Jakarta mulai disirami hujan deras. Jalanan lebih macet dibanding biasanya yang juga sangat macet. Berada di jalanan menuju rumah menjadi sangat menyebalkan bagi banyak orang yang terjebak kemacetan panjang. Kendaraan, bahkan motor sangat sulit beranjak. Inilah fakta Jakarta masa kini. Macet bertambah-tambah. Bertambah parah, bertambah panjang.
Lama tak beranjak dan hujan makin deras, supir taksi yang kutumpangi membelokkan pembicaraan. Tadinya kami berbincang tentang Jakarta yang bertambah macet. Tiba-tiba ia katakan, saya sekarang sangat khawatir dengan anak-anak saya. Aku tanya, anaknya umur berapa? Nomor satu laki-laki kelas dua SMP, adiknya perempuan kelas empat SD, jawabnya. Apa yang membuat khawatir? tanyaku. Televisi, jawabnya. Memang kenapa dengan televisi? tanyaku lagi.
Isinya tak ada pelajaran, tegasnya. Apa maksudnya? aku mencari tahu.
Sinetron-sinetronnya cuma berisi cerita cinta murahan, ceritanya tentang anak sekolah, tapi isinya penuh iri hati, kebencian, jor-joran kekayaan, dan berantem terus. Bukannya menonjolkan prestasi.
Ada lagi cerita tentang mantan preman, ya begitu juga. Preman pada bersaing melakukan kejahatan, ya nyopet, menipu dan kerjaannya cuma malakin orang. Ujung-ujungnya berantem, balas dendam. Gak ada bagus-bagusnya, gak ada pelajaran.
Aku sama sekali tak pernah nonton si netron. Jadi sama sekali tidak paham cerita yang dijelaskannya. Rajin nonton juga ya, komentarku. Terpaksa, nememin anak. Kalo tivinya dimatiin, dia ngambek, pergi nonton ke rumah tetangga. Nyaknya juga pagi-pagi udah nonton gosip, tiap pagi. Pusing saya. Koq acara tivi gak ada yang bagusan dikit, yang bikin kita pinter.
Banyak acara yang isinya cuma ledek-ledekan pembawa acara, yang diomongin sama sekali gak ada yang penting. Mereka saling menghina dan merendahkan. Maunya sih menghibur, tapi jadinya malah nyontohin yang gak bener. Anak-anak jadi pada ikutan.
Mungkin berita agak lumayan, bisa bikin pinter, kataku. Ah... malah berita sekarang pada ngaco. Susah bedain berita ama fitnah. Berita tivi gak bisa dipercaya. Kayak gosip artis.
Yang bener? aku coba mempertanyakan pendapatnya. Nonton berita tu pentolan Golkar, Setya Novanto? tanyanya. Kadang-kadang aja, gak menarik, jawabku. Ada tivi yang belain setengah mati, padahal kan dia memang salah. Ketua DPR ikut-ikut ngurusin freeport, apa urusannya? Ngaco tu orang.
Aku mencoba mencari tahu lebih dalam tentang supir ini. Dia lahir di Pantura, tamat SMP, lama jadi supir bus dan truk sebelum jadi supir taksi. Pernah jadi supir mobil boks miliki sebuah koran terkenal di ibu kota, tugasnya mengantarkan koran tersebut ke daerah Jakarta Barat. Saat itulah sampai kini ia sangat rajin membaca koran. Ia tampak sangat kesal dengan televisi yang habis-habisan membela Setya Novanto. Dengan ketus dia bilang, kenapa tu tivi gak pernah serius memberitakan kasus lumpur Lapindo yang membuat ribuan rakyat menderita. Apa karena punyanya si Bakrie ya?
Apa yang dikatakan supir taksi itu hanyalah pendapat satu orang warga negara yang resah akan dampak buruk televisi terhadap anaknya. Juga kekesalannya bahwa televisi tidak memberikan sesuatu yang positif dan berguna bagi dirinya. Tentu saja pendapatnya ada benarnya, bisa benar, juga bisa salah. Belum tentu dia memiliki waktu untuk mengikuti acara televisi yang begitu banyak dan beragam.
Namