Orde Baru adalah rezim otoriter. Meskipun selalu mematut-matutkan diri sebagai pemerintahan yang demokratis, kita tahu bahwa demokrasi yang mereka bangun, dengan tegas disebut Gus Dur sebagai seolah-olah demokratis.
Salah satu kebiasaan buruk yang sengaja dilakukan pada zaman Orde Baru adalah rangkap jabatan. Rangkap jabatan bukan saja dianggap sebagai sesuatu yang biasa dan normal. Bahkan dikesankan sebagai sesuatu yang bagus dan keren karena menunjuktegaskan bahwa pejabat yang merangkap jabatan adalah orang yang hebat dan terpilih.
Orde Baru runtuh, ancur berantakan. Reformasi datang menjelang dengan semangat dan tatanan baru, menggerus tatanan lama yang cenderung korup. Salah satu yang digerus adalah rangkap jabatan. Mengapa?
Rangkap jabatan itu tidak profesional dan kemaruk. Jabatan itu sejatinya mengurusi dan mengelola kepentingan publik. Karena itu tidak ada yang sederhana dan mudah. Dibutuhkan kompetensi, daya tahan, integritas dan kemampuan fokus dalam jangka panjang. Bila seorang pejabat merangkap jabatan, pertanyaannya adalah apakah dia sungguh memiliki kemampuan untuk bekerja maksimal dan fokus menjalankannya? Apakah dia punya cukup waktu untuk bekerja dengan baik dan maksimal?
Harus diakui dengan jujur bahwa manusia itu, seberapa hebat dan kuatnya dia, tetap saja merupakan makhluk yang lemah dan terbatas. Bersama kekuatan dan kelebihannya, melekat kelemahan dan kekurangannya. Dengan demikian rangkap jabatan merupakan tindakan bunuh diri yang merugikan publik atau masyarakat.
Namun, jabatan itu memang sangat menggiurkan. Banyak orang rela melakukan apa saja, sampai menghalalkan segala cara untuk mendapatkannya. Sebab, melekat dalam jabatan itu beragam keistimewaan, keuntungan, kesempatan untuk mendapatkan semua kenikmatan duniawi. Karena itu jangan heran, tidak sedikit orang yang tidak ragu dan malu menjual kepentingan publik dan tujuan-tujuan mulia sebagai jalan untuk dapatkan jabatan. Padahal di balik semua itu yang sesungguhnya dikejar adalah berbagai keuntungan duniawi yang bisa dan biasa diperoleh dengan dan melalui jabatan.
Padahal semua keuntungan dan kenikmatan dunia yang bisa didapat melaui jabatan merupakan perangkap jabatan. Mirip perangkap yang dipasang pemburu untuk menangkap harimau. Biasanya perangkap harimau itu ditandai adanya kambing gemuk yang sengaja diikat untuk memancing harimau memasuki kawasan perangkap. Begitu sang harimau mendekat dan mencoba memangsa kambing, perangkap yang telah dipersiapkan akan mengurung dan membuat harimau tak berdaya.
Para perangkap jabatan sebenarnya bernasib sama dengan harimau itu. Ia telah masuk perangkap. Kelihatannya ia beruntung dan hebat. Sebenarnya tindakannya merangkap jabatan itu memalukan. Sebab secara sadar atau tidak, sengaja atau tidak, ia telah mengambil hak orang lain yang boleh jadi lebih tepat untuk memegang jabatan itu. Tindakannya itu juga menunjukkan ia tidak jujur pada dirinya sendiri. Yang lebih parah adalah perangkapan jabatan itu menunjukkan sifat kemaruk yang keterlaluan. Apapun alasannya!
Dalam cara fikir seperti itu, kita harus mengecam keras apa yang telah ditunjukkan kader-kader PDIP yang sudah dianggkat dalam jabatan tinggi dan penting, namun masih tercatat sebagai anggota DPR. Berdasarkan pemberitaan media dijelaskan bahwa Tjahjo Kumolo dan Pramono Anung telah mengajukan pengunduran diri, tetapi Puan Maharani belum.
Penjelasan kader PDIP yang menyatakan ini hanya masalah teknis, apalagi dikaitkan dengan kepindahan kantor harus ditolak dengan sangat keras. Ini bukan masalah teknis, tetapi persoalan prinsip karena merupakan pelanggaran terhadap undang-undang. Semestinya juga harus dilaporkan ke Majelis Kehormatan Dewan sebagaimana Setia Novanto dan Fadli Zon dilaporkan.
Tjahjo dan Puan bukan sebulan dua bulan jadi menteri, sudah hampir satu tahun. Apakah secara teknis sangat sulit mengurus administrasinya sehingga sudah begini lama tetap belum selesai? Kita tidak tahu apa sebenarnya motif dan tujuan PDIP belum mengurus pengunduran diri kadernya sehingga mereka merangkap jabatan sampai kini.
Meskipun masalah ini berakar pada sikap PDIP yang memang sulit difahami. Namun sesungguhnya ini masalah yang sangat serius bagi Presiden Jokowi. Ia selama kampanye dan menjelang pembentukan kabinet berulang-ulang menegaskan bahwa tidak ada menteri yang boleh merangkap jabatan. Bahkan merangkap jabatan dengan jabatan pada kepengurusan partai.
PDIP ternyata tetap memasukkan Puan sebagai pengurus pusat partai dan belum juga mengurus pengunduran diri dari keanggotaan DPR. Artinya PDIP secara nyata menegasi tekad dan janji Presiden Jokowi.
Meski terlambat, Presiden Jokowi harus tunjukkan kualitas diri dan kepemimpinannya. Ia tidak boleh abai dan membiarkan rangkap jabatan ini terus berlanjut. Jika ia tidak menunjukkan sikap tegas, maknanya ia telah membiarkan adanya pelanggaran aturan oleh orang yang telah dipilihnya. Bagaimana ia bisa tegakkan aturan secara konsisten pada yang lain, jika terhadap orang dekatnya ia tidak bisa tegas bertindak.
Ia harus tidak peduli bahwa tiga orang pejabat itu berasal dari PDIP, partai yang mendukungnya. Apa untungnya bagi Jokowi membiarkan pelanggaran yang dilakukan justru oleh pendukung utamanya. Presiden Jokowi pasti sangat sadar bahwa ia dipilih rakyat yang jumlahnya lebih besar dari pemilih PDIP. Karena itu ia harus bersikap tegas. Meminta mereka memilih satu jabatan saja. Jika tidak segera saja cari penggantinya!
Jika Presiden Jokowi tidak juga berani bersikap, maka tuduhan lawan-lawannya, tetutama Fadli Zon, bahwa ia hanya boneka atau wayang, terbukti benar adanya.
INDONESIA TIDAK AKAN HEBAT JIKA DIPIMPIN OLEH WAYANG ATAU BONEKA.
Kamis, 17 September 2015
PERANGKAP JABATAN
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
setiap komentar yang masuk akan terkirim secara langsung ke alamat email pribadi Bapak DR. Nusa Putra, S.Fil, M.Pd