Pagi Jakarta. Jalanan macet. Motor pun tak dapat bergerak cepat. Sendatan karena penumpukan terjadi di banyak tempat. Tidak hanya di perempatan atau pertigaan. Kemacetan juga terjadi di sekitar sekolahan. Para orang tua sibuk mengantarkan anaknya dengan motor atau mobil, memadati ruang sempit di depan gerbang sekolah. Kendaraan memanjang dan menambah kemacetan.
Di antara kepadatan kendaraan dan jalanan macet, tepat di pinggir jalan di atas parit yang ditutupi dengan kayu-kayu bekas, berdiri warung makan sederhana. Seorang pengemudi Gojek sedang asyik menyeruput kopi sambil menikmati tempe goreng yang masih panas. Tepat di depannya duduk seorang lelaki bertubuh sangat kekar. Badannya berotot berisi. Dapat dipastikan hasil latihan keras angkat berat. Benar-benar bergaya petinju kelas berat.
Rambutnya dipotong pendek gaya tentara. Kiri-kanan tangannya dipenuhi tato warna-warni. Tiga jari pada tangan kanan dipenuhi cincin dengan batu akik yang besar, begitupun dua jari tangan kiri. Tasnya besar hitam dengan asesori tengkorak terbuat dari besi. Sepatunya mirip sepatu yang biasa dipakai satpam, tinggi, hitam, besar.
Gelas yang terlihat terlalu besar di tangan pengemudi Gojek, terlihat kecil di tangan lelaki tegap berotot ini. Ada rantai besi besar mencantol pada tali pinggang yang menghiasi pinggang kanan. Pergelangan tangan kanan dihiasi gelang besi berukuran besar, sesuai ukuran badan yang tegap tinggi. Di leher ada rantai besi yang tak kalah besar dengan tengkorak menggantung di bagian bawah.
Pengemudi Gojek terlihat sangat kaget saat lelaki tinggi tegap besar berkulit hitam itu bertanya berapa harga makanan yang baru saja dihabiskannya. Sangat kaget karena suaranya kemayu layaknya perempuan dengan tangan bergaya melambai. Sama sekali di luar dugaan. Tubuh Hercules, vocal Cita Citata.
Dalam sinetron dan acara komedi di televisi, sosok seperti ini sering ditampilkan. Wajah preman, suara sinden. Memang gampang menimbulkan kelucuan. Namun menjadi sangat berbeda rasanya ketika bertemu dengan sosok seperti ini dalam kehidupan nyata. Waw bangets rasanya.
Inilah manusia. Penuh kejutan. Tak mudah diidentifikasi. Sejak dulu kita mengenal perempuan dan lelaki. Kini semakin populer munculnya perempuan spesial. Perempuan pake telur, sebagaimana nasi goreng spesial. Lelaki yang menonjolkan diri dengan gaya perempuan. Gerak dan cara bicaranya kemayu abis. Jadi keperempuan-perempuanan.
Kita sulit mengetahui mengapa gejala ini semakin menonjol. Semakin banyak saja lelaki yang seperti itu. Apakah berakar pada masalah genetis, disfungsi bagian otak tertentu, salah asuhan, pengalaman buruk waktu kanak-kanak, atau ikut-ikutan kecenderungan gaya hidup bebas?
Dapat dipastikan akar masalahnya tidak hanya bersumber dari individu. Bagaimanapun berbagai perubahan dalam masyarakat bisa ikut menentukan. Masyarakat kita kini semakin bebas dan cenderung membiarkan. Orang-orang sangat asyik dengan diri dan kelompok-kelompok kecil yang memberi kenyamanan. Ikatan kuat antar anggota masyarakat yang biasa saling mengingatkan dan mengawasi seperti dulu sudah semakin jarang ditemukan. Tuntutan dan tantangan hidup yang semakin tinggi dan sulit mendorong setiap orang fokus untuk memenuhi berbagai kebutuhan dan keinginan sendiri. Interaksi antar individu lebih banyak bersifat transaksi untuk memenuhi tujuan-tujuan jangka pendek. Dengan demikian kepedulian pada sesama dan lingkungan semakin mengendur dan berkurang.
Bersamaan dengan itu tingkat persaingan antar individu dan kelompok makin ketat. Dalam situasi seperti ini, individualisme semakin meningkat. Rasa nyaman dalam kebersamaan semakin menghilang. Setiap individu berusaha keras untuk mendapatkan tempat dan meneguhkan keberadaannya dengan berbagai cara. Banyak orang mulai merasa bahwa semakin berbeda dan aneh atau unik, ia akan mendapat perhatian dan tempat tertentu dalam masyarakat, paling tidak lingkungan terdekatnya.
Boleh jadi situasi inilah yang mendorong sejumlah orang berani tampil beda, dengan macam-macam model tampilan. Prinsipnya aku adalah perbedaan, aku adalah keunikan. Semakin beda, semakin oke.
Harus diakui bahwa media massa, terutama televis sangat mendorong sikap dan tampilan seperti ini. Apapun yang sering ditampilkan di televisi akan ditiru oleh banyak orang. Sungguh, inilah tampakan paling nyata dari modernitas.
Dalam dunia moderen kelihatan para individu merupakan manusia bebas. Bebas memilih, bebas berekspresi. Namun, hakikinya mereka tak lebih dan tak kurang adalah korban dari perekayasaan masyarakat, terutama melalui media massa.
Pada mulanya mereka merasa sebagai individu yang bebas, sebebas-bebasnya. Tidak sedikit yang kemudian terjerumus tenggelam karena dan di dalam kebebasan yang tak bermakna. Mulailah merasa asing dan kesepian. Kemudian merasa hidup tak bermakna. Ujungnya alkohol, narkoba dan bunuh diri. Kebebasan yang berujung tragis.
****************************************
Menjelang malam, agak gerimis. Gerobak penjual roti bakar pinggir jalan baru saja dibereskan oleh penjualnya. Perempuan berusia dua puluh tiga tahun itu sabar menunggu si abang mempersiapkan api untuk memanggang roti. Perempuan itu hendak membeli roti bakar. Tampak wajahnya letih. Rupanya ia baru saja pulang kerja di kawasan industri Pulo Gadung. Ia masih mengenakan seragam pabrik. Nyaris setiap sore ia membeli roti bakar untuk buah hatinya yang berusis dua setengah tahun.
Ia tinggal tidak jauh dari tempat tukang roti bakar. Ia mengontrak sepetak kamar kecil. Setiap kali ia kerja, putanya yang lucu dan imut dititipkan pada seorang ibu dekat kontrakan. Ia membayar ibu itu tiap minggu. Ia terpaksa bekerja untuk menghidupi diri dan anaknya.
Pada mulanya sangat terasa berat baginya hidup seperti ini. Membesarkan anak sendirian. Meninggalkan bangku kuliah, dan bekerja di pabrik sebagai petugas administrasi. Tentu gajinya tak seberapa. Seringkali ia terpaksa lembur untuk mencari tambahan penghasilan.
Terasa sangat berat karena ia anak orang sangat kaya dan terpandang. Keluarganya pengusaha kaya dan terpandang karena memiliki sekolah berbasis agama. Sekolah milik keluarganya besar, megah, terpandang dan favorit. Ayah dan ibunya juga pengurus organisasi agama.,kedua orang tuanya dikenal sebagai penceramah agama, panutan umat.
Keluargnya berhasil dan terpandang. Secara ekonomi hebat karena ayahnya pengusaha sukses. Kemasyarakatan menjulang sebab keluarganya mendirikan sekolah terbaik, membangun tempat ibadah dan menyantuni anak yatim. Keagamaan terhormat, karena menjadi pengurus organisasi agama terpandang. Tak tanggung-tanggung, ketua umum.
Keluarga ini memiliki enam anak. Perempuan yang membeli roti bakar itu bungsu dan satu-satunya perempuan. Karena itulah ia sangat disayang, dimanja sekaligus dijaga dengan lebih ketat.
Di rumah ia didisiplin dengan ketat. Bangun pagi, sholat subuh. Secara rutin dibangunkan tengah malam untuk shalat malam. Di sekolah milik keluarganya disiplin juga ditegakkan dengan tegas. Setiap hari siswa harus shalat dhuha, shalat zuhur dan ashar berjamaah. Pulang setelah shalat ashar. Shalat maghrib harus berjamaah di masjid besar dekat rumah yang dibangun keluarganya. Ayahnya yang menjadi imam. Setalah itu harus mengaji sampai isya tiba.
