Senin, 30 November 2015

KEINDONESIAAN KITA

( Penghargaan bagi Dr. Suparto dan Dr. A. Fathoni Rodli)


Ada yang menarik dari nama-nama sejumlah pondok pesantren yang merupakan pondok pesantren tertua dan sampai kini menjadi pondok pesantren besar serta sangat berpengaruh. Nama-nama pondok pesantren dimaksud antara lain Pondok Pesantren Sidogiri, Tebuireng, Langitan, Gontor, Banyuanyar, Buntet, Krapyak.

Apanya yang menarik? Pondok-pondok pesantren itu tidak bersibuk dengan nama. Namanya kebanyakan diberikan oleh masyarakat. Nama yang digunakan adalah nama daerah tempat pondok itu berdiri. Mereka tidak menggunakan nama-nama Arab. Mengapa menarik?

Perhatikan nama-nama pondok pesantren yang dibangun lebih kemudian dan sekolah-sekolah Islam terpadu yang kini tumbuh bagai gatal di musim banjir. Nyaris semuanya menggunakan nama-nama Arab.

Apakah salah menggunakan kata-kata Arab yang diambil dari Al Qur'an?

Tentulah tak ada salahnya. Apalagi maknanya seringkali menunjukkan tujuan yang ingin dicapai seperti Khusnul Khotimah, Al Fatah, dan Al Muslim.

Pondok pesantren yang tidak menggunakan kata-kata Arab itu menarik karena memakai nama yang menunjukkan daerah tempat pesantren itu berdiri. Pemakaian nama dengan cara seperti itu menegaskan sejumlah pandangan hidup yang tidak sederhana.

Para pendiri pesantren itu sangat menyadari dan hendak membangun kesadaran melalui pendirian dan pendidikan pesantren  bahwa agama Islam itu universal dan sangat memperhatikan nilai-nilai budaya lokal. Mereka hendak membangun kesadaran bahwa sangat penting menjadi orang Islam yang tidak kehilangan akar keindonesian.

Bagi mereka mencintai tanah air adalah bagian dari perujudan iman dalam ruang waktu, dalam konteks sosial budaya. Karena tanah air dimana kita dilahirkan adalah bumi Allah yang sama dengan bagian bumi Allah yang lain tempat Al Qur'an diwahyukan. Di tanah air inilah kita beribadah dan beramal shaleh.

Sebagai pewaris Wali Songo, para pendiri pesantren itu meneladani para wali yang memperkenalkan Islam dengan cara-cara damai dan menunjukkan kreativitas tinggi memanfaatkan nilai dan praktik budaya yang telah ada sebelum Islam hadir. Tentu kreativitas yang didahului sikap analitis-kritis.

Substansinya adalah membangun harmoni budaya, dan hidup damai dalam keberagaman dan keberbedaan. Namun tidak larut dalam keberagaman itu dan kehilangan identitas. Penggunaan nama daerah yang khas seperti Krapyak, Buntet, Tebuireng menunjuktegaskan identitas itu secara sangat kental. Nama itu menegaskan di sinilah kami lahir, di sinilah kami berdiri sebagai seorang muslim. Muslim yang lahir dan besar di Indonesia, yang memiliki identitas yang jelas. Jadi kemusliman dan keindonesiaan dipahami dan dihayati sebagai keberadaan yang terpadu. Bukan sebagai sesuatu yang dipertentangkan.

Mengapa para pendiri pesantren itu mengembangkan cara pandang ini? Paling tidak bisa dirujuk dua alasan. Pertama, Islam itu adalah rahmat bagi alam semesta. Kehadirannya karena itu harus mendatangkan kedamaian, kenyamanan, dan kekuatan pendorong bagi pemekaran manusia menjadi insan kamil, manusia terbaik yang bisa memberikan manfaat bagi orang lain dan lingkungan, dimana pun dia berada.

Dalam Al Quran ditegaskan bahwa Islam melanjutkan warisan nabi-nabi sebelumnya. Karena itu Islam bukanlah ajaran yang sama sekali baru dan asing. Puasa, zakat dan sedekah sudah ada pada banyak tradisi sebelum Nabi Muhammad SAW datang. Bahkan ajaran utama Islam yaitu Tauhid sudah berkembang sebelum Nabi Muhammad SAW lahir. Cerita tentang Nabi Adam As dan Nabi Ibrahim membuktikan itu.

Islam datang untuk melakukan dua hal sekaligus. Mengoreksi penyimpangan terhadap ajaran yang diyakini datang dari Allah dan melanjutkan berbagai tradisi yang memang telah berkembang pada masa nabi-nabi sebelum nabi Muhammad SAW. Sebagai contoh, sebelum Nabi Muhammad SAW lahir, masyarakat Arab sudah mengenal musyawarah. Namun, musyawarah itu hanya mengikutsertakan kaum elit, tidak pernah mengikutsertakan masyarakat biasa. Islam melanjutkan tradisi musyawarah yang mendorong keikutsertaan semua pemangku kepentingan. Inilah sifat dasar Islam yang kemudian dijadikan dasar oleh para pendiri pesantren itu. Islam bersikap kritis atau tidak sembarang menerima, dan afirmatif atau menerima tradisi yang tidak bertentangan dengan Islam. Dalam kerangka inilah keimanan dan keindonesiaan diupayakan menjadi sebuah penghayatan yang padu dan utuh sebagaimana kita saksikan dalam tradisi ahli sunnah wal jamaah atau aswaja.

