Rabu, 18 November 2015

PENCATUT

Catut itu tajam, bengkok, keras, dan berfungsi mengoyak atau membongkar. Pencatut itu mengoyak juga, mengoyak kantong atau dompet.

Jika hendak bepergian dengan kereta api kelas ekonomi, pergilah ke stasiun untuk membeli tiket. Saat hendak menuju loket, Anda akan disamper orang yang dengan ramah menawarkan tiket. Biasanya orangnya tidak begitu rapih, lebih mirip preman. Ada yang menggunakan semacam papan nama yang dengan sengaja di balik, jadi tidak terlihat nama dan atribut lain. Mereka adalah pencatut.

Para pencatut ini menjadi penting pada saat mudik. Mereka bisa mengusahakan tiket meski tiket sudah dinyatakan habis di loket. Tentu saja harganya sudah berkali-kali lipat dari harga normal. Para pemudik sudah hafal, meski mereka menunggu berhari-hari di depan loket, belum tentu dapat tiket. Tetapi anehnya para pencatut memegang puluhan tiket yang siap dijual dengan banyak tujuan.

Walau pihak pengelola kereta api telah membuat sejumlah persyaratan untuk mendapatkan tiket seperti membawa KTP asli dan pembatasan jumlah pembelian tiket. Namun, para pencatut bisa mendapat banyak sekali tiket. Para calon penumpang akhirnya mengalah dan terpaksa membeli pada para pencatut dengan harga sangat mahal.

Si stasiun kereta api bisnis dan eksekutif, para pencatut juga ada. Berbeda dengan pencatut di kelas ekonomi, mereka tampil rapih, menggunakan pakaian yang warna dan potongannya mirip dengan petugas resmi perusahaan kereta api. Biasanya mereka menggunakan papan nama yang nyaris sama dengan yang digunakan petugas resmi.

Cara pendekatan dan bicaranya pada calon penumpang sangat sopan dan berkelas. Mereka sepenuhnya sadar siapa yang mereka hadapi yaitu calon penumpang kereta api kelas atas. Para pencatut itu tidak pernah memaksa penumpang untuk membeli tiket pada mereka seperti yang biasa dilakukan pencatut kelas ekonomi. Mereka persuasif dan sabar.

Di bandara pencatut juga banyak. Mereka mengenakan pakaian sangat rapih, pakai dasi dan papan nama yang mahal. Mereka menyediakan tiket untuk semua tujuan. Mereka bisa keluar masuk bandara seenaknya dan bisa serta biasa mengantarkan calon penumoang sampai tempat  pengecekan tiket. Mereka bahkan berani menjual tiket yang sudah ada nama penumpangnya. Dalam keadaan kepepet, banyak penumpang yang bersedia menggunakan tiket itu walau sangat mahal dan beresiko. Meski maskapai penerbangan dan pihak pengelola bandara telah menerapkan berbagai aturan untuk mencegah pencatut beroperasi, para pencatut tetap meraja lela. Mengapa bisa begitu?

Karena pencatut tidak bekerja sendiri. Pencatut adalah bagian dari sebuah jaringan atau sistem. Pencatut ditengarai bekerja sama dengan orang dalam perusahaan dan para petugas yang memiliki kewenangan tertentu di stasiun dan bandara. Bukan kejutan jika Anda pernah mendapati para pencatut itu makan siang bareng dengan petugas resmi stasiun atau bandara di kantin sambil ngobrol dan tertawa ngakak. Bisa jagi mereka bergembira dapat "menyobek dompet" dan menggorok duit calon penumpang.

Rupanya pemerintah tidak main-main. Perang terhadap pencatut dilakukan secara revolusioner dengan membuat peraturan yang tidak memberi celah bagi para pencatut untuk beroperasi. Di bandara sudah tidak ada lagi penjualan tiket. Pencatut betul-betul mati angin.

Mungkin saja hilangnya pencatut di stasiun kereta dan bandara, mendorong munculnya pencatut di tempat lain yaitu di gedung DPR. Pastilah pencatut di sini berjas, berdasi dan bermain pada tingkat tinggi.

Pencatut pertama yang mulai terbukti adalah Sekjen Partai Nasdem. Kini ia sedang dihadapkan di muka pengadilan karena diduga menerima suap dua ratus juta perak dari istri Gubernur Sumatera Utara yang juga sudah jadi tersangka. Catut mencatut ada kaitannya dengan kasus yang menjerat sang gubenur dalam kasus dugaan korupsi bansos.

Sebagai anggota DPR dan petinggi Partai Nasdem, Rio sang sekjen menjanjikan bisa mengurus kasus sang gubernur ke kejaksaan Agung. Gubernur tampaknya percaya karena Jaksa Agung adalah kader Partai Nasdem.

Tetapi tentu saja apa yang dilakukan Rio tergolong kelas teri, permainan anak bawang. Maklumlah dia dari partai yang baru seumur terong dan baru jadi anggota legislatif. Baru mencoba sudah ketanggor.

Bandingkan dengan yang kini dituduhkan pada Setya Novanto. Sungguh kelas kakap, bukan anak bawang lagi, tetapi bawang bombai. Tidak tanggung-tanggung yang dicatut nama presiden sekaligus wakil presiden. Calon korbannya Freeport yang dari dulu bikin repot. Jika tembus nilainya triliunan. Wajar bila bisa digunakan untuk beli jet pribadi.

Maklumlah, si ketua DPR ini sangat berpengalaman. Sekarang merupakan periode ketiga ia jadi legislator pada karir puncak sebagai ketua. Sejak 1999 ia telah berurusan dengan penegak hukum dan lolos terus.

Walaupun ia merupakan pencatut tingkat tinggi atau pencatut berdasi, jika rekaman pembicaraan benar adanya, tetapi hakikinya memiliki banyak kesamaan dengan pencatut jalanan yang mirip preman. Pencatut, baik yang kelas teri di jalanan maupun yang berdasi di gedung parlemen adalah pelanggar aturan, mau mencari keuntungan besar dengan jalan pintas, tidak peduli, memanfaatkan kesusahan orang lain untuk mengambil keuntungan, dan merusak sistem. Intinya, mereka adalah rampok, masuk dalam jenis bajingan tengik, manusia busuk.

Wajar jika banyak anggota parlemen mendesak Setya Novanto mundur dari jabatan ketua DPR. Sebab mereka tidak mau karena kelakuannya Dewan Perwakilan Rakyat berubah menjadi Dewan Pencatutan Rakyat. Bila yang sangat keras memintanya mundur adalah anggota KMP, karena mereka tidak sudi Koalisi Merah Putih berubah menjadi Koalisi Melindungi Pencatut.

Dalam konteks ini kita jadi teringat Ahok. Saat Ahok bersikeras menerapkan ebudgeting, sejumlah ketua dan anggota DPRD DKI berang. Sejak saat itu Ahok diserang abis dengan isu-isu SARA melibatkan berbagai kelompok yang selama ini selalu memunculkan masalah dalam kehidupan masyarakat.

Dengan ebudgeting, Ahok berharap tidak ada lagi pencatutan anggaran. Keinginan dan harapan Ahok ini sangat beralasan, karena kini dua anggota DPRD yang berasal dari Partai Hanura dan Partai Demokrat sudah dijadikan tersangka oleh Bareskrim terkait dengan penggunaan anggaran DKI Jakarta. Bareskrim bahkan menegaskan jumlah tersangka akan bertambah.

Dugaan pencatutan yang dilakukan oleh Ketua DPR RI Setya Novanto, kader utama Partai Golkar, ditetapkannya anggota DPRD DKI Jakarta sebagai tersangka oleh Bareskrim, dan penetapan tersangka yang terdiri dari mantan ketua dan anggota DPRD Sumatera Utara terkait dengan kasus yang menjerat Gatot Gubernur Sumatera Utara, yang merupakan kader andalan PKS, menegaskan bahwa pencatutan oleh ketua dan anggota DPR dan DPRD bukan isapan jempol.

Kita jadi semakin paham mengapa sejumlah legislator di tingkat pusat dan daerah  bisa memiliki mobil-mobil mewah yang harganya milyaran, di tengah rakyat yang menderita dan miskin. Sungguh negara ini telah dirusak oleh para pencatut.

INDONESIA HEBAT BILA BEBAS DARI PENCATUT.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

setiap komentar yang masuk akan terkirim secara langsung ke alamat email pribadi Bapak DR. Nusa Putra, S.Fil, M.Pd