Hidup memang mengasyikkan. Sangat pantas disyukuri.
Terjadi kecelakaan kecil. Aku terpeleset di tempat mengambil air sembahyang di masjid kampus. Tempurung lutut kiriku bergeser, juga ada gangguan pada ligamen, otot yang menghubungkan dan mengikat tungkai atas dan bawah. Dokter menyarankan digibs agar cepat sembuh dan tidak terganggu oleh gerakan berlebihan. Aku ogah dan minta agar mengggunakan dekker di lutut. Dengan demikian bisa tetap mengajar dan melakukan aktivitas lain. Dokter setuju dan meminta aku menggunakan tongkat agar lutut yang sakit tidak terlalu terbebani berat badan dan mengurangi rasa sakit saat berjalan.
Meski yang sakit itu hanya tempurung lutut kiri dan sekitarnya, namun rasa nyeri dan linu terasa ke seluruh tubuh. Itulah fakta kebertubuhan kita. Tubuh kita merupakan sebuah sistem yang utuh, kerusakan dan rasa sakit di titik kecil dalam gigi, bisa membuat kita tak berfungsi sebagai manusia normal. Hidup menjadi tak biasa.
Aku kini menjadi tidak lagi normal. Menjadi tak biasa. Biasanya menggunakan dua kaki dan dapat bergerak bebas kemana pun. Kini harus menggunakan dua kaki dan satu tongkat. Tak bisa lagi seenaknya. Dokter melarang untuk naik turun tangga, juga buang air besar dengan gaya jongkok.
Shalat harus duduk di kursi, karena tidak dapat rukuk, sangat nyeri bila hendak sujud dan amat susah duduk di antara dua sujud. Bahkan posisi tidur menjadi sangat terbatas. Bila bergerak ke kiri amat nyeri. Bukan hanya itu, tak mudah menjalankan kewajiban sebagai suami karena kekurangan titik tumpu. Gaya lain selain yang tradisional tetap menimbulkan rasa sakit. Sungguh cedera kecil ini mengurangi kelaki-lakian sekitar empat puluh persen. Sakitnya melampuai Cita Citata yang bilang sakitnya tu di dini. Kurasakan sakitnya di mana-mana.
Rasa sakit meskipun hanya setitik bisa sangat mengganggu kemanusiaan kita. Membuat kita tak lagi dapat berfungsi seperti biasanya. Namun sakit dan rasa sakit memberi tanda koma bagi hidup yang mengalir deras mengikuti arus waktu mengejar target-target pekerjaan yang memang tidak pernah berujung. Sakit memberi kesempatan untuk jeda. Seperti sebuah halte dalam menempuh perjalanan panjang.
Sakit dan rasa sakit, menghenyakkan kita pada fakta tak terbantahkan tentang kelemahan, kekurangan dan ketaksempurnaan manusia. Manusia adalah makhluk yang cacat, invalid. Saat sehat, bugar dan berfungsi optimal, jarang kesadaran ini menyusup dalam sistem otak kita.
Sakit dan rasa sakit persis seperti polisi tidur yang mengharuskan kendaraan dikurangi kecepatannya dan berjalan dengan sangat hati-hati. Dalam kaitan ini, kehadiran penyakit layak disyukuri. Karena memberi kesempatan untuk mencermati kembali hidup yang telah dijalani pada kelampuan, dan meningkatkan kehati-hatian di kekinian, agar menjadi lebih baik pada keakanan.
Pergeseran tempurung lutut kiri ini benar-benar membuat aku jadi orang yang berbeda. Seperti seseorang yang baru. Meski tidak secara total. Aku harus menjalani keseharian dengan cara yang tidak persis sama dengan hari-hari sebelumnya. Tentu saja yang paling "mengasyikkan" adalah respon pihak lain terhadap ketidaknormalan atau ketidakbiasaanku ini.
Beberapa teman di kantor agak kaget saat melihat aku menggunakan tongkat. Ada yang menyatakan ketidakpercayaannya. Tentu ada percandaan dan ledekan yang menghibur. Biasanya aku mengantarkan ke setiap bagian berkas yang kuperiksa atau kutandatangani. Kali ini teman-teman yang berinisiatif mengambil dari mejaku, bahkan ada yang menunggu. Mereka lakukan itu karena ingin membantuku agar tidak terlalu banyak bergerak. Terasa agak berbeda daripada biasanya. Aku berusaha bersikap seperti hari-hari sebelumnya. Namun, agak sulit juga, karena bisa dianggap kurang menghargai teman-teman yang telah berusaha membantu mengurangi beban.
Saat aku berada di ruang data mendiskusikan beberapa temuan yang harus kami tindaklanjuti, ada dua orang tamu yang berbicara keras penuh emosi kepada beberapa staf di ruang penerimaan tamu. Mereka tidak terima berkasnya ditolak karena tidak memenuhi sejumlah persyaratan. Mereka marah betul, sampai membentak dan mengeluarkan ucapan yang kurang pantas. Aku keluar menemui mereka. Saat melihat yang datang menggunakan tongkat, sikap mereka langsung berubah. Masih dalam posisi berdiri,mereka membungkukkan badan ke arahku. Aku memohon maaf dan menanyakan ada apa?