Bila liburan, ia harus ikut ayahnya ceramah agama ke berbagai tempat. Ayahnya selalu membanggakan anak-anaknya yang rajin beribadah dan selalu juara kelas, termasuk si bungsu ini. Ibunya sangat didengarkan bila berbicara tentang pengasuhan anak. Betapa tidak, empat anaknya sudah sarjana, satu sedang kuliah dan si bungsu segera akan kuliah. Dua kakaknya sedang mengikuti pasca sarjana.
Akhirnya si bungsu harus tinggalkan kampung halaman, sebuah kota kecil yang hanya memiliki kampus kecil. Mengikuti jejak kakak-kakaknya, ia kuliah di Jakarta.
Di kampus ia langsung bergabung dalam unit kemahasiswaan bidang agama atau rohani. Karena pandai membaca Al Qur'an dan paham ajaran agama, ia diberi kesempatan mengajari mahasiswa baru yang tidak bisa atau tidak lancar membaca Al Qur'an.
Segera saja banyak mahasiswa yang kurang menyukainya. Caranya jika mengingatkan agar segera shalat dirasa berlebihan atau lebay. Ia gampang menilai orang lain dengan istilah-istilah negatif bila menurutnya tidak sesuai dengan keyakinannya. Ia sama sekali lupa bahwa sekarang tinggal di kota besar dan bertemu dengan beragam orang yang pasti sangat berbeda dengan dirinya. Kesan kebanyakan orang tentang dia adalah "sok suci".
Karena kebisaannya dalam bidang agama dan gayanya yang nyebelin, para mahasiswa memanggilnya ibu ustazah. Tentu dengan gaya yang agak menyindir. Ia sering menegur teman-temannya yang menggunakan kerudung gaul. Ia selalu menjadikan dirinya sebagai contoh. Pun dalam menggunakan kerudung.
Pada awal semester kedua, si bungsu jarang terlihat di kampus. Ia tidak pernah muncul dalam mata kuliah apapun. Ibu kosnya katakan ia jarang pulang. Mungkin pulang kampung, jelas ibu kos.
Akhirnya ketahuan juga. Ia menghilang karena hamil. Ia jatuh cinta pada kakak kelasnya dan sering diajak nginap di banyak tempat. Dari pagi sampai sore ia di kampus kuliah dan mengajar mengaji, malam ia bersama pacarnya. Menginap di mana saja. Ia hidup dalam dua dunia yang bertentangan. Sudah dapat dipastikan ia jadi bahan cibiran, terutama oleh teman-teman yang sering ditegur dengan kasar.
Tentulah terjadi kehebohan. Macam-macam komentar, gosip, dan spekulasi merebak. Beragam tuduhan dihunuskan padanya, terutama oleh temannya sesama aktivis kegiatan keagamaan yang sudah pasti sangat kecewa padanya. Mereka sungguh merasa malu atas apa yang terjadi pada si bungsu.
Biasalah, untuk menjaga kredibilitas lembaga, mereka mulai mengecam si bungsu. Ada penilaian bahwa si bungsu aktif di lembaga itu sebagai topeng untuk menutupi perilaku yang sesungguhnya. Seperti dulu si bungsu selalu menilai orang dengan kata munafik. Kini nyaris semua orang bilang dia munafik. Pendosa yang memalukan.
Bagaimanapun si bungsu berupaya menyembunyikan, akhirnya keluarganya tahu. Kedua orang tuanya langsung masuk rumah sakit karena sangat kaget. Kelima kakaknya marah besar. Ia dimarahi, dicaci maki, dihujat, diusir dan tak lagi diakui sebagai anggota keluarga. Perbuatan si bungsu bagai melumuri jidat seluruh keluarga dengan kotoran anjing.
Keluarga besar si bungsu benar-benar marah, tepukul, sangat malu, merasa diremukkan, tak tahu harus berbuat apa dan tak mengerti di mana wajah hendak disembunyikan. Reputasi keluarga yang telah dibangun dengan susah payah, benar-benar diruntuhkan oleh si bungsu.
Menghadapi kondisi yang sangat menghancurkan ini, si bungsu merasa nasibnya seperti orng yang jatuh ke dalam selokan penuh kotoran, ketimpa tangga, kesiram cet, dan kejatuhan genteng. Remuk abis. Permohonan maafnya sambil mencium kaki ibunya sama sekali tak diterima. Ia benar-benar diusir.
Sungguh ia bingung dan kacau. Mau pergi kemana? Uang tak ada pula. Ia sungguh pilu dan menyesal. Kekasih pergi, perut berisi, keluarga terbakar emosi.
Inilah untuk pertama kali ia merasa betapa hidup ini tak bisa dimengerti dan mengerikan. Sepi sunyi sendiri, patah hati dan mengadung bayi. Ia putuskan berhenti kuliah. Tetapi tak tahu harus berbuat apa untuk melanjutkan hidup. Terlintas untuk akhiri hidup dengan cara bunuh diri. Tetapi ada rasa sangat takut dan ngeri nyeri nun jauh di palung hati.
Untunglah saat galau kacau begini ada seorang teman yang mau memahami. Kini si bungsu yang malang dan ngenes numpang di kosan si teman. Si bungsu sebenarnya merasa malu. Sebab teman yang satu ini dulu sering dihujani kata-kata tak pantas oleh si bungsu.
Waktu terasa beringsut, bergerat sangat lambat. Ia tak lagi kuliah. Si teman membawakan banyak tugas teman-teman yang harus diketik. Si bungsu mengerjakannya dan mendapat imbalan per lembar. Kini dalam hidup yang serba kejepit yang justru membantu adalah teman-teman yang dahulu sering dihujatnya. Sedangkan teman-teman sesama aktivis lembaga keagamaan kampus benar-benar memperlakukannya bagai sampah busuk.
Si bungsu sungguh belajar tentang hidup dan manusia. Saat dia melahirkan, teman-teman yang dulu dimusuhi dan dihujat yang mengurusinya, pun yang mencarikan dana bagi persalinan. Sama sekali tak ada kabar dari keluarganya.
Kala anaknya berusia setahun lebih, kakaknya mencarinya dan memintanya pulang. Boleh jadi karena anak si bungsu satu-satunya cucu lelaki dalam keluarga itu. Tu anak imut, cakep dan gemesin. Si bungsu menolak. Dia sudah merasa tak lagi punya hubungan apapun dengan keluarganya.
Agaknya pengabaian dan penghinaan yang pernah dirasakannya telah merubah perasaannya pada keluarga besarnya. Ia tak bakalan lupa saat ayahnya menyebutnya binatang jalang, iblis betina. Ia tak pernah mengira ibunya sampai hati mengatakan sangat menyesal telah melahirkannya.
Ia memilih untuk hidup bersama buah hatinya. Ia tak lagi merasa hina atau tersinggung jika orang membicarakan hidupnya yang pahit dan cupet. Faktanya inilah hidupku, tegasnya. Ia hanya ingin memberikan kehangatan cinta, perhatian, dan kasih sayang sepenuh jiwa pada belahan jiwanya. Itulah sebabnya ia menampik ajakan lelaki untuk menikahinya. Ia ingin fokus membesarkan anaknya. Ia selalu merasa para lelaki itu mungkin bisa dengan tulus menerimanya. Tetapi apakah ketulusun itu ada untuk anaknya?
Kini ia sungguh merasa nyaman dan bahagia. Bisa menghidupi buah hatinya. Ia bersyukur pada Tuhan karena memberi kesempatan padanya untuk menjadi lebih baik dan membesarkan anaknya. Ia sadar, tak ada yang bisa mengubah masa lalu yang telah dilampauinya. Ia tidak mau dipenjara masa lalu yang mengerikan itu.
Ada secuil tanya, mengapa anak yang diasuh dengan cara yang tergolong baik, menggunakan pendekatan agama, dibiasakan berbuat baik dan beribadah bisa terjerumus terjerembab seperti si bungsu? Apanya yang salah? Orang tua memberikan perhatian, semua kebutuhan dipenuhi, si anak juga diberi kesempatan untuk terus belajar menjadi lebih baik?
Tidak pernah mudah menjawab pertanyaan yang secuil ini. Jawaban yang diberikan pastilah bersifat kira-kira. Bisa benar atau salah.
Setiap atau semua orang tua mengusahakan dan berharap anaknya menjadi yang terbaik. Nama yang diberikan pada anak biasanya menggambarkan itu. Selalu ada tujuan dan makna dalam nama yang diberikan pada anak.
