Berkurban setua umur manusia. Dilakukan sejak zaman Nabi Adam sampai Adam Young pentolan Owl City. Tradisi berkurban tidak hanya terdapat dalam Islam. Beragam tradisi, budaya dan agama mengenal dan melaksanakan ritual kurban.
Macam-macam yang dikurbankan. Dari sayuran dan buah sampai gadis cantik yang masih suci. Bahkan para pemuja syetan, paling sering melakukan ritual kurban.
Sangat beragam tatacara ritual atau upacara kurban. Kebanyakan merupakan ritual sesembahan. Memberikan beragam barang seperti hasil pertanian dan peternakan yang ditaruh atau disebarkan ke tempat tertentu yang diyakini merupakan lambang kesucian.
Kebanyakan tempat yang dipilih adalah kawasan yang tinggi seperti puncak gunung atau dataran tinggi. Ada pula yang melemparkan kurbannya ke kawah gunung. Di Indonesia, Dataran Tinggi Dieng dan Puncak Gunung Bromo dan Merapi merupakan tempat yang secara rutin digunakan untuk upacara kurban.
Di Amerika Latin, tempat utama untuk upacara kurban adalah puncak gunung dan piramida. Meski beberapa hewan digunakan untuk kurban, namun lazimnya yang dikurbankan adalah manusia. Biasanya gadis atau anak kecil.
Suku Inca menjadikan anak-anak sebagai kurban dengan cara dibius. Para kurban itu dengan sengaja ditaruh di gunung sampai menemui ajal. Biasanya di kuil yang sengaja dibangun di gunung.
Sementara suku Aztec di Meksiko melakukan upaca kurban menggunakan altar yang secara sengaja dan khusus dibangun di puncak piramid. Suku Aztec menggunakan cara-cara yang tergolong sadis dalam ritual korban. Berdasarkan bukti-bukti arkeologis, mereka mengambil jantung manusia yang dijadikan kurban. Bahkan menghancurkan kepala mereka yang dikurbankan.
Di Meksiko pernah ditemukan ratusan tengkorak manusia di saluran irigasi. Diduga tengkorak itu adalah manusia yang dijadikan kurban saat menghadapi bahaya kekeringan.
Suku Maya mengorbankan budak, anak yatim dan anak haram. Meski mereka menjadikan binatang sebagai kurban, namun yang terbanyak dikurbankan adalah manusia. Karena menjadikan manusia sebagai kurban diyakini merupakan cara terbaik berkurban.
Di Eropa, berdasarkan catatan bangsa Romawi, kurban manusia dilakukan dengan cara membakar hidup-hidup. Ada cara lain yaitu menenggelamkan manusia hidup-hidup dan menggantung korban serta dibiarkan sampai mati. Cara berkurban yang berbeda ini dikarenakan kurban dipersembahkan pada dewa yang berbeda.
Di Mesir, setiap kali raja atau Firaun wafat, para pelayannya dikubur hidup-hidup berasama mayat Firaun. Diyakini, di dunia sana Firaun juga harus dilayani oleh para pelayannya.
Sementara itu di Afrika Barat ritual kurban dilakukan dengan cara memenggal kepala manusia. Manusia yang dikurbankan adalah tawanan perang, budak dan penjahat. Ritual ini dilakukan tiap tahun, dikenal dengan istilah Xwetanu.
Perjalanan panjang ritual kurban ini memang telah mengalami banyak perubahan. Pada zaman Nabi Adam, anak-anaknya berkurban dengan binatang ternak. Pada saat itu ada dua kategori kurban yaitu yang diterima dan tidak diterima. Ukuran keberterimaan adalah keikhlasan atau ketulusan orang yang berkurban. Jadi indikatornya bukan kurbannya, sedikit atau banyak. Tetapi keikhlasan yang berkurban.