Aku memberi penjelasan yang persis sama dengan penjelasan para staf. Meski aku lihat dari raut wajahnya, tamu itu masih marah dan tidak terima. Namun, mereka menahan diri. Tidak ada lagi bantahan. Aku yakin, mereka bersikap seperti itu karena aku datang dengan tongkat.
Segalanya berubah. Paling tidak, itulah yang aku rasakan.
Di kampus, di hotel, dan di mal, aku menerima perlakuan yang tidak sama seperti biasanya. Sungguh menjadi tidak biasa. Tidak gampang juga menghadapinya. Karena biasanya tidak begini.
Kala datang ke mal untuk menjumpai seorang teman yang bertugas di Kejaksaan Agung, aku mengalami kejadian yang "menyenangkan". Baru saja turun dari mobil menggunakan tongkat, satpam yang berdiri di pintu mal nyamper dan menawarkan bantuan. Aku ucapkan terima kasih. Sewaktu mau keluar toilet setelah buang air kecil, sejumlah orang berlomba membukakan pintu. Teman yang hendak dijumpai pun, menyosong kedatanganku dan membantu duduk. Biasanya ia menunggu di tempat duduk. Aku sungguh merasa kurang nyaman diistimewakan seperti ini. Rasanya semua keistimewaan itu hanya menegaskan bahwa aku sudah menjadi tidak biasa lagi, sudah tidak normal. Karena itu pantas mendapat perhatian lebih.
Keistimewaan paling terasa ketika melakukan perjalanan udara ke Jogja dengan sebuah maskapai penerbangan. Baru saja sampai di Bandara Soekarno-Hatta, di pintu masuk penumpang, seorang wanita cantik datang membawakan kursi roda. Ia yang mengurus pengecekan tiket dan mengantarkan sampai ke ruang tunggu. Saat hendak naik pesawat, diberi kesempatan lebih dulu dan didampingi petugas wanita. Begitupun sesampai di pesawat, pramugari cantik membantu membawakan tas dan mencarikan tempat duduk. Baru saja duduk, pramugari lain yang juga cantik menawarkan bantuan kursi roda saat nanti turun dari pesawat. Susah menyatakan perasaan. Bahagia dan sedih. Bahagia karena mendapat keistimewaan. Sedih karena tiba-tiba menjadi tidak biasa dan memunculkan rasa iba dan kasihan bagi orang lain.
Inilah hidup manusia. Hidup manusia tidak pernah hanya sekadar tumpukan fakta yang objektif, netral, pasti, dan kering. Melampaui itu, hidup kita dirempahi dengan rasa, persepsi, tafsir, pemaknaan dan juga ketakterpahaman serta kesalahpahaman.
Faktanya, ada gangguan pada dengkulku. Orang-orang di sekitar bermaksud baik membantu. Tetapi dalam horison perasaan pastilah tidak sesederhana itu.
Ada perasaan senang karena diperhatikan, dibantu, bahkan diistimewakan. Semuanya normal dalam interaksi antara sesama. Karena saling bantu adalah tanda kemanusiaan yang mendasar. Orang-orang yang tidak kenal pun tak sungkan membantu, dengan senyum manis. Yakinlah mereka tulus. Bila yang melakukannya adalah orang-orang yang bekerja untuk suatu korporasi seperti mal dan maskapai penerbangan, itu adalah bagian dari layanan. Semuanya ada dasar dan alasannya. Semuanya normal, biasa-biasa saja.
Namun, bagaimana perasaan, penghayatan, tafsir dan pemaknaan orang lain, yakni subjek yang diperhatikan dan dibantu? Akan sangat beragam kemungkinannya.
Rasa senang, terima kasih dan bersyukur sepantasnya muncul mengalir karena sudah dibantu dan diperhatikan. Namun, kemungkinan lain bisa terjadi.
Orang yang dibantu mungkin bertanya, apakah aku begitu lemah dan sungguh tak mampu? Karena itu harus dibantu? Jadi ingat Cita Citata lagi, Aku Mah Apaan Atuh?
Boleh jadi orang yang dibantu sebenarnya masih cukup mampu untuk hidup normal tanpa bantuan. Tetapi tidak mudah juga menolak maksud baik pihak lain yang ingin membantu. Seringkali bantuan itu datang sangat mendadak dan sangat sulit ditolak.
Mestinya disadari, selalu ada dilemma bagi orang yang faktanya memang sedang kurang atau tidak normal, karena penyakit atau yang lainnya. Ia selalu mau tunjukkan bahwa semuanya biasa saja. Ia masih mau dan sangat ingin hidup seperti biasanya. Boleh jadi perasaan ini muncul sebagai rasa penolakan untuk mengakui bahwa aku sesungguhnya memang tidak sesehat, sesegar dan sekuat dulu.