Untuk memenuhi tujuan dan harapan itu tidak jarang orang tua terlalu asyik dengan pikiran, strategi, dan cara-cara yang kurang memperhatikan kondisi dan aspirasi anak. Orang tua juga kerap menggunakan strategi dan cara yang sama untuk semua anak, sebab cara itu telah terbukti berhasil untuk anak pertama.
Tidak sedikit orang tua yang alpa bahwa setiap anak unik, berbeda dari anak manapun, juga dari saudara kandung, bahkan dari saudara kembarnya. Walau mereka berasal dari ibu dan ayah yang sama. Ada bagian gen tertentu dari kedua orang tua yang berkembang pada anak pertama, dan gen tertentu lain yang berkembang pada anak kedua. Itulah sebabnya dua anak kandung memiliki lebih banyak perbedaan daripada persamaan.
Konsekuensinya, tiap anak seharusnya tidak bisa diasuh dengan cara yang persis sama atau seragam. Apalagi bila anak berbeda jenis kelamin. Bagaimanapun perbedaan jenis kelamin membawa perbedaan yang sangat bermakna. Karena sudah terbukti sistem otak perempuan dan lelaki tidak sama persis, begitupun kandungan hormon ditubuhnya. Pastilah perbedaan ini membawa pengaruh yang tidak sederhana dalam tumbuh kenbang anak dan cara-cara pengasuhannya.
Barangkali karena si bungsu satu-satunya perempuan dalam keluarga itu ia mendapatkan segalanya secara berlebihan. Kasih sayang yang luar biasa, perhatian di atas rata-rata, dan pengawasan yang sangat ketat. Maklumlah, bungsu dan perempuan. Dalam tradisi kita anak bungsu memang tidak diperlakukan sama dengan anak yang lain. Anak perempuan juga tidak diasuh sama persis dengan anak lelaki.
Si bungsu berada dalam kondisi pendisiplinan yang sangat ketat. Hidupnya diatur dengan pasti dari bangun tidur sampai tidur kembali. Ia kurang memiliki kesempatan bermain seperti anak-anak sebayanya. Ia harus menunjukkan sikap baik dan sangat terjaga untuk mempertahankan kehormatan keluarganya.
Rasanya ia tak pernah ditanya apa yang diinginkan dan diharapkannya. Ia harus berperilaku dan bertindak sesuai dengan keinginan, tujuan dan cita-cita orang tuanya. Sebagai anak pastilah ia patuh. Meski dalam hati boleh jadi kadang ia menangis.
Meski hidup berkecukupan bahkan berlebihan, dan mendapatkan perhatian berlebih. Namun ia tertekan. Sama sekali tak ada celah untuk kemukakan keinginan dan kesempatan untuk ekspresikan suara hatinya yang asli.
Ia hidup dalam mekanisme yang telah diatur dengan sangat rapih, baju apa yang dikenakan, kemana pergi berlibur, dengan siapa ia boleh berteman, semua sudah ditetapkan dan diputuskan. Tentulah ada maksud baik dalam semua aturan itu. Si bungsu sungguh kehilangan kebebasan dan spontanitas selama tumbuh mekar.
Ia dijejali berbagai norma, aturan, tatatertib yang harus dilaksanakan tanpa tanya. Ayahnya ingin ia jadi guru untuk melanjutkan dan mengembangkan sekolah yang telah dibangun keluarganya. Kakak-kakaknya tampaknya dipersiapkan untuk melanjutkan usaha keluarganya.
Si bungsu merasa dirinya lebih cocok jadi dokter. Ia bercita-cita jadi dokter sejak kecil. Bila dilihat prestasi selama di SMA, potensi untuk lulus bila ikut ujian masuk kedokteran boleh jadi ia lolos. Pada mulanya ibunya mendukung keinginan ini. Namun belakangan ibunya mendorongnya menjadi guru. Sebab ayahnya sangat ingin ia jadi guru.
Berdasar kondisi nyata selama pengasuhan boleh dibilang, saat dilepas ke Jakarta untuk kuliah, ia seperti "binatang yang terlalu lama dikurung, sekarang dilepaskan". Ia benar-benar bingung menghadapi kenyataan hidup sendiri tanpa pengawasan langsung orang tuanya yang selama ini sangat mengekangnya.
Sebenarnya ia ingin ikut kegiatan pecinta alam. Tetapi ayahnya memaksanya mengikuti kegiatan keagamaan di kampus. Situasi ini sungguh membuatnya selalu dalam keresahan dan kebingungan. Ia merasa apapun yang diinginkannya tak pernah bisa diraihnya.
Itulah sebabnya saat bertemu cowok yang kepribadiannya berbeda bahkan bertentangan dengan ayah dan kakak-kakaknya yang selalu mengekang, memerintah, dan menyuruh, ia benar-benar merasa mendapatkan yang diharapkannya.
Sejak kenal dengan cowok itu ia sebenarnya tidak pernah menginap di tempat kos. Setiap malam adalah petualangan. Mulai dari ngobrol asyik di depan Museum Kota Tua sampai pagi. Nongkrong di Pantai Ancol semalaman. Bila sabtu malam minggu menginap di Anyer atau Puncak. Ia nikmati abis kebebasan yang seumur hidup tak pernah dirasakannya. Ia merasa inilah hidup yang sesungguhnya. Hidup yang sangat diharapkannya.
Si bungsu benar-benar lepas kendali. Pada mulanya ia merasakan menemukan jati dirinya sebagai seorang perempuan. Bebas menentukan dan bebas melakukan apa saja. Saat itu ia sama sekali mengabaikan semua resiko.
Kini, ia tak mau salahkan siapa pun. Ia hanya ingin hidup tenang bersama buah hatinya. Ia ingin belahan jiwanya tak alami nasib yang sama dengannya. Tentang keluarga besarnya ia bilang, itu masa lalu yang mengerikan. Aku sudah bisa lupakan mereka, dan hidup damai tanpa mereka.
**************************************
Ayahnya sangat lembut dan penuh pengertian. Sangat menyayangi si sulung yang memang manja dan minta perhatian lebih. Si sulung ini memiliki adik perempuan seperti dirinya. Ia dan adiknya berbeda usia tiga tahun. Mereka berdua kompak, cerdas dan cakep.
Si sulung sejak SMA lebih memilih sering tidur di rumah neneknya yang sama jauhnya dari rumahnya ke sekolah. Itulah yang membuat ibunya sering marah. Ibunya katakan bila rumah nenek lebih dekat ke sekolah tak ada salahnya kamu tinggal di situ dan akhir pekan pulang.
Si sulung memilih tinggal di rumah neneknya bukan karen alasan jarak. Justru hendak menghindari ibunya yang disebutnya burung berkicau atau nek lampir mabuk.
Ayahnya dulu pengusaha sukses. Karena ada gangguan jantung akhirnya memutuskan untuk mengurangi aktivitas dan lebih banyak di rumah. Sementara ibunya sejak gadis sudah bekerja, dan terus bekerja saat ayahnya memutuskan mengurangi aktivitas. Sebenarnya si sulung sangat gembira karena ayahnya lebih sering di rumah. Dulu saat ayahnya masih aktif dengan usahanya, jarang sekali mereka bertemu.
Namun ibunya sangat cerewet dan pengatur. Itulah sebanya ia menyebut ibunya burung berkicau dan nek lampir mabuk. Bangun tidur di pagi buta, ibunya sudah mengatur harus ini itu. Jika ibunya mengantarkannya ke sekolah, sepanjang jalan ia harus dengarkan perintah tidak boleh begini, harus begitu, jangan begono.
Sepanjang jalan hanya ibunya yang bicara. Ibunya sangat marah bila si sulung menyatakan pendapat, apalagi bila mempersoalkan apa yang dikatakan ibunya. Ibunya akan lebih marah bila ia tertidur sementara ibunya terus saja nyerocos.
Sebagai remaja awal yang sedang tumbuh mekar, ia sangat tersiksa dengan sikap ibunya. Ibunya mengatur segala sesuatunya sampai membelikan pakaian dalamnya. Ia sangat kesal karena model pakaian dalam yang dibelikan emak-emak bangets. Beda betul dengan milik teman-temannya yang trendi abis.
Ia tidak berani membangun hubungan khusus dengan lelaki karena ibunya sering mengancam. Jika coba-coba pacaran dia akan dimasukkan sekolah berasrama. Dia sama sekali tidak ingin bersekolah di sekolah berasrama. Ia tidak berani mengikuti kegiatan di sekolah, sebab ibunya mematok jam berapa harus sudah sampai di rumah. Sangat beralasan bila kemudian ia memilih tinggal di tempat neneknya yaitu ibu dari bapaknya.
