan penentu dan terlihat juga sebagai pengendali. Itulah sebabnya ada kesan KIH bukan sekadar ikut, tetapi sangat berkehendak menentukan berbagai keputusan Jokowi, terutama dalam penentuan orang yang menempati posisi strategis.

Dalam kaitan itu banyak orang berkeyakinan bahwa saat Presiden Jokowi melibatkan KPK dan PPATK dalam penyusunan kabinet merupakan strategi untuk menolak sejumlah calon bermasalah yang disodorkan KIH. Dalam banyak berita yang beredar, nama Budi Gunawan termasuk yang diberikan rapor merah oleh KPK dan PPATK. Karena itu namanya tidak masuk dalam kabinet.

Rupanya masih ada yang bersikeras agar Budi Gunawan tetap mendapatkan posisi strategis. Akhirnya namanya muncul sebagai calon tunggal Kapolri. Ternyata KPK menetapkannya sebagai tersangka. Muncul perseteruan KPK vs Polri. Suasana politik sangat memanas. Saat itulah muncul KMP baru, yaitu koalisi Mega Paloh.

Surya Paloh bicara sangat keras membela agar Budi Gunawan tetap dilantik jadi Kapolri. Bersamaan dengan itu tokoh-tokoh PDIP juga sangat sengit memberi tekanan pada Presiden Jokowi untuk melantik Budi Gunawan dan secara terbuka menyerang pimpinan KPK.

Sangat terasa pembalikan atmosfir. Koalisi pendukung Presiden Jokowi malah bersikap seperti oposisi. Terus menekan dan bertindak tidak sejalan dengan kebijakan yang ditempuh oleh Presiden Jokowi.

Media massa dan media sosial mulai secara masif mempertanyakan sikap dan menyerang PDIP. Beragam kartun dan ungkapan sangat menuding dan menghujat PDIP.

Menariknya dalam kondisi seperti ini Presiden Jokowi bertemu dengan Prabowo. Sebelumnya ada dua kali pertemuan dengan Aburizal Bakrie. Segera saja terjadi semacam titik balik. KMP mendorong agar Presiden Jokowi mengambil keputusan sesuai dengan aspirasi rakyat, jangan tunduk pada keinginan partai. Mantan Presiden Habibie juga berpendapat sama. Sebelumnya Tim Sembilan merekomendasikan hal yang sama.

Inilah saat yang mengasyikkan KMP vs KMP. KMP yang tadinya dilihat sebagai seteru Presiden Jokowi, kini tampaknya menunjukkan sikap yang tegas dan mendorong agar Presiden Jokowi mengambil keputusan yang berfihak pada rakyat dan mereka siap mendukung. Sementara kekuatan koalisi Mega-Paloh masih saja mendesak agar Budi Gunawan dilantik. Di beberapa media seperti Kompas bahkan ada ungkapan Presiden Jokowi diultimatum.

Sungguh, ini saat yang kritis dan menentukan bagi Presiden Jokowi. Apakan ia tunduk dan mengikuti tekanan partai pendukungnya atau mengikuti rakyat sebagaimana yang diungkapkan dalam pidato pelantikannya. Tentu ini bukan perkara mudah dalam politik. Karena tidak ada yang gratis dalam politik. Setiap dukungan pasti ada biayanya.

Agaknya Presiden Jokowi perlu mempertimbangkan keseimbangan baru terkait dengan partai pendukungnya. Ia harus memastikan bahwa partai pendukungnya sungguh berorientasi pada kepentingan rakyat. Bukan kepentingan partai yang biasanya berjangka pendek dan terbatas.

Presiden Jokowi lebih baik menegaskan kedudukannya sebagai presiden yang menegakkan sistem dan aturan presidensial. Menjadikan dukungan rakyat yang memilihnya sebagai basis kekuatan. Dukungan rakyat akan didapatkan jika pemerintah mampu mewujudkan program yang berpihak kepada rakyat. Dengan demikian rakyat sungguh merasa bahwa pemerintah yang dipimpin Jokowi bekerja keras bagi mereka.

Partai politik memang harus diperhitungkan. Namun, jangan pernah tunduk pada tuntutan mereka yang hanya berorientasi kepentingan partai yang sempit. Rakyat pun akan meninggalkan partai yang hanya asyik dengan dirinya. Karena itu akrobatik partai politik harus selalu diperhadapkan pada kekuatan rakyat yang nyata.

Rakyat bisa ikut menentukan bukan saja melalui pemilu, juga dengan cara menunjukkan dukungan seperti yang diperlihatkan pada KPK. Dengan demikian partai politik tidak akan berbuat dan menentukan sekehendak rasa dan kepentingannya saja. Media massa juga bisa menggunakan kekuatannya untuk mengontrol secara ketat partai politik.

Kejadian yang menghebohkan terkait dengan pencalonan Budi Gunawan menjadi Kapolri dan perseteruan KPK vs Polri sebagai ikutannya, sungguh memberi pelajaran bagi Presiden Jokowi dan kita semua. Inilah akibat bila yang dikedepankan adalah kepentingan kaum elit. Karena itu kepentingan rakyat memang harus didahulukan, bukan kepentingan kaum elit atau partai politik.

INDONESIA HEBAT JIKA MELAKSANAKAN ASPIRASI RAKYAT, BUKAN ASPIRASI DAN KEPENTINGAN PARTAI POLITIK.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

setiap komentar yang masuk akan terkirim secara langsung ke alamat email pribadi Bapak DR. Nusa Putra, S.Fil, M.Pd