Bagi kebanyakan orang, tidaklah mudah untuk mengakui dan menerima kelemahan. Apalagi kelemahan yang bukan bawaan lahir. Tetapi kelemahan yang disebabkan oleh penyakit, kecelakaan, dan musibah lainnya. Menjadi lemah beda dengan memang lemah. Menjadi lemah tentulah didahului dengan pernah kuat atau bugar. Pasti ada perasaan tidak nyaman.
Pada kasus tertentu atau orang tertentu, fakta baru tentang diri yang berbeda ini bisa sangat memukul dan menghancurkan. Hemingway, satrawan USA yang pernah menerima hadiah Nobel, diduga sengaja menembak kepalanya karena sudah tak mampu lagi melahirkan tulisan berkualitas. Kejadian yang sama juga ditengarai terjadi pada Yasunari Kawabata, pemenang hadiah Nobel Sastra asal Jepang. Ia melakukan bunuh diri karena tak lagi bisa menghasilkan karya-karya sastra seperti yang pernah ditulisnya.
Buku sangat tebal bisa ditulis tentang para tokoh, dan orang-orang besar dalam banyak bidang yang berakhir tragis. Bunuh diri karena merasa sudah tidak lagi berfungsi dan bermakna. Telah menjadi tidak biasa.
Maknanya, kita mesti sangat berhati-hati bila ingin membantu siapa pun yang tergolong "lemah". Bisa jadi, bantuan itu justru menimbulkan rasa tidak nyaman dan memancing kemarahan. Apalagi bila cara membantu itu dirasa kurang pas. Ingatlah selalu, kita sedang berhadapan dengan orang yang berada dalam ketidakbiasaan. Biasanya mereka sensi.
Memang tidak mudah menakar perasaan orang. Kita ingin membantu. Sedangkan yang dibantu justru merasa bahwa yang membantu sedang menunjukkan kelemahan orang yang dibantu.
Tidak semua orang berfikir positif dan menerima uluran tangan orang lain dengan senyum kegembiraan. Maknanya, kita harus sangat berhati-hati bila ingin membantu atau menolong orang. Bantuan atau pertolongan kita hendaknya membuat yang dibantu merasa nyaman dan semakin percaya diri.
Seorang teman yang selama bertahun-tahun bekerja sebagai relawan untuk orang-orang berkebutuhan khusus bercerita. Banyak orang beranggapan beberapa orang berkebutuhan khusus tidak bersedia dibantu, bahkan menilai cara bicara dan sikap mereka bikin kita keqi karena terasa agak ketus bahkan nyombong.
Lebih lanjut ia uraikan, ini terjadi karena seringkali cara orang memberikan bantuan menyinggung perasaan mereka karena terasa agak menghina dan merendahkan. Sebagaimana semua manusia, orang berkebutuhan khusus itu memiliki harga diri dan ingin dihormati.
Namun, hal sebaliknya bisa terjadi. Bantuan, bila salah diberikan, bisa membuat orang tidak mandiri, dan mendorong mereka untuk mengeskploitasi kelemahannya agar terus dibantu.
Dalam masyarakat, terutama saat Ramadhan, banyak orang menjadikan mengemis sebagai "profesi". Mereka memanipulasi penampilan dan melakukan berbagai penipuan agar terlihat layak mengemis. Artinya bantuan sangat potensial merusak harga diri si penerima, dan membuat mereka berketergantungan pada pemberian orang lain. Bantuan telah merusak mental mereka. Merubah mereka dari manusia menjadi sampah masyarakat.
Dalam kaitan ini menarik untuk menilik subsidi dan berbagai bantuan sosial yang selama ini diberikan pemerintah. Pastilah ada maksud baik ketika pemerintah memberikan subsisdi kepada masyarakat miskin. Pemerintah menunjukkan perhatian agar mereka bisa menjalani hidup dengan layak.
Persoalannya adalah, apakah pemberian subsidi dan bantuan yang bersifat konsumtif dalam jangka panjang kepada masyarakat miskin tidak akan merusak mental dan membuat mereka tetap dan makin tergantung? Apakah tidak ada cara lain untuk membantu mereka?
Kemiskinan adalah salah bentuk kelemahan atau kekurangan. Karena itu orang miskin seyogianya mendapat perhatian dan bantuan. Namun hendaknya jangan sampai membuat mereka merasa nyaman dalam kemiskinan, justru karena bantuan yang diberikan pada mereka.
KETIDAKBIASAAN, KEKURANGAN, DAN KELEMAHAN MEMANG PERLU PERHATIAN DAN BANTUAN, NAMUN BANTUAN JANGAN SAMPAI MEMPERBURUK KEADAAN.
Sabtu, 19 September 2015
PENGALAMAN BARU: MENJADI TAK BIASA
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
setiap komentar yang masuk akan terkirim secara langsung ke alamat email pribadi Bapak DR. Nusa Putra, S.Fil, M.Pd