Dalam perjalanan waktu, yang dikurbankan adalah sesama yaitu manusia. Boleh jadi mengurbankan manusia untuk menunjukkan kesungguhan yang tinggi dalam berkurban atau menginginkan efek atau akibat dari berkurban. Makin tinggi atau bermakna yang dikurbankan, maka tujuan yang ingin dicapai melalui berkurban akan makin terpenuhi. Namun sayangnya, mengapa yang dikurbankan adalah sesama, orang lain? Ada egosime di dalamnya. Bahkan kekejaman tak terperi. Mengorbankan orang lain atau sesama untuk mencapai tujuan sendiri atau kelompok. Mengapa orang lain yang dikurbankan?
Dalam konteks ini menjadi penting dan bermakna kisah Nabi Ibrahim. Nabi Ibrahim menunggu lama, sangat lama untuk mendapatkan anak, buah hati, belahan jiwa. Saat sang buah hati sedang lucu-lucunya, datang perintah Allah agar sang anak dikurbankan. Anak memang merupakan cobaan. Ibrahim hamba yang taat, tidak membantah dan berkehendak kuat melaksanakannya. Tetapi bagaimana menyampaikannya pada si buah hati?
Perintah mengorbankan manusia, dalam hal ini anak, boleh jadi lazim saat itu. Karena bukankah manusia yang paling tinggi yang bisa dikurbankan? Manusia secara hakiki pastilah lebih tinggi dan bernilai dibandingkan binatang apapun!
Ibrahim dan buah hatinya sama-sama ikhlas bersedia melaksanakan perintah Allah. Namun, sesaat sebelum disembelih, Kuasa Allah mengganti anak Ibrahim dengan binatang ternak.
Maknanya, kurban dikembalikan pada zaman Nabi Adam. Kurban adalah binatang ternak. Bukan manusia! Lantas apa makna perintah mengurbankan anak sendiri?
Apapun perintah Allah, laksanakan dengan ikhlas. Tak usah gunakan analisis logis, matematis, teoritis, statistik, ilmiah atau analisis apapun. Ini bukan soal kecangihan analisis dan argumentasi. Ini soal hati nurani.
Mengapa sang anak si buah hati belahan jiwa yang harus dikurbankan? Jika hendak berkurban, memberi, berbagi, maka pilihlah yang paling dicintai, disukai. Bukan barang rongsok yang pantas dicampakkan ke tong sampah. Peduli dan berbagilah dengan apapun yang kamu senangi. Karena berbagi itu mau bersihsucikan hatimu yang terlalu lekat dengan dunia dan materi. Oleh sebab itu memberi itu terutama bukan bermaksud membantu orang lain, tetapi untuk bersihkan hati dan diri yang memberi. Pemberi yang justru diuntungkan dengan pemberian itu, bukan si penerima. Karena itu jangan pernah rendahkan si penerima. Sebab pemberian itu bukan menyelamatkan si penerima, tetapi menyelamatkan si pemberi.
Dasar tolak berkurban adalah ketaatan pada perintah Allah, memberikan apa yang dicintai dan disukai dengan ikhlas. Jadi demi Allah dengan keikhlasan untuk sesama. Bukan dengan menjadikan sesama sebagai kurban.
Bagai darah hewan ternak yang memancar ke segala arah, begitulah kebaikan dari kurban itu disebarluaskan. Bukan dinikmati sendiri atau di dalam kelompok sendiri. Meskipun aturan membolehkan yang berkurban ikut menikmati, sebaiknya dahulukan yang layak menerimanya. Bukankah dalam hidup kita selalu membuat prioritas? Karena itu dahulukan sesama, sesama yang benar-benar berhak.
Meskipun ada ritual tahunan untuk berkurban yaitu Idul Adha, jadikan ritual tahunan itu sebagai tonggak pengingat dan pendorong bahwa peduli dan berbagi, berkurban bagi sesama harus kita lakukan kapan pun, meski hanya dengan sebuah permen atau seulas senyum manis. Mengangkat duri di jalan atau mengangkat anak yatim sebagai anak asuh. Karena hakikinya
KEBERADAAN MANUSIA BERMAKNA BILA IA IKHLAS PEDULI DAN BERBAGI DENGAN SESAMA.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
setiap komentar yang masuk akan terkirim secara langsung ke alamat email pribadi Bapak DR. Nusa Putra, S.Fil, M.Pd