Di tempat neneknya ia merasa lebih nyaman. Sebab sikap neneknya bersebalikan 180 derajat dibandingkan sikap ibunya. Ia sangat dimanja dan dituruti apa maunya. Neneknya sering memarahi ibunnya, bila bertindak berlebihan pada si sulung.
Sulung benar-benar memanfaatkan perlindungan si nenek. Ia mulai ikut kegiatan ekstra kurikuler di sekolah. Ia berkenalan dengan kakak kelas. Seorang wanita yang sangat cantik dan baik. Segera ia merasa akrab dengan kakak kelasnya itu.
Kakak kelasnya sangat memperhatikan, mendengarkan dan menyayanginya. Si sulung benar-benar merasa nyaman dan senang. Akhirnya ia menemukan orang yang memahami dirinya. Saat kakak kelasnya mengajak nginap ia tidak menolak.
Sewaktu menuju rumah si kakak kelas ia dibelikan macam-macam makanan dan minuman kesukaannya. Orang tua si kakak kelas juga sangat baik. Di rumah si kakak kelas ia dilayani benar oleh si kakak. Saat mau mandi kakak kelasnya mengajak mandi bareng. Ia mau saja. Di kamar mandi mereka ngobrol asyik. Kakak kelasnya meminta tolong untuk menggosok bagian belakang tubuhnya, si sulung nurut saja. Setelah itu kakak kelasnya gantian memijat bagian belakang tubuhnya. Mereka sangat menikmati kebersamaan di kamar mandi itu.
Sepanjang malam mereka tidak keluar kamar. Ngobrol tentang guru favorit dan guru yang menyebalkan, juga tentang senior yang asyik dan yang suka mengusik. Si kakak kelas bercerita bagaimana waktu acara perkenalan dulu para cowok senior sampai berantem untuk mendapatkan perhatiannya. Ia menasehati si sulung agar jangan cepat dan mudah percaya cowok, fokus belajar saja.
Sepanjang percakapan, si kakak kelas selalu melakukan sentuhan pada si sulung. Sambil memijat tangan si sulung atau membelai rambutnya. Si sulung merasa sangat senang. Sebab sejak ia kecil kedua orang tuanya bekerja. Ia kebih banyak dibesarkan pengasuh anak. Ia sungguh sangat jarang mendapat sentuhan dari kedua orang tuanya, terutama ibunya. Belaian si kakak kelas membuat dirinya merasa nyaman.
Ia senang saat kakak kelasnya mulai menciumi wajahnya. Apalagi kala kakak kelasnya melumat abis bibirnya. Ia meresponnya dengan sangat bersemangat. Malam itu keduanya menikmatinya dengan melakukan hubungan badan sesama jenis. Si sulung sama sekali tidak menunjukkan reaksi penolakan. Sebaliknya, ia sangat menikmatinya. Sejak malam itu si sulung dan si kakak kelas menikmati hidup baru.
Dua bulan menikmati kebersamaan mereka sungguh merasa bahagia. Di sekolah mereka bersikap biasa saja dan tidak meunjukkan kedekatan. Mereka bersepakat hubungan ini harus dijaga tetap tertutup dan sangat rahasia.
Suatu sore si kakak membawa si sulung ke Pasar Raya Blok M. Mereka menuju tempat makan. Di resto yang tidak terlalu ramai, di pojok ruangan telah menunggu dua cewek yang cantik dan mulus. Si kakak mengenalkan mereka dengan si sulung. Mereka saling berpelukan. Langsung saja si sulung merasa akrab dengan mereka. Ternyata mereka juga masih SMA, seumur si kakak, dan berasal dari sekolah yang berbeda.
Mereka memesan makanan. Ngobrol tentang macam-macam hal. Si sulung sangat menikmati suasana kebersamaan. Dia sungguh merasa sangat diterima dan dihargai. Belum pernah ia merasakan suasana seperti ini sebelumnya. Terutama di dalam keluarganya. Entah mengapa tiap kali menikmati suasana yang menyenangkan, dia selalu membandingkan dengan suasana dalam keluarganya. Terutama sikap ibunya yang nyinyir, cerewet, dan sangat nyebelin.
Tidak berapa lama datang seorang wanita yang cantik sekali, mulus bangets, dan tampak dari dandanannya bahwa ia orang sangat kaya. Semua hiasan yang digunakannya kalung, anting, cincin, gelang, jam tangan dan tas yang dibawanya sangat mewah, bermerek, dan betul-betul kelas atas.
Ketika wanita sangat cantik itu mendekat semua mereka berdiri menyambutnya, si sulung ikutan berdiri. Mereka kemudian saling berpelukan dan cipiki cipika. Si sulung merasa terhormat bangets karena si kakak yang sangat cantik memeluknya erat, dan menciumnya dengan sangat lengket. Apalagi si kakak itu duduk di sebelahnya. Si kakak kemudian bertanya padanya, apakah makanannya enak. Si sulung mengangguk. Sisa makanan yang ada di piring si sulung dicobain si kakak, dan dengan lembut ia meyuapi si sulung. Sulung benar-benar terharu, bahagia, dan sangat bahagia. Ia benar-benar merasa menjadi seorang manusia. Orang Jawa bilang "diwongke".
Malam itu dengan mobil mewah si kakak bos mereka menuju Ancol. Si sulung berpikir mereka akan menikmati malam di tepi pantai. Memang di tepi pantai, dan mewah yaitu Cottage Putri Duyung. Malam itu mereka pesta besar. Rupanya malam itu mereka membuat semacam ritual penyambutan bagi si sulung. Ia diterima sebagai anggota keluarga baru.
Si sulung malu menjelaskan apa yang mereka lakukan malam itu. Bisa dilihat di film biru khusus lesbi, tegasnya. Si sulung memang memiliki kelebihan sebagai wanita. Ia sangat cantik, mulus, dan tubuhnya "Bangkok bangets" serba besar dan montog betul ( pakai g, bukan k).
Sejak malam itu si sulung mengalami hidup yang berbeda. Bukan saja sering dibelikan baju dan perhiasan dari mal terkenal, mereka membawanya pelesiran Ke Bali dan Lombok, belanja ke Sabang dan Singapura, serta tahun baru ke Hongkong.
Si sulung tegaskan, yang membuatnya bahagia dan bertahan dalam kelompok itu bukanlah seks. Tetapi suasana kekeluargaan yang empatis, saling jaga, perhatian dan saling bantu. Kelompok ini sungguh keluarga yang sesungguhnya bagi si sulung.
Lima belas tahun ia bertahan sebagai seorang lesbi. Akhirnya ia memutuskan meninggalkan dunia itu karena sejumlah alasan. Pertama, dunia lesbi kini sangat berbeda dibanding dulu. Dulu, kebersamaan dan suasana kekeluargaan meruakan yang utama, seks bukanlah nomor satu. Solidaritas kelompok sangat terjaga, para lesbi lintas kelompok lebih banyak bekerja sama untuk saling melindungi dan saling bantu.
Kini dunia lesbi sama sekali bersebalikan. Ada bumbu transaksi dan seks menjadi yang paling utama. Antara para lesbi dan kelompok lesbi bersaing secara tidak sehat. Karena itu sering terjadi konflik antarindividu dan antarkelompok. Sangat mengrikan bila para lesbi berkonflik. Rasa cemburu para lesbi sangat parah, bisa mendorong mereka saling menyakiti, bahkan saling bunuh. Jor-joran penampilan benar-benar sangat merusak soliditas atau kekompakan. Dunia lesbi kini adalah transaksi dan gengsi.
Si sulung merasa tidak lagi nyaman dan membahagiakan sebagai lesbi. Ia akhirnya menikah dengan teman sekantornya. Pastilah sangat tidak mudah. Ia jujur mengakui, saat pertama sekali berhubungan badan dengan suaminya ia merasa tidak nyaman bahkan jijik. Ia merasa seperti diperkosa.
Kini ia hidup nyaman dan bahagia dengan sepasang anak, lelaki dan perempuan. Ia sangat menyayangi kedua anaknya. Ia tidak mau anaknya mengalami seperti yang dialaminya. Ia bersyukur karena terbebas dari dunia lesbi dan tidak pernah mau terlibat dengan narkoba saat menjadi lesbi.
Sikap si sulung menerima dan menikmati dunia lesbi sebenarnya tidak instan, tidak tiba-tiba. Apa yang dirasakannya di dalam keluarga, terutama sikap dan cara pengasuhan ibunya pastilah memberikan sumbangan bermakna atas apa yang kemudian dipilih dan dijalaninya.