Dalam kaitan ini menarik untuk dicemati bahwa mereka yang tumbuh kembang di pesantren disebut kaum sarungan. Fakta ini menunjukkan bahwa menjadi orang Islam tidak perlu meniru gaya berpakaian orang Arab. Indonesia sejak dulu telah mengenal sarung sebagai pakaian khas. Fakta ini penting karena masih saja ada orang yang selalu mengatakan bahwa Islam itu identik dengan Arab. Pastilah ini pandangan yang keliru. Kita tahu saat Nabi Muhammad SAW hidup, beliau menentang kejahiliyahan Arab. Artinya tidak semua yang Arab itu adalah Islam. Pesantren dan sarung adalah sebuah gerakan budaya yang menunjukkan Islam dan keindonesiaan bisa menjadi harmoni.

Kedua, adalah tradisi para wali. Para wali membuktikan, pada saat para penguasa Islam dihancurlantakkan oleh penjajah mulai dari Malaka sampai Ternate, para wali berhasil menyebarluaskan Islam dengan kecepatan dan luas wilayah yang luar biasa.

Maknanya, Islam di Indonesia tidak disebarluaskan oleh penguasa dengan pendekatan politik kekuasaan yang mengikuti pola pemaksaan. Tetapi dengan pendekatan budaya yang mengedepankan persuasi, argumentasi dan keteladanan yang hidup oleh para wali. Sunan Wali Songo tidak menganjurkan berkorban dengan sapi, tetapi kerbau. Tidak ada ajaran Islam yang dilanggar dengan seruan ini. Namun, saudara setanah air yang Hindu merasa dihormati. Lihatlah Masjid Raya Kudus yang dengan sengaja menggunakan arsitektur Hindu.

Gus Dur menyebutnya sebagai pendekatan budaya dalam pengembangan Islam. Islam datang dengan kedamaian dan menghargai perbedaan serta keragaman. Inilah akar Islam moderat dan damai di Indonesia.

Bersebalikan atau bertolak belakang dengan pendekatan budaya adalah pendekatan 'sok membela Islam'. Katanya membela Islam, tetapi caranya bertentangan dengan ajaran Islam. Menghujat, menyerang, memaki dan seenaknya menuduh orang sesat.

Menyerang penjual alkohol pinggiran jalan yang menjual alkohol beberapa botol, tetapi membiarkan pabrik alkohol beroperasi. Padahal pabrik itu di depan batang hidungnya. Memberantas maksiat jalanan, tetapi membiarkan maksiat di gedung-gedung mewah. Menyerang orang lain yang sedang beribadah, karena merasa orang lain sesat dan dirinya benar. Nabi Muhammad SAW saja mempersilahkan orang berkeyakinan lain beribadah dengan tenang,

Pendekatan 'sok membela Islam' inilah yang membuat citra Islam sebagai agama perdamaian menjadi rusak. Kesannya Islam itu reaksioner dan hanya bisa marah serta ngamuk-ngamuk.

Dalam kaitan inilah bisa ditegaskan, bila benar Habib Riziq, pentolan Front Pembela Islam, telah melecehkan sampurasun, sapaan yang merupakan doa dalam budaya Sunda menjadi campuracun, sungguh merupakan kejahatan luar biasa. Bila dia tidak paham maksud hakiki sampurasun seharusnya lebih baik diam.

Jangan pernah mengatasnamakan Islam untuk menyerang siapa pun. Nabi Muhammad SAW memang pernah memimpin perang. Tetapi ada sejumlah persyaratan mengapa harus berperang. Perang yang dilakukan Islam bukan untuk menghancurkan orang lain, bukan pula untuk ekspansi. Tetapi untuk membela diri karena ada serangan nyata yang mau hancurkan Islam.

Kita memang harus terus meningkatkan kewaspadaan. Karena sudah sejak lama ada kelompok orang yang mengatasnamakan Islam untuk memecah belah bangsa ini. Mengadu domba umat dengan mempertentangkan berbagai perbedaan yang ada dalam masyarakat.

Mereka secara sengaja menyerang semua tradisi keindonesiaan yang merupakan olahan kreatif manusia Indonesia yang beriman dan memberikan corak tradisi di dalamnya. Olahan kreatif itu sebenarnya sejalan dengan kreativitas yang berkembang di seluruh dunia sebagai upaya untuk mewujudkan iman dalam praktik hidup nyata terkait konteks sosial budaya.

Seandainya mereka pernah berkeliling dunia dan mau sunguh-sungguh membuka hati dan fikiran, melihat bagaimana corak Islam di Makkah, Madinah, Mesir, Pakistan, India, Irak, Iran dan banyak tempat lain di dunia, pastilah ditemukan bahwa corak lokal itu memang ada. Beragam corak lokal itu mewarnai Islam. Meski tentu saja prinsip-prinsip dasar Islam seperti Tauhid tetap sama.

Percayalah, warisan para ulama yang meneladani sikap dan praktik para wali, yang telah menunjukkan kesungguhannya untuk mengusahakan Islam bercorak keindonesiaan, akan terus berkembang. Mereka tunjukkan bahwa Islam itu damai, Islam itu menghargai perbedaan, dan Islam itu toleran. Corak inilah yang kini membuat orang Islam di seluruh dunia melihat Indonesia sebagai pusat pengembangan Islam terbaik.

Jangan heran bila tidak akan lama lagi, Indonesia akan menjadi pusat pengkajian Islam, melampaui Timur Tengah yang terus bergolak dan tak mampu merawat keberagaman serta toleransi.

ISLAM DI INDONESIA HARUS TERUS MENCIPTAKAN PERDAMAIAN, MENGHARGAI KEBERAGAMAN, DAN MENDORONG TOLERANSI.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

setiap komentar yang masuk akan terkirim secara langsung ke alamat email pribadi Bapak DR. Nusa Putra, S.Fil, M.Pd