Senja tiba, Melawai diterangi lampu beragam warna. Trotoar jalanan disesaki orang hilir mudik. Dari pakaian yang dikenakan dan raut wajah yang ditampilkan, tampaknya sebagian besar pejalan kaki adalah para pekerja yang menuju pulang dan memanfaatkan terminal Blok M sebagai tempat untuk dapatkan angkutan umum. Beberapa pengamen cilik berseliweran, mengejar orang yang memarkir motor atau mobil dan menyanyi sambil bermain gitar kecil atau kencrengan. Petugas parkir sibuk mengatur kendaraan keluar masuk.
Jalanan mulai dipenuhi kendaraan menuju ke deretan gedung yang merupakan resto-resto Jepang. Sejumlah orang Jepang, pada umumnya berusia empat puluh tahun ke atas, turun dari mobil, berdua atau bertiga, dengan pakaian yang sudah tidak lagi rapih. Beberapa bahkan rambutnya tampak kacau.
Setiap kali rombongan kecil orang Jepang bertemua dengan rombongan lain, mereka saling berlomba untuk membungkuk dan menganggukkan kepala. Berbicara seadanya dan berpisah, dengan tetap terus saling membungkuk.
Resto-resto Jepang di Melawai ini menyediakan makanan yang sama dengan resto-resto Jepang yang ada di mal-mal, seperti sushi, ramen dan udon. Sebagian besar resto-resto itu menggunakan bahasa Jepang sebagai nama resto, ada beberapa yang menggunakan bahasa Indonesia.
Pembeda utamanya adalah tampilnya para nona berusia muda menggunakan pakaian yang menonjolkan pada (paha dan dada) mulus terbuka. Berdiri atau duduk di depan resto. Mereka menyapa para lelaki Jepang dengan bahasa Jepang, tentu dengan nada dan irama serta gaya yang memancing menggoda.
Sejumlah pria Jepang itu kelihatannya telah dikenal oleh para nona. Itulah sebabnya para nona itu tak sungkan untuk memegang tangan bahkan memeluk si pria Jepang yang lewat. Beberapa pria itu langsung masuk ke resto, diantar para nona.
Semua resto Jepang di sini memang sangat istimewa. Menyediakan makanan enak dan nona-nona cantik, mulus, dan menantang. Kita takmpernah tahu, apakah para nona itu sekadar menemani makan atau menyediakan "menu-menu lain" yang lebih enak, gurih, dan menantang.
Beberapa keamanan resto yang berbadan besar bercerita, orang Jepang itu datang ke sini mencari hiburan. Kalo cuma makan, itu bukan hiburan, tegasnya. Dengan suara agak dikeraskan dia bilang, kebanyakan mereka makan ikan dan "makan nona".
Resto-resto itu baru tutup menjelang pagi. Semakin malam para pria Jepang bertambah terus. Tak sedikit sudah tampak sepuh, berjalan tertatih-tatih, dan tiba-tiba bersemangat jika didatangi para nona. Para nona itu memeluk pinggang lelaki itu dan membawanya masuk resto.
Dilihat dari mobil yang digunakan, tampaknya para lelaki Jepang yang nongkrong di resto-resto ini adalah pejabat kelas atas di berbagai perusahaan Jepang yang ada di seputaran Jabodetabek. Sebagian kecil adalah para turis yang memang datang dari Jepang.
Beberapa supir para bos Jepang itu membenarkan bahwa majikannya adalah para petinggi perusahaan Jepang di seputaran Jabodetabek. Nyaris setiap malam mereka nongkrong di sini. Paling cepat pukul dua dini hari baru menuju pulang.
Beberapa di antara bos itu ada yang memiliki hubungan khusus dengan para nona di resto-resto itu. Seks dalam berbagai bentuknya merupakan bagian dari makan malam dan nongkrong, kata para supir itu. Orang Jepang itu pekerja keras, mereka butuh hiburan yang asyik-asyik, jelas si supir.
Resto-resto Jepang Melawai tampaknya merupakan keniscayaan bagi kota besar seperti Jakarta. Karena Jakarta adalah kota terbuka bagi semua aktivitas, bagi semua orang.
Kota besar adalah kesibukan, kerja keras, kompetisi, pencapaian target, pengejaran keuntungan, pertumbuhan ekonomi, yang keseluruhannya menimbulkan keletihan otot dan ketegangan syaraf. Hiburan bukan sekadar kebutuhan, namun keniscayaan. Hiburan seakan menjadi oase di padang tandus jiwa. Jiwa-jiwa yang boleh jadi mati suri karena kelelahan yang terlalu, keletihan yang bahkan membuat fikiran butek.
Kota besar tumbuh dan bergerak dengan cara terus menyediakan bisnis hiburan. Entah kenapa, nyaris semua kota besar di dunia berkembang dengan cara yang sama dan sebangun. Menghidupkan malam, menyediakan kemewahan, memanjakan siapa pun yang membutuhkan hiburan pengusir penat.
Apakah tidak ada cara dan gaya lain bagi kota besar mengisi malam-malam panjang bagi warganya yang penat? Apakah seks, kehidupan bebas, dan kemewahan yang mahal merupakan satu-satunya pilihan? Betapa tragis, biaya hiburan semalam di kota besar, boleh jadi bisa membangun sekolah yang runtuh di banyak desa. Membiayai ratusan anak yatim yang putus sekolah karena tak ada biaya.
Mungkin ini bukan sekadar tindakan ekonomis untuk mendapatkan keuntungan dengan menyediakan hiburan malam khusus bagi orang Jepang. Bisa jadi merupakan bagian dari tatakrama antar negara, sebagai suatu cara untuk saling menghormati tradisi tiap negara. Persoalannya adalah, apakah tradisi apapun akan kita hormati dan jalankan? Meskipun tidak sesuai dengan tradisi kita?
Kehidupan kota besar memang sangat dilematis dan problematis, selalu memunculkan sejumlah masalah yang tidak mudah untuk dihadapi.
KOTA BESAR MEMANG SELALU PROBLEMATIS.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
setiap komentar yang masuk akan terkirim secara langsung ke alamat email pribadi Bapak DR. Nusa Putra, S.Fil, M.Pd