Hakikinya semua manusia menginginkan, mendambakan dan membutuhkan perhatian, penghargaan, kenyamanan dan kebahagiaan. Seharusnya semua itu dia dapatkan dalam keluarga sebagai bentuk kehidupan pertama yang dialaminya. Namun, acap kali kedua orang tua sangat asyik dengan cita-cita, fikiran dan kehendaknya sendiri. Tidak sedikit orang tua yang alpa bahwa anak memiliki keinginan, aspirasi, cita-cita sendiri sebagai manusia yang unik.
Anak memang tak punya kuasa untuk secara langsung membantah apalagi menentang orang tua. Dalam masyarakat anak yang berani berbeda pendapat apalagi sampai membantah diberi cap negatif sebagai anak durhaka misalnya.
Sangat kurang disadari bahwa anak bisa melawan dengan banyak cara. Ia bisa menjadi sangat penurut bila ada orang tuanya, dan melakukan apapun yang dilarang sebagai ungkapan perlawanan bila orang tuanya tidak ada atau jika jauh dari orang tuanya. Anak bisa seperti air yang berbenturan dengan banyak penghalang yang sulit ditembus, kemudian mencari jalan-jalan tak terduga untuk bisa terus mengalir.
Bila si sulung mendapatkan dan merasakan perhatian, kasih sayang dan keyamanan dalam keluarga, rasanya ia tidak akan nekad memasuki dunia lesbi. Pling tidak ia tidak semudah itu tenggelam dalam dunia lesbi.
Manusia adalah kemungkinan yang sangat terbuka. Akan jadi apa ia, jalan mana yang akan dipilihnya, tidak sepenuhnya tergantung pada dirinya. Terlalu banyak faktor yang bisa ikut menentukan. Manusia tidak pernah tiba-tiba menjadi sesuatu yang relatif tetap seperti donat. Manusia adalah makhluk yang menjadi, terus menerus berproses, berubah, mencari jalan dan arah baru secara berkelanjutan. Manusia sejatinya adalah petualang, hanya kematian yang dapat membuatnya berhenti mencari sesuatu yang baru.
****************************
Tak seorang pun tahu sejarah masa lalunya. Semuanya serba kira-kira. Dari logatnya bicara bisa dipastikan ia berasal dari Pantura. Tak jelas benar dari daerah mana. Sungguh tak ada yang tahu bagaimana ia sampai ke Jakarta dan menjadi seorang waria. Ia manusia yang sangat baik. Pada masa jaya, semua waria di lingkungannya pernah rasakan perhatian dan duitnya.
Ia dihormati karena kebaikan dan pengalamannya. Bukan hanya para waria yang merasakannya. Para lonte atau pelacur, tukang becak, ojek dan bajaj, anak jalanan, pengemis, dan para pengasong. Ia rajin menabung, lebih banyak untuk keperluan orang lain.
Membantu membiayai waria yang patah kakinya karena ketabrak mobil saat kabur dirazia trantib atau petugas ketertiban. Memberi modal bagi anak yatim agar bisa memiliki penghasilan dengan mengasong. Ikut menyelenggarakan sunatan massal dan pesantren Ramadhan anak jalanan dengan memberi sumbangan yang besar.
Suatu kali ia bercerita tentang bagaimana ia sampai di Jakarta dan mengapa sampai jadi waria. Saat usianya delapan tahun bapaknya meninggal. Ia memiliki dua orang adik perempuan. Ibunya hanya buruh tani dan pengumpul kayu bakar. Kematian ayahnya sungguh membuat hidup mereka sangat susah. Ia berhenti sekolah dan membantu ibunya mengerjakan apa saja yang penting dapat duit. Ia pernah ngangon atau mengembalakan bebek milik tetangga, mengumpulkan kayu bakar, menjadi kuli angkut sayur, ikut menanam padi dan membersihkan sawah dari rerumputan, menjaga padi yang sudah menguning dari serbuan burung dan berbagai pekerjaan khas pedesaan. Sekitar dua tahun ia lakukan itu untuk menyambung hidup keluarganya.
Saat berusia sepuluh tahun ia diajak tetangganya yang berdagang mie ayam dan baso di Telok Gong Jakarta. Sebenarnya ia tidak mau meninggalkan ibu dan kedua adiknya. Siapa lagi yang akan membantu ibu? Namun, pamannya ikut mendorong dia merantau memperbaiki nasib. Pamannya berjanji membantu ibu dan kedua adiknya. Ia pun kemudian ikut si tukang baso.
Sepanjang jalan di dalam gerbong kereta api, ia tak kuasa menahan air matanya yang terus mengalir menderas. Ia belum pernah pergi jauh. Ia tidak pernah meninggalkan ibu dan adiknya sama sekali. Kini ia pergi ke tempat yang jauh, jauh sekali. Karena terlalu sedih dan letih, akhirnya ia lelap tertidur.
Ia sangat kaget saat sampai di stasiun Senen. Orang sangat ramai. Dengan berkali-kali naik bus dan angkot, ia sampai di Telok Gong. Tukang baso itu menyewa rumah di pinngir jalan. Rumah sederhana yang digunakan sebagai tempa berjualan sekaligus tempat tinggal. Di situ sudah ada empat anak lelaki. Semua berasal dari kampungnya. Mereka yang membantu menyiapkan baso dan melayani pembeli serta mencuci mangkok dan membersihkan warung baso.
Selama dua hari ia diminta memperhatikan apa saja yang dikerjakan oleh teman-temannya itu. Karena sudah terbiasa bekerja, ia langsung mengerjakan apa yang bisa dikerjakan seperti mengangkati mangkok kotor dan mencucinya.
Waktu berlalu, ia mulai betah di sini. Bisa makan enak, jalan-jalan dan nonton televisi. Ia merasa sangat berbeda dengan kehidupan di desa. Apalagi semua teman sekampung baik padanya. Namun, ia mulai merasa ada yang kurang beres di sini. Bos baso dan ketiga temannya tidur bersama. Mulanya dia fikir karena keluarga si bos ada di kampung, maka mereka memanfaatkan ruang tengah untuk tidur bersama.
Ia sering melihat mereka berempat telanjang bulat dan melakukan sejumlah tindakan yang sama sekali tidak dimengertinya. Sampai suatu malam ia juga diminta telanjang dan dipaksa melakukan sesuatu yang membuat dubur dan seluruh tubuhnya sakit. Setelah kejadian itu si bos dan semua teman bertambah baik padanya.
Selanjutnya mereka berlima sering terlibat apa yang disebutnya "tusuk menusuk menjadi satu". Ia mengakui meski pada mulanya sakit, ia jadi ketagihan dan menikmati.
Selama bekerja dengan bos baso ia beberapa kali pulang kampung dan menyerahkan uang tabungannya pada ibunya. Ibunya sudah menikah lagi dan adik-adiknya bisa bersekolah. Ia merasa kini hidupnya lebih baik.
Anak desa ini berpenampilan menarik. Kulitnya putih, dan tubuhnya berisi karena sejak kecil ia terbiasa melakukan kerjaan fisik. Wajahnya juga tergolong tampan. Beberapa langganan baso, para ABG ada yang tertarik padanya. Namun si bos baso melarangnya menanggapi para ABG itu. Ia tidak berani melawan karena si bos sangat baik padanya.
Ia benar-benar menikmati hidup berasama bos baso dan teman-temannya. Tetapi nasib manusia memang tidak bisa dipatikan akan selalu baik. Saat belanja pagi buta ke pasar, bos baso yang mengendarai motor tabrakan dengan truk yang membawa semen. Ia meninggal di tempat kecelakaan.
Kejadian ini sungguh merubah total hidup si anak desa. Ia tidak tahu harus berbuat karena pada dasarnya ia tidak memiliki keterampilan. Ia tidak hendak pulang kampung. Lima tahun ikut bos baso sangat merubah diri dan aspirasinya.
Dalam keadaan bingung, galau dan kacau, temannya yang paling tua berusia sembilan belas tahun mengajaknya ke Pasar Rumput bertemu ketabatnya yang buka salon. Berdua mereka ke sana. Rupanya ketabat temannya itu waria. Ia membuka salon dengan empat orang waria.
Karena muda dan cakep ia segera diterima di tempat ini. Temannya itu sudah bercerita tentang kebiasaan mereka dengan bos baso. Jadi tidak perlu diajari lagi. Malam itu mereka menginap di Pasar Rumput dan melakukan apa yang biasa dilakukan dengan bos baso.
Tidak berapa lama, anak desa itu dengan dandanan yang sangat cewek dan seksi telah muncul di Taman Lawang dan Pintu Satu Senayan. Agaknya dua tempat itu merupakan tongkrongan kelas atas bagi para waria Jakarta. Karena nongkrong di Senayan, ia disebut waria manca negara. Sebab tamunya berasal dari banyak negara seperti Eropa, Jepang, Timur Tengah, dan Amerika Serikat. Ia malang melintang di hotel-hotel berbintang di sekitaran Thamrim-Sudirman.
Karena suka berbagi, ia disukai dan kurang dimusuhi oleh para pemain lama. Ia berubah total karena mulai mengenakan semua yang mahal, tinggal dikosan mewah dan memelihara brondong. Rupanya menjadi tanda gengsi bisa memelihara lelaki muda.
Ia suka tertawa jika mengingat peristiwa bagaimana ia ngerjain tamu. Lelaki paruh baya mengajaknya bercinta dalam mobil BMW di Parkir Timur Senayan. Lelaki itu kasar dan minta yang aneh-aneh. Ia layani. Tetapi lelaki itu membayar dengan harga rendah dan mengancam. Ia keluarkan bekati dari dalam tas. Lelaki itu ketakutan. Rupanya ia juga membawa borgol. Ia borgol tangan lelaki itu ke setir mobil. Kunci mobil ia bawa dan dibuang ke comberan. Ia ambil semua isi domoet si lelaki. KTP dan SIM ia bawa. Tak lupa ia ambil sekalian jam tangan dan parfumnya dan barang berharga lainnya yang ada di mobil. Sebelum berpisah ia ancam lelaki itu. Kalau macam-macam ia akan habisi keluarganya. Lelaki itu sangat ketakutan karena ia membawa KTP dan SIMnya. Dia tambah ancaman, mau saya telepon istrimu! Mau saya teriakin kamu sekarang biar dikeroyok bencong Senayan! Lelaki itu sungguh ketakutan. Seperti yang ia duga. Tak ada kejadian apapun setelah itu. Pastilah lelaki itu tak berani lapor polisi.
Ia ikut aktif pada acara-acara yang diselenggarakan persatuan waria Jakarta seperti peringatan Hari Kartini. Ia mengikuti fashion show, lomba lari dengan hak tinggi, lomba masak dan menyanyi. Lingkungan pergaulannya semakin luas. Ia semakin dikenal.
Mungkin karena merasa istimewa dan banyak pelanggan, ia sering gonta-ganti nama. Saat pelawak srimulat Tessi sangat terkenal, ia mengganti nama menjadi Tessa. Alasannya gampang diingat dan berkelas. Pernah pula ia menyebut dirinya Angelino. Saat ditanya mengapa bukan Angelina. Ia tegaskan, bahwa ia yakin ada malaikat yang khusus mengurusi waria atau bencong. Bila tidak ada, namanya adalah sebentuk doa agar malaikat itu ada. Sebutan yang cocok bagi malaikat itu ialah Angelino. Boleh jadi karena pergaulannya yang luas dan rajin membaca, ia memang terlihat beda dari kebanyakan waria.
Pernah suatu kali ketika berkumpul bersama banyak orang, dengan semangat menggebu ia membela kaumnya dan sekaligus profesinya. Ia jelaskan, kami para waria ingin hidup sama seperti kalian. Dihargai dan diterima. Kami pun ingin bekerja seperti kalian, bekerja apapun yang kami bisa. Tetapi itukan tidak mungkin. Bukan karena kami tidak mampu dan tidak bisa, tapi karena masyarakat tidak memberi kesempatan. Sekarang kami cuma bisa ngamen, nyalon, ama jual diri.
Coba beri kami kesempatan belajar, kami pasti bisa jadi sekretaris atau apapunlah. Masyarakat ini aneh. Koruptor yang merugikan orang banyak, yang nimpe uang rakyat malah diberi tempat. Kami yang hidup sesuai pilihan nurani, malah dikucilkan. Masyarakat mungkin menganggap kami dilahirkan lewat lubang pantat, jadi kami tidak bernilai sama sekali. Orang-orang terdiam mendengar penjelasannya.
Dia memang pantas dihormati karena ketegasannya sikapnya. Saat ngobrol dengan sesama waria, dia uraikan, gak usah minta dikasihani orang, tunjukkan kita bisa mandiri. Tidak usah mengeluh terus dan minta keistimewaan. Kalo jadi banci karena pilihan nurani, jalani saja dengan gembira. Ngapain mengeluh. Terima kenyataan apa adanya, bahwa kita memang beda dan tampak aneh. Cuekin aja. Yang penting kita hepi, bahagia. Kebahagiaan itu tidak bisa diberikan oleh siapa pun. Kebahgiaan itu energi dari surga, cahaya dari surga. Bila kita merasa bahagia sebagai waria, itu artinya ada bagian dari diri kita yang berasal dari surga.
Anak desa ini percaya ada surga khusus bagi kaum waria, karena waria adalah manusia, hamba Allah yang juga berbuat baik. Ia yakin Tuhan menyayangi para waria sebagaimana manusia lain. Entahlan, dari mana fikiran ini datang memenuhi benaknya.
Ia memang pandai membangkitkan semangat teman-temannya dengan kata-kata yang indah dan membangun harapan. Terutama saat Pemda DKI Jakarta melakukan pembersihan terhadap PSK jalanan dan waria.
Jika musim razia dan pembersihan ia bisa muncul di Taman Lawang, Melawai Blok M, jalan sepanjang Majapahit-Gajah Mada, Pantai Binaria Ancol, Pulo Mas By Pass, dan Pintu Satu Senayan. Perpindahan ini adalah strategi untuk tetap bisa beroperasi meski ada razia.
Penampilannya kini sangat berbeda. Ia sudah makin tergantung pada salon untuk merasat diri. Memotong kuku pun dilakukan di salon. Ia menyuntik payudaranya agar besar ukurannya. Warna rambutnya terus berganti. Ia makin sering mengikuti pesta sebagai orang yang dibayar. Ia bisa menari erotis. Pelanggannya makin banyak. Tak terasa kehidupan seperti ini sudah dilaluinya puluhan tahun.
Kehidupan malam, alkohol, dan seks rupanya meremukkan tubuh dan hidupnya. Sebab dilakukan dalam jangka panjang. Bertambahnya usia juga memengaruhi. Tahun berganti, ia makin kurang populer. Sudah sangat kurang tamu di tempat-tempat utama, ia mulai muncul di Jatinegara, Bongkaran Tanah Abang, dan sekitaran Tomang Slipi. Kadang ia bercanda dengan sesama waria, aku ini waria segala rupa. Pernah main di BMW dan bajaj, di hotel bintang dan pinggir kali.
Tak terasa usianya melampaui empat puluh. Ia tak lagi jadi bintang. Hidupnya tergantung salon yang dikelolanya. Dulu bila merasa terkena sakit kelamin ia bisa langsung berobat dan tuntas. Kini keadaannya berbeda.
Sudah lama ia menderita sakit yang agak aneh. Banyak luka bernanah di sekujur tubuhnya. Dari kemaluan sampai wajah dan bibir. Ia menjadi kurus tak terurus. Menempati gubuk reyot di sekitar pemukiman kumuh Tomang. Untungnya para waria yang pernah ditolongnya mau mengurusi. Ia berkali-kali menyatakan keinginanya untuk bunuh diri. Karena rasa sakit yang terlalu dan tak enak pada teman-temannya yang terus berkorban untuk dia.
Ia menjadi sosok yang mengerikan. Payudaranya besar karena disuntik, tubuhnya makin kurus dan penuh luka, sementara rambutnya gondrong acak-acakan dengan kumis dan jenggot yang panjang.
Ia merasa seperti makhluk dari planet lain. Ia tak lagi bisa bicara. Dalam kepapaan dan sebatang kara ia menghadap Tuhan. Dulu sambil bercanda ia pernah bilang. Bila aku mati duluan akan kujelaskan pada Tuhan tentang kita para waria. Meski Tuhan sudah tahu, tidak ada salahnya bila ada penjelasan dari waria, pelaku langsung.
Tidak sedikit orang yang mengantarnya ke peristirahatan terakhir. Sejumlah waria tak dapat menyembunyikan kesedihan mendalam. Para preman dan anak jalanan juga sangat merasa kehilangan.
Sampai penguburannya kami tak pernah tahu nama aslinya. Di KTP tertulis Muhammad Saleh. Seorang ibu yang mengurusi KTP dan dirinya di akhir kehidupan bilang, nama itu pemberian saya saat membuat KTP, bukan nama aslinya. Dia tak pernah mau katakan siapa nama sebenarnya. Di KTP juga tertulis tempat lahir Jakarta.
Siapa nama kita, dan dimana kita lahir, apakah berguna dan penting saat menghadap Sang Pemberi Hidup?
********************************
Sekitar dua puluh lima tahun berlalu. Kini ia bekerja di perusahaan besar di daerah Tanjung Priok sebagai seorang insinyur. Memiliki tiga anak dan tinggal di perumahan yang tergolong mewah dengan dua mobil. Istrinya sarjana, bekerja di daerah Kelapa Gading.
Ia selalu katakan apa yang didapatnya kini adalah anugerah Allah. Karena itu ia sangat rajin beribadah dan berbagi sebagai ungkapan rasa syukur pada Allah.
Dulu ia tinggal di pemukiman kumuh Kampung Bandan tepat di belakang Pasar Pagi Mangga Dua, dekat Stasiun Kereta Api Bios. Waktu itu pemukiman itu berupa empang. Gubuk-gubuk dibangun di atas empang yang penuh sampah.
Semua orang yang tinggal di situ pernah berkali-kali digusur di pemukiman kumuh lainnya. Dia sampai lupa sudah berapa kali kena gusur saat tinggal di pemukiman itu.
Pemukiman kumuh itu sungguh sangat padat, jorok dan kacau. Nyaris semua jenis kejahatan terjadi di situ. Jadi kekumuhan bukan saja terkait dengan lingkungan kotor yang sangat kotor, bau busuk, dan sangat padat. Pun terjadi kekumuhan sosial. Kebanyakan pasangan yang tinggal di situ merupakan pasangan "kumpul kebo". Banyak orang yang kerjanya nyopet tinggal di situ. Setiap hari ada pesta alkohol. Sejumlah remaja yang pekerjaannya serabutan belajar menikmati ganja.
Semua yang tinggal di pemukiman kumuh itu adalah pekerja dan pedagang kecil. Terdapat tukang pulung, penarik ojek sepeda, tukang bajaj, penjaga malam, tukang tambal ban, kuli angkut, pengasong, dan semua pekerjaan pinggiran lainnya.
Jarang sekali anak-anak sekolah sampai SMP. Bahkan kebanyakan sama sekali tidak bersekolah dan dipaksa bekerja oleh orang tuannya. Bekerja apa saja, mulung, ngamen, minta sedekah, kuli angkut, nyemir sepatu, dan mencuri terutama kaca spion mobil. Beberapa anak remaja menjadi polisi cepek dan tukang parkir liar.
Ia merasa sangat beruntung karena bisa sekolah sampai STM. Dialah satu-satunya penduduk daerah kumuh itu yang sekolah sampai setinggi ini. Ia bisa mencapainya karena bapak dan ibunya. Kedua orang tuanya melarang ia mencari duit seperti anak-anak lainnya. Ia harus sekolah apapun keadaannya. Jika ia malas, apalagi bolos, bapaknya akan memukulinya dengan rotan yang biasa digunakan untuk menggebuk kasur.
Entah berapa banyak rotan yang patah dan hancur untuk menggebukinya, terutama saat ia masih SMP. Di pemukiman kumuh ini hampir semua orang tua memukul anaknya. Terutama orang tua yang memaksa anaknya bekerja. Anak-anak itu pasti digebukin bila tidak membawa setoran dalam jumlah yang telah ditetapkan.
Kala SMP ia pernah mau kabur dari rumah karena tak tahan sering digebukin. Bapaknya sebagai penjaga malam di gudang. Jika pulang pagi pasti mabuk, dan ia sering dipukuli tanpa alasan yang jelas.
Bila tidak mabok, bapaknya sangat baik. Sering membawakan makanan enak untuknya. Ia bertahan karena yakin bahwa sikap tegas bahkan kejam dari orang tuanya merupakan upaya untuk memastikan bahwa ia mau bertahan dan rajin sekolah. Ada maksud baik dalam kekerasan yang diterimanya. Ia semakin rajin sekolah karena adik perempuannya tidak bersekolah setamat SD. Hanya membantu ibunya menjahit di rumah. Ibunya bilang, adiknya terpaksa tidak melanjutkan agar ia bisa terus sekolah sampai tamat STM. Uang tidak cukup jika keduanya sekolah.
Ia sangat menghargai pengorbanan adiknya. Ia sering tidak makan siang agar bisa membelikan makanan enak buat adiknya dari uang jajan yang diberikan ayahnya. Ia beruntung karena banyak teman sekolah yang baik padanya. Ia merasa senang karena bisa bergaul dengan anak dari luar pemukiman kumuh. Semangat dan cita-cita teman-teman sekolahnya sangat berpengaruh positif padanya. Ia bayangkan, bila tidak sekolah sampai STM pasti ia hanya bergaul dengan anak pemukiman kumuh yang sudah berlomba mencari duit dan tidak mau sekolah. Memang dapat duit, tetapi hidupnya tidak pernah berubah. Dari tukang ngamen atau mulung, jadi polisi cepek atau tukang parkir liar, akhirnya jadi kuli angkut atau pengojek sepeda. Ia tidak mau seperti mereka. Bapaknya sangat melarang ia berteman dengan anak-anak dari pemukiman kumuh ini.
Selama sekolah ia berbohong pada teman-temannya soal tempat tinggal. Ia mengaku tinggal di Pademangan. Ia menolak jika temannya ingin ke rumahnya. Ciut dan takut hatinya bila teman-temannya tahu ia tinggal di daerah kumuh di atas empang, Kebun Sayur.
Setamat STM ia bekerja di sebuah pabrik di Tanjung Priuk. Bapaknya tetap mendisiplin dan mengaturnya. Meski ia sangat ingin membantu agar keluarganya tidk lagi mukim di daerah kumuh itu, bapak ibunya meminta ia menabung agar bisa lanjutkan pendidikan.
Ia sangat terharu. Ia semakin yakin bahwa apapun yang dilakukan orang tuanya adalah untuk kebaikan dirinya. Termasuk kebiasaan bapaknya memukul dengan rotan.
Ia berhasil menyelesaikan kuliah di perguruan tinggi swasta yang meneyelanggarakan pendidikan pada malam hari. Ia mendapat promosi di tempat kerja. Hidupnya kini sungguh membahagiakan. Meski sewaktu remaja ia pernah mencoba rokok dan alkohol, sejak STM ia tidak lagi mau lakukan. Ia tidak pernah lupa bagaimana bibirnya di sundut rokok oleh bapaknya karena ketahuan merokok.
Ia dikenal sebagai tetangga, teman kerja, suami, serta ayah yang baik. Seperti tak ada bekas bahwa ia dibesarkan di pemukiman kumuh dan menjadi korban kekerasan dari orang tua dan lingkungan. Ia sopan, empatis dan disukai banyak orang.
Ia tak pernah memukul anak-anaknya. Ia telah mengalami bila dipukul, luka dan bekas di tubuh bisa segera hilang, tetapi luka dan bekas di hati tak pernah bisa hilang. Namun ia sangat bangga dengan bapak ibunya. Ia sama sekali tak pernah menaruh marah dan dendam atas semua kekerasan yang dilakukan bapaknya padanya. Ia sepenuhnya sadar, bapaknya yang pemabok dan berpendidikan rendah itu melakukan apapun untuk kebaikan dirinya.
Ia dengan sengaja tak pernah membuka masa lalunya pada anak-anak. Ia ingin anaknya tumbuh kembang dalam kenyamanan, kehangatan cinta dan pengasuhan yang lebih baik. Ia sendiri kadang masih menyempatkan diri singgah ke pemukiman kumuh itu untuk memberikan bantuan pada anak-anak dari tetangga dan teman-temannya dulu.
*********************
Ia sibuk melayani anak-anak jalanan yang baru saja ikutan sunatan massal. Ia secara rutin menyelenggarakan sunatan massal ini. Jumlah anak jalanan yang ikutan biasanya sampai seratus orang, kadang lebih. Penyelenggaraannya tidak dipusatkan di suatu tempat. Sunatan masaal dilakukan di dekat anak-anak jalanan itu tinggal. Karena itu untuk seratusan orang anak kegiatan bisa dilakukan diempat atau lima lokasi.
Setiap Ramadhan ia menjadi koordinator pesantren Ramadhan anak jalanan se Jabodetabek. Pesertanya bisa sampai seribu anak. Ia sudah sangat berpengalaman menyelenggarakan kegiatan ini.
Ia juga bekerja memberikan berbagai keterampilan bagi anak jalanan. Untuk itu ia bekerja sama dengan banyak orang. Dengan pemilik bengkel motor agar anak jalanan bisa magang dan berlatih di situ. Dengan pemilik servis komputer agar anak jalanan bisa belajar memperbaiki komputer. Ia juga berhubungan dengan banyak perusahaan untuk mengumpulkan dana bea siswa agar anak-anak jalanan bisa sekolah sampai tamat sekolah kejuruan. Ia mencarikan modal bagi anak jalanan yang sudah memiliki keterampilan. Siapakah orang ini?
Ia adalah korban kekerasan orang tua. Ayahnya yang pemabuk dan kerja serabutan memaksanya untuk mengemis. Setiap sore dia harus menyetor. Jik setoran kurang ia pasti digebukin. Di tubuhnya masih terdapat bekas luka pukulan dan sundutan rokok di banyak tempat. Saat dipaksa mengemis usianya sekitar empat tahun. Ia mengemis di Persimpangan Tomang atau di sekitar Terminal Grogol.
Usia enam tahun ia lari dari rumah karena tidak tahan terus menerus disiksa ayah ibunya. Ia bergabung dengan anak jalanan dan preman di Persimpangan Tomang. Saat itu sedang ada pembangunan jalan layang Tomang. Mereka tinggal di bedeng pekerja yang tidak digunakan para pekerja. Ia sepenuhnya hidup di jalan, mengikuti kebiasaan, hukum, aturan, dan cara hidup jalanan.
Semua kejahatan jalanan ia lakukan. Ikutan mencopet, menodong, menabrakkan diri ke mobil untuk mendapatkan uang, mencuri kaca spion, membongkar mobil yang diparkir untuk mengambil tas atau apa saja, penghubung dan pengantar narkoba yang diperjualbelikan, berjudi, berkelahi, merokok dan mabuk-mabukan. Ia pernah disodomi dan menyodomi. Entah berapa kali kena penyakit kelamin. Pernah ikutan mengeroyok polisi dan buron. Keluar masuk penjara.
Ia sungguh besar dan dibesarkan di jalan oleh preman dan anak jalanan yang lebih besar. Ia pernah dipelihara waria. Kumpul kebo dengan sejumlah wanita jalanan. Tentu saja pada usia yang masih anak-anak dan remaja.
Ia dikenal berani, bahkan nekad, bandel, dan tengil. Karena itu ia dianggap sebagai pemimpin oleh teman-teman sebaya. Jika polisi mencari orang yang diduga berbuat jahat di sekitar daerah itu, ia bisa bantu carikan. Ia mampu kumpulkan orang untuk demo bayaran.
Ia sama sekali tak pernah bertemu dengan ayah ibunya sejak lari dari rumah. Ia tak tahu kabar mereka. Ia juga tidak pernah dicari oleh orang tuanya.
Ketika ada lembaga swadaya masyarakat bermaksud membantu anak jalanan di Persimpangan Tomang sampai dengan terminal Grogol dan sekitarnya, dialah yang mampu kumpulkan anak-anak jalanan. Sejak itulah ia dipercaya untuk membantu mengelola anak-anak jalanan itu.
Karena bertindak sebagai pemimpin, ia ikut program paket A. Ia juga ikut berbagai program keterampilan. Dalam semua program yang diikutinya, tampak sangat jelas bahwa ia cerdas, berani, terampil, berdisiplin, kreatif dan mampu memimpin. Ia sunguh merupakan contoh cerdas jalanan.
Anak jalanan mampu bertahan dalam kehidupan yang sulit dan penuh resiko, tidak suka mengeluh dan selalu gembira. Tidak pernah menyerah dan mati akal menghadapi kesulitan dan keadaan yang sama sekali tidak menyenangkan. Ia contoh yang sangat baik yang mampu menunjukkan itu semua.
Kini ia telah memiliki keluarga dengan tiga anak. Ia dikenal sebagai orang yang menyenangkan dan mampu bekerja sama dengan siapa saja. Nyaris tak ada bekas kehidupan jalanan yang benar-benar pernah membuatnya menjadi anak yang sangat jahat dan kurang ajar. Siapa pun yang bersamanya kini, pasti tidak tahu bahwa ia pernah besar di jalanan dengan tingkat kebandelan dan kejahatan yang sangat akut.
Sejumlah besar penelitian di berbagai negara dan budaya menunjukkan bahwa anak-anak yang dibesarkan dengan dan di dalam kekerasan akhirnya menjadi orang dewasa yang sangat bermasalah. Penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat terhadap penjahat yang dihukum berat karena pembunuhan, pembunuhan berantai, pembunuhan berencana, terbukti dibesarkan dengan kekerasan. Polanya hampir seragam, ayahnya pemabok dan suka memukul, baik memukul si anak maupun ibu si anak. Kebanyakan ayah dan ibunya bercerai dan anak diabaikan dalam masa yang panjang.
Teori Sigmund Freud tentang dampak buruk dari masa kecil yng penuh masalah semakin diakui karena banyak bukti pendukung. Sejumlah pelaku kejahatan sadis yang terjadi di Indonesia terbukti pernah mengalami perlakuan buruk saat masa kanak-kanak, terutama mengalami kekerasan yang dilakukan oleh orang tua.
Selama bekerja di jalanan lebih dari tiga puluh tahun, memang selalu ditemukan anak-anak yang tergolong bandel bahkan jahat. Mereka mengalami kekerasan dalam keluarga dan di jalanan. Namun, tidak sedikit pula yang mengalami kekerasan yang lebih parah, tetapi akhirnya dapat hidup normal, memiliki keluarga dan membesarkan anak-anaknya dengan normal pula.
Erich Fromm dalam bukunya The Soursces of Violence (Akar Kekerasan) menjelaskan bahwa siklus kekerasan memang terjadi. Ia mencontohkan bagaimana Hitler yang dibesarkan dengan pendisiplinan yang ketat dan kekerasan yang terlalu oleh ayahnya, berhasil menjadi salah seorang pemimpin terkemuka dalam zaman moderen sekaligus yang paling kejam. Inilah siklus kekerasan, kekerasan beranak pinak kekerasan.
Para ahli neurosains dengan bantuan alat pemindai otak menemukan semacam bekas pada otak emosi bila anak-anak pernah mengalami kekerasan saat masa kecil. Bekas itu sulit hilang. Bekas itulah yang diduga memengaruhi tumbuh kembang anak.
Kekerasan pada anak dinyatakan sebagai racun yang paling merusak otak anak yang dapat mengarahkan anak tumbuh menjadi orang dewasa yang sangat bermaslah. Bukti-bukti empiris ini sulit dibantah.
Menjadi sangat menarik bahwa ada sejumlah orang, dua di antaranya dijelaskan di atas, mampu mengatasi itu. Meskipun tumbuh kembang dengan dan dalam kekerasan dan pola asuh yang buruk, namun keduanya tumbuh mekar menjadi manusia dewasa yang normal, bahkan tergolong baik.
Tidak seperti benda berat di bumi ini yang dilemparkan ke atas pasti jatuh ke bawah karena terikat pada hukum yang bersifat pasti, tetap dan objektif, manusia tidaklah persis seperti itu. Manusia tidak tunduk pada mekanisme deterministik seperti mesin. Manusia lebih terikat pada hukum kemungkinan yang mengandung banyak kekecualian.
Kebebasan manusia, kemampuan daya fikir, serta keyakinan dan harapan mampu mendorongnya untuk mengatasi beragam hambatan fisik dan psikis. Inilah kekuatan yang dimiliki manusia untuk melampaui semua cerita buruk dari masa lalunya.
Memang tidak semua manusia memiliki kemampuan untuk mengatasi pengalaman masa lalu yang buruk. Pengalaman bagi manusia yang lemah bukanlah guru yang baik. Tetapi lebih sering menjadi penjara yang buruk.
Bahwa banyak manusia yang terperangkap dalam penjara masa lalu, tidaklah dapat digunakan untuk membuat kesimpulan bahwa semua manusia seperti itu.
MANUSIA MEMANG MISTERI.
Sabtu, 05 Desember 2015
INILAH MANUSIA
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
setiap komentar yang masuk akan terkirim secara langsung ke alamat email pribadi Bapak DR. Nusa Putra, S.Fil, M.Pd