Minggu, 01 Februari 2015

SAMPAH DAN KITA

Jangan percaya iklan. Siapa pun yang membuatnya. Sebagian besar iklan adalah sampah yang mengotori pemandangan dan sistem otak kita. Iklan adalah rekayasa, upaya memanipulasi menggunakan kata- kata, gambar, warna yang dirancang dengan sitematis untuk mempersuasi kita.

Sebuah iklan yang dibuat oleh lembaga promosi daerah menjelaskan keunikan Kampung Naga. Digambarkan betapa eksotisnya tempat itu. Sebuah komunitas yang membangun pemukiman tersendiri di kawasan yang asri dan indah. Semakin menarik dan menimbulkan rasa penasaran karena disebutkan bahwa masyarakat Kampung Naga digambarkan menolak semua bentuk modernitas. Mereka tidak mau menggunakan listrik dan beragam produk masyarakat moderen. Tentu bikin penasaran. Bagaimana bisa perkampungan yang tidak jauh dari jalan raya bisa menolak modernitas. Beda dengan komunitas Baduy Dalam yang memang tinggal jauh di dalam hutan. Rasa ingin tahu nyembul, apa makna menolak modernitas?

Saat berada di Kampung Naga, tempat sampah mereka, terutama yang di bagian belakang pemukiman yang berisi sampah penduduk asli, diperiksa dengan teliti. Dibongkar secara hati-hati dari atas sampai bawah. Inilah yang ditemukan, bungkus berbagai merek mie instan, beragam voucher handphone berbagai operator, bungkus banyak makanan pabrikan, bungkus sabun, botol plastik shampo dan sabun cair, kotak beragam bedak, odorono, dan kondom bekas.

Tempat sampah itu adalah bukti bahwa penolakan masyarakat Kampung Naga pada modernitas tidaklah seperti yang dituliskan dalam iklan. Mereka memang menolak listrik. Tetapi menonton televisi menggunakan accu atau baterei yang bisa diisi ulang dengan listrik. Mereka menggunakan handphone, dan menggunakan banyak produk pabrikan moderen.

Tempat sampah memang menunjukkan secara sangat jelas siapa kita yang membuangnya. Itulah sebabnya para pesohor di Hollywood tidak membuang sampah, tetapi membakarnya habis agar tidak diketahui orang lain rahasia diri dan keluarganya.

Tempat sampah di pemukiman mewah seperti di Pondok Indah, pasti sangat berbeda isinya dengan tempat sampah di pemukiman padat penduduk seperti Prumpung. Isi tempat sampah menunjukkan status sosial. Tidak hanya itu, ada banyak rahasia di tempat sampah kita.
Isi tempat sampah menunjukkan apa yang kita makan dan gunakan setiap hari. Isi tempat sampah memperlihatkan apakah pasangan suami istri menggunakan pil KB atau kondom, juga obat kuat, sesuatu yang sangat pribadi dan rahasia.

Mengamati apa isi tempat sampah seminggu atau sebulan, sudah cukup untuk mendeskripsikan secara lengkap rahasia sebuah keluarga. Pasti, tentang banyak hal yang tidak akan diungkapakan jika mereka ditanya.

Tukang sampah di istana negara bisa bercerita banyak tentang perbedaan kebiasaan antara satu presiden dengan presiden lainnya dalam banyak hal. Bukan saja kebiasaan makan.

Akan semakin menarik jika kita berbincang tentang sampah yang lain yaitu "sampah masyarakat". Seperti sampah di rumah kita, "sampah masyarakat" juga menggambarkan atau mencerminkan banyak hal tentang masyarakat.

Bila kini semakin banyak cabe-cabean, orang tewas karena miras oplosan, jumlah kaum homo dan lesbi serta transjender meningkat, angka bunuh diri juga cenderung naik, korupsi tidak berkurang meski ada KPK, pengguna narkoba terus meningkat dan meluas, dari remaja atau ABG sampai petinggi perguruan tinggi yang bergelar profesor doktor, dan ketua lembaga tinggi negara, ini menunjukkan secara nyata kondisi nyata masyarakat kita.

Tidak ada masayarakat di dunia ini yang bebas dari "sampah masyarakat". Namun, kita perlu menjadi sangat hati-hati dan segera melakukan aksi nyata untuk mengatasi bila jumlah, jenis, keberagaman, wilayah sebaran "sampah masyarakat" terus meningkat dan meluas. Mendesak untuk melakukan kajian mendalam, sebagai upaya pencegahan, mencari tahu faktor-faktor dan pemicu kemunculan, keberagaman, dan perluasan serta peningkatannya.

Kebiasaan lama menyederhanakan persoalan dengan mengatakan penyebabnya adalah kurangnya pengetahuan agama, gagalnya pendidikan, tidak adanya keteladanan agaknya harus dihindari. Perlu kajian mendalam dan rinci untuk mencaritemukan sebab-sebab yang lebih spesifik dan nyata berdasarkan fakta dan data lapangan, agar bisa dirumuskan solusi yang tepat.

Ketepatakuratan, kedalaman dan kerincian penyebab atau pemicu itu perlu dicaritemukan menjadi semakin penting dan mendesak karena ada banyak gejala yang terlihat saling bertentangan dalam perkembangan masyarakat kita. Pada satu sisi lembaga pendidikan berbasis agama dari pendidikan anak usia dini sampai perguruan tinggi meningkat sangat luar biasa. Kebanyakan menyelenggarakan pendidikan penuh hari atau berasrama. Gairah melakukan kajian agama berbagai kalangan dari remaja sampai ibu-ibu dan bapak-bapak luar biasa peningkatannya. Kelompok-kelompok pengajian dan majlis taklim jumlahnya luar biasa. Bahkan berkembang lagi majlis-majlis zikir. Pembangunan rumah ibadah juga meningkat dan meluas. Jumlah orang yang pergi ke tanah suci untuk berhaji dan berumrah terus melejit dari tahun ke tahun.

Di televisi semakin banyak acara keagamaan yang memunculkan ustad-ustad terkenal yang menjadi selebriti baru dunia hiburan. Namun, bersamaan dengan itu "sampah masyarakat" juga terus meningkat dan meluas dengan keberagaman yang makin ramai.

Gairah beragama berpacu dengan kecepatan tinggi bersamaan dengan peningkatan jumlah dan jenis "sampah masyarakat". Pastilah ada sesuatu yang kurang beres dalam masyarakat kita.

SAMPAH ADALAH CERMIN DIRI KITA.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

setiap komentar yang masuk akan terkirim secara langsung ke alamat email pribadi Bapak DR. Nusa Putra, S.Fil, M.Pd