Rabu, 28 Januari 2015

WIBAWA DAN KUASA

Ini kisah nyata tentang dua orang guru. MTS dan TU. MTS mengajar mata pelajaran penting karena masuk ujian nasional dan tergolog sulit. TU mengajar mata pelajaran yang agak diremehkan karena tidak masuk ujian nasional.

MTS bertubuh tinggi besar dengan wajah yang kurang menarik untuk dilihat. Tipenya mirip pejabat tinggi yang terkenal karena ucapannya menuduh pendukung KPK sebagai rakyat tidak jelas.

MTS sangat ditakuti para siswa SMP yang diajarnya. Ia selalu mengeluarkan kata-kata ancaman dan menekankan betapa penting mata pelajaran yang diajarnya. Ia tidak pernah membuka pelajaran dengan doa, tetapi dengan ancaman. Ia sering melempari siswa dengan kertas yang telah diremas. Dulu sewaktu masih menggunakan kapur tulis. Setiap kali mengajar ia pasti melempar siswa dengan kapur tulis yang masih utuh. Akibatnya kapur tulis lebih cepat habis, dan ia mewajibkan siswa patungan untuk membeli kapur tulis baru. Para siswa sangat kesel karena dilempar dengan kapur yang mereka beli.

MTS selalu tunjukkan kuasanya dengan berbagai cara. Ia mewajibkan siswa untuk menundukkan kepala jika berpapasan dengannya. Ia rajin memberi hukuman bagi siswa yang khilaf dan salah. Ia tidak pernah mengizinkan siswa permisi ke WC. Ia selalu katakan semua siswa harus siap untuk belajar. Ke WC sebelum atau sesudah pelajaran selesai. Ia bahkan tidak pernah tersenyum apalagi tertawa saat mengajar. Ia lakukan semua ini atas nama disiplin dan aturan.

Sejumlah guru tua sangat mendukung MTS karena kedisiplinannya.  Dalam mata pelajarannya, semua siswa tertib dan berdisiplin. Tidak pernah ada suara hingar bingar dari kelasnya. Satu-satunya suara yang terdengar adalah suara MTS yang menjelaskan, marah dan membentak.

Ia sungguh guru yang sangat berkuasa. Di luar kelas pun ia selalu tunjukkan bahwa ia memiliki kuasa mengatur dan menentukan. Ia merasa semua siswa tunduk patuh dan takut padanya. Ia merasa sangat bangga. Apalagi para guru juga segan padanya. Semua orang tunjukkan rasa hormat di depannya.

Ia merupakan guru yang paling banyak dibincangkan siswa. Bahkan siswa yang tidak diajarnya pun demen bangets ngomongin dia. Inilah cara para siswa membincangkan MTS, si killer kumat lagi tuh, Pak RT (raja tega) ngamuk lagi di kelas, dasar sibli ( maksudnya iblis) marah aja kerjanya, si bajigur ( maknanya guru bajingan) menghukum anak-anak dijemur di lapangan. Rupanya para murid telah menciptakan sejumlah sebutan khusus bagi MTS. Pastilah semua istilah itu didasarkan pada penghayatan para siswa dalam berinteraksi dengan guru yang sangat terkenal ini.

Ada sejumlah catatan menarik lain bertalian dengan MTS. Di kelasnya hanya siswa yang langganan nilai tinggi dalam banyak mata pelajaran yang bisa dapatkan nilai tinggi. Kebanyakan siswa nilainya pas-pasan dan rendah. MTS selalu menyalahkan siswa yang nilainya pas-pasan. Ia bilang mereka tidak disiplin dan tidak konsentrasi. Banyak siswa yang mendapat nilai bagus pada mata pelajaran lain, mendapat nilai kurang bagus dari MTS.

Siswa di kelas yang diajar MTS memang  hadir semua, karena takut dihukum. Selama mengikuti pelajaran, siswa tidak nyaman karena penuh kemarahan dan ancaman. Siswa selalu merasa takut, apalagi bila didatangi untuk diperiksa pekerjaannya oleh MTS.

Para siswa memang menunjukkan rasa hormat di depannya. Bukan rasa hormat yang datang dari hati, tetapi dari rasa takut. Bila MTS sudah agak jauh, para siswa mengejek menggunakan bahasa tubuh. MTS sebenarnya lebih sering dihujat, diledekin dan dilecehkan oleh para siswa. Sejumlah besar guru juga tidak suka padanya. Hanya memperlihatkan rasa hormat di depannya.

Kuasa yang ditunjukkan dengan cara yang buruk memang lebih sering menimbulkan rasa takut, penghinaan, dan dendam kesumat. Pihak yang dikuasai selalu menunggu saat yang tepat untuk balas dendam. Jika kekuatan tak cukup, maka muncullah ledekan, makian dan pelecehan pada yang kuasa. Tidak begitu dengan wibawa.

TU beperawakan agak kurus. Terlihat lebih ringkih tinimbang Jokowi. Tingginya beda-beda tipis dengan JK. Ia murah senyum dan periang. Ia menjaga jarak seadanya dengan para siswa. Jika jam istirahat ia terlihat berkumpul dengan para siswa di kantin atau perpustakaan. Ia sering terlibat diskusi dengan siswa atau kelompok siswa di luar kelas.

Di kelas yang diajarnya selalu heboh dan rame. Ada diskusi kelompok dan debat. Ia selalu menyediakan hadiah kecil bagi siswa yang menunjukkan kinerja atau prestasi baik. Bila ada siswa berbuat salah, ia meminta siswa memikirkan dan memilih hukuman setimpal bagi kesalahan yang dibuatnya. Caranya menghukum siswa ini pada mulanya sempat jadi kontroversi, karena dianggap tidak biasa.

Para siswa akan sangat senang bila guru yang satu ini myamper ke tempat mereka duduk. Mereka akan bertanya tanpa rasa takut, layaknya ngobrol dengan sesama teman. TU juga tidak berkeberatan bila ada siswa yang menyambangi saat ia sedang di meja guru atau sedang berdiskusi dengan siswa lain.

Suasana kelas sangat menyenangkan. Para siswa setia hadir meski mereka agak flu. Bukan karena takut, tetapi rugi rasanya bila tidak masuk dalam pelajaran Pak TU. Para murid yang bermasalah juga suka curhat padanya. Ia dengan tekun dan empatis mendengarkan.

Ia memulai pelajaran dengan berdoa. Pada saat pertemuan pertama ia meminta para siswa merumuskan tatatertib kelas. Ia memberi kesempatan bagi para siswa untuk mendiskusikannya. Ia juga sejak awal mengumumkan indikator penilaian secara terbuka.

Setiap kali berjalan di luar kelas saat bukan jam pelajaran,  banyak siswa yang merubunginya. Biasanya mereka menanyakan tugas atau sekadar bercanda. Hampir semua murid hormat dan sayang padanya. Bagusnya ia juga hafal banyak lagu yang sedang digandrungi para siswa. Ia bisa bercerita banyak tentang K-pop yang sedang menarik para remaja kita.

Beberapa guru tua yang bersikap dan berfikir tradisional kurang suka padanya. Mereka bilang TU terlalu dekat dengan para siswa. Tetapi mereka mengakui bahwa TU adalah guru vaforit bagi mayoritas siswa di sekolah itu. Jika ada acara karya wisata, para siswa pasti ikut jika Pak TU ikut. Karena itu sekolah memberi perhatian dan status khusus padanya.

SMT adalah perujudan kekusaan, dan TU adalah pengejawantahan wibawa. Wibawa dibangun dengan ketulusan, keterlibatan empatis, kejujuran, keteladanan, komitmen dan integritas. Respon terhadap kewibawaan adalah rasa sayang, hormat, memberi dukungan tanpa pamrih, dan kesediaan berkorban.

Mereka yang memiliki kewibawaan tetap dihormati, disegani, didengarkan, diperhatikan, dan diteladani meski tak memiliki kekuasaan. Tidak demikian halnya dengan mereka yang hanya memiliki kekuasaan. Mereka dihormati dengan rasa takut, segera ditinggalkan dan dilupakan bila tak lagi punya kuasa.

Wibawa adalah jati diri yang positif karena berakar pada kemampuan  menjaga amanah, kepercayaan dan kesetiaan pada kebenaran. Wibawa bukan produk pencitraan. Wibawa adalah hasil kerja keras, daya tahan jangka panjang untuk menjaga komitmen. Karena itu reaksi dan respon terhadap kewibawaan tidak sama dengan kekuasaan.

Dalam kaitan ini menarik untuk mencermati ucapan Presiden Jokowi saat tampil bersama enam tokoh masyarkat untuk menyikapi kisruh KPK dengan Polri. Ungkapan pertama yang diucapkan adalah perintah sebagai Presiden Indonesia agar kedua lembaga penegak hukum itu menjaga wibawa. Maknanya jangan tonjolkan kuasa.

Masyarakat tahu bahwa kedua lembaga penegak hukum itu memiliki wibawa dan kuasa. Namun mereka juga bisa merasakan dan mengukur, di antara kedua lembaga itu mana yang derjat wibawanya tinggi dan mana yang derjat kuasanya tinggi. Karena itu dengan tulus dan jujur mereka tunjukkan secara terbuka kemana mereka berpihak.

Ungkapan Presiden Jokowi sangat jelas menegaskan bahwa wibawa lebih penting dari kuasa. Artinya menjaga wibawa adalah menjaga kehormatan, kepercayaan, tugas dan fungsi yang diberikan oleh negara dan masyarakat.

Jika ada masalah seperti yang sekarang terjadi, harus ada kemauan dan kemampuan untuk menahan diri, bersikap jujur, saling menghormati dan membangun saling pengertian. Bukan tunjukkan pada masyarakat seberapa kuasa dan kuat.

Mesti dimekarkan kesadaran untuk tetap bisa membedakan bahkan memisahkan kepentingan-kepentingan jangka pendek yang berakar pada ego pribadi atau komunitas. Harus dijaga agar semangat komunitas, rasa kekitaan tidak berubah menjadi kenekatan gerombolan yang hanya menonjolkan rasa kekorsaan.

Nalar kebersamaan sebagai sebuah keutuhan berbangsa harus lebih dicuatkan. Jangan pernah kekitaan sebagai ungkapan keindonesian secara sengaja dijuruskan menjadi kekamian yang terisolasi.  Sehingga muncullah semangat kami di sini, dan kamu di sana. Jika ini yang didahulukan maka sebenarnya yang terjadi adalah permainan dan benturan yang didorong rasa kuasa, bukan nalar wibawa.

Sejarah panjang negara bangsa ini mencatat, rasa kuasa yang menggumpal memadat menjadi kehendak untuk berkuasa merupakan pangkal tolak tingkai pangkai, perseteruan dan berbagai benturan yang dipenuhi keinginan kuat untuk saling meniadakan.

Inilah yang terjadi pada awal revolusi kemerdekaan yang melibatkan tokoh-tokoh utama, putra-putra terbaik revolusi. Saat Sukarno, Hatta, Syahrir, Tan Malaka, Amir Sjarifuddin, M. Natsir bukannya bersatu, tetapi terus berseteru. Kita tahu, perseteruan panjang itu berakhir tragis. Amir Sjarifuddin dihukum mati, Tan Malaka tewas secara misterius, Syahrir menderita sakit berat di penjara, dan Sukarno berakhir secara tragis.

Tragedi 1965 mementaskan kisah yang sama. Kehendak untuk berkuasa yang mencabik-cabik bangsa ini dalam semangat saling bunuh. Jutaan rakyat tewas dengan cara yang tragis, ribuan orang mendekam di penjara tanpa proses hukum. Kesudahannya dalam jumlah yang tidak sedikit, anak-anak Indonesia tumbuh dalam semangat dendam untuk membalas. Kesumat yang merasuki jiwa.

Reformasi 1998 memunculkan kembali reaksi keras sebagai perlawanan terhadap kehendak untuk berkuasa yang terlalu lama bercokol dan cenderung meniadakan bagian lain dari bangsa ini. Inilah resiko dan korban dari rasa kuasa.

Rasa kuasa memang meniscayakan benturan, perseteruan dan tingkai pangkai yang bisa saja berujung puing kehancuran. Bersebalikan dengan itu adalah nalar wibawa.

Nalar wibawa mendorong pada mekarnya kemauan dan kemampuan menakar proporsi, saling menghormati, kematangan menerima kritik, dan keberanian mengakui kesalahan tanpa rasa takut kehilangan berbagai atribut, bahkan posisi. Nalar wibawa mengusahakan harmoni dan menghargai keberbedaan. Menumbuhkan kemampuan saling memahami secara empatis karena kesadaran bahwa wibawa tidak pernah dan tidak akan pernah bisa dicederai, apalagi dikalahkan oleh kuasa. Oleh karena itu,

INDONESIA HEBAT JIKA YANG DIKEDEPANKAN ADALAH WIBAWA, BUKAN KUASA.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

setiap komentar yang masuk akan terkirim secara langsung ke alamat email pribadi Bapak DR. Nusa Putra, S.Fil, M.Pd