Rabu, 04 November 2015

SISI LAIN LOMBOK: KRAKAT

Lombok telah berubah. Hotel-hotel mewah bermunculan di pusat kota, dan pinggiran pantai. Eksekutif klub, karaoke, kafe, spa, resto-resto besar, dan mal muncul di banyak tempat. Diskotik juga ada. Perubahan ini tak terelakkan karena Lombok telah menjadi tujuan wisata. Banyak turis mancanegara berseliweran di Lombok.

Lombok terkenal kuat religinya. Tak mengherankan bila sering disebut sebagai Pulau Seribu Masjid. Mungkin karena itu ada wisata syariah. Lombok sedang berusaha menjadi Serambi Madinah. Banyaknya pesantren dan masjid merupakan potensi luar biasa untuk wisata syariah.

Untuk memantapkan diri menjadi tujuan wisata syariah, Lombok baru saja menjadi tuan rumah pertemuan wisata internasional yaitu World Islamic Tourism yang diikuti enam puluhan negara. Tahun depan Lombok akan menjadi tuan rumah Musabaqah Tilawatil Quran tingkat nasional.

Tanpaknya Lombok telah bertekad menjadi tujuan wisata. Dengan wisata syariah diharpakan Lombok menjadi sangat berbeda dari Bali dan memiliki pangsa pasar yang berbeda.

Di tengah semangat sangat kuat pemerintah daerah menjadikan Lombok tujuan wisata yang mengedepankan wisata syariah, sejumlah orang merasa ragu dan heran. Keraguan dan keheranan ini didasarkan pada fakta bahwa kini di pantai-pantai Lombok para turis asyik berbikini ria. Bagi sebagian turis mancanegara, terutama yang datang dari Barat, Lombok dipersepsi dan dihayati sebagai Bali kedua. Bagi mereka, Lombok lebih dikenal karena pantai dan lautnya, bukan karena masjid dan pesantrennya.

Wisata, apapun istilah yang dilekatkan padanya, merujuk pada hiburan. Artinya berurusan dengan duit banyak. Rasanya hanya orang yang berduit bisa menikmati wisata. Tidak mengejutkan bila Lombok kini berbenah dengan segala sesuatu yang mewah. Mal, hotel, eksekutif klub, karaoke, spa dan resto. Semuanya dibangun dengan kemewahan dan keindahan yang sudah pasti mahal.

Di pantai-pantai utama Lombok tampak turis lokal dan mancanegara menikmati keindahan alam dan deru ombak yang bagai musik alam, menghentak, berdebur dengan suara gemuruh. Di beberapa pantai, turis mancanegara berjemur dengan pakaian seadanya. Di antara mereka berkerumun para penjaja beragam oleh-oleh. Dari makanan sampai mutiara. Mutiara Lombok menunjukkan kemewahan dan transaksi tingkat tinggi. Harganya dari mahal sampai sangat mahal. Tak ada yang murah untuk ukuran rakyat biasa.

Tetapi pantai Lombok tidak hanya dinimakti para turis. Di antara para turis terlihat para nelayan sedang bekerja keras. Mereka sedang ngerakat.

Krakat adalah jala yang berukuran panjang sekitar lima belas meter dengan lebar sekitar satu sampai dua meter berbentuk persegi panjang. Pada kedua ujung jala diberi kayu yang panjangnya sama dengan lebar jala. Ada dua kayu, pada kedua sisi jala, kiri-kanan. Pada tiap kayu diikatkan tali yang masing-masing panjangnya sekitar seratus meter.

Jala itu dibawa ke tengah laut dengan perahu yang diberi mesin tempel. Setelah dilemparkan di kejauhan dari pantai, dan ditunggu sebentar, jala itu akan ditarik dari pantai.

Ada delapan sampai sepuluh orang yang menariknya. Para penarik jala itu dibagi dalam dua kelompok yang berada di sisi kanan dan kiri. Di pantai jarak mereka yang menarik jala antara sisi kanan dan kiri bisa sampai lima belas meter.

Menarik jala adalah pekerjaan berat. Jala yang dilemparkan ke laut diberi sejumlah pemberat seperti batu dan pengapung. Semakin berat karena ombak yang bergulung-gukung. Dibutuhkan waktu lebih dari satu jam menarik tali sampai jalanya muncul di pantai. Semakin dekat jarak jala dengan pantai, maka jarak penariknya juga makin merapat.

Tampak sekali menarik jala itu sangat melelahkan. Sering para penarik jala itu berhenti sejenak. Bisa karena merasa letih atau karena pukulan ombak yang membuat jala sulit ditarik. Tampak telapak tangan para penarik jala itu kasar dan memerah. Mereka tidak menggunakan alat apapun. Hanya tangan yang telanjang. Penarik tali yang paling belakang bertugas untuk menjaga tali pada posisi yang tergulung dengan rapi.

Biasanya mereka memulai dari pukul enam atau delapan pagi. Bila cuaca cerah dan panas, pastilah pekerjaan ini menjadi bertambah sulit dan berat.

Kerepotan bertambah saat jala sudah sampai ke pantai. Para penarik jala itu bergerak berasama ke bibir pantai. Beberapa masuk ke laut. Dengan sangat hati-hati mereka menarik jala.

Sungguh pemandangan yang tragis. Pada jala lebih banyak sampah daripada ikan yang diharapkan terkena jala. Para penarik jala itu sangat sibuk membersihkan jala dari sampah berupa bungkus mie instan dan makanan pabrikan serta enceng gondok, ada beberapa potong kayu yang berwarna hitam, satu sandal jepit, tiga botol air mineral bekas, dua gelas air mineral bekas, satu kaleng bekas minuman ringan, seekor bangkai ikan buntal berwarna putih dengan totol-totol hitam di bagian kepala. Secara keseluruhan yang mereka dapatkan sebagai hasil pada tarikan pertama ini adalah delapan ekor cumi berukuran sedang, enam belas ikan seukuran jari manis, dan sembilan berukuran jari telunjuk. Sama sekali tak ada ikan besar. Ikannya sangat beragam.

Dua penarik jala tampak kecewa, yang satu menunjukkan kekecewaannya dengan membanting jala ke air laut. Satu lagi meninggalkan pantai dengan lebih dulu melemparkan bagian jala yang dipeganngya. Selebihnya terus bekerja, sama sekali tidak terpengaruh dengan sikap kedua temannya. Mereka merapikan jala dan memasukkannya ke perahu agar bisa dibawa kembali ke tengah laut. Setelah rapih, dengan perahu yang bermesin tempel, tiga orang membawa kembali jala ke laut, berjarak sekitar seratus meter dari pantai. Si pemilik perahu dan jala yang kendalikan perahu menuju laut. Tidak mudah menuju laut karena ombak sungguh tinggi dan tak berhenti menggulung dan menghentak. Suara ombak sangat gemuruh.

Seringkali, lima kali menarik jala dan menghabiskan waktu nyaris seharian, mereka hanya dapatkan sampah. Tak ada ikan yang bisa dibawa pulang untuk dimakan atau dijual. Kadang dapat ikan yang dijual seharga seratus ribu rupiah. Lima puluh ribu rupiah jatah pemilik perahu dan jala, lima puluh ribu sisasnya dibagi pada sepuluh orang penarik jala. Itulah hasil kerja seharian, sepuluh ribu satu orang.

Kondisi semakin parah pada musim hujan. Sama sekali tak bisa ngerakat. Angin kencang dan ombak sangat besar, pekerjaan sangat berat dan biasanya tak ada hasil.

Sebagian besar nelayan penarik jala, pekerjaannya hanya menarik jala. Mereka setia pada pemilik perahu, karena biasa meminjamkan uang saat musim tak bekerja. Penarik perahu yang berusia muda biasanya menjadi buruh bangunan atau buruh tani. Mereka lebih memilih menjadi buruh daripada menarik jala. Tetapi pekerjaan sebagai buruh tidak dapat dilakukan dalam jangka panjang. Ada waktu-waktunya. Biasanya tidak lama.

Jarang sekali  penarik jala itu mencoba pekerjaan atau usaha lain. Sebab mereka memang tidak memiliki keterampilan lain.

Dulu banyak anak muda yang senang menjadi penarik jala, karena penghasilannya lumayan. Sekarang sebagian besar penarik jala sudah berumur lanjut. Kebanyakan di atas lima puluh. Anak muda memilih pekerjaan lain. Menjadi penarik jala penghasilannya sangat kecil sekarang ini.

Sejumlah penarik jala ini tinggal di sekitar pantai. Tempat tinggal mereka rasanya tidak pantas disebut rumah. Bangunan seadanya dengan ukuran sekitar 2mx3m atau 3mx3m. Ada tempat tidur yang dibuat dari kayu atau bambu.

Mereka dililit kemiskinan dari generasi ke generasi. Nyaris tak ada perubahan ke arah yang lebih baik, karena anak-anak mereka tidak dapat menikmati sekolah dalam jangka panjang. Tamat SD saja sudah bagus.

Lombok terus berbenah dan berubah menjadi tujuan wisata. Kemewahan tumbuh dimana-mana. Orang-orang berduit datang berlibur dan membeli serta menikmati apa saja. Uang datang dan mengalir ke Lombok, tetapi tidak ke penarik jala yang miskin dan terus disandera kemiskinan.

KEMISKINAN ADALAH PERSOALAN KEMANUSIAAN YANG SERIUS.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

setiap komentar yang masuk akan terkirim secara langsung ke alamat email pribadi Bapak DR. Nusa Putra, S.Fil, M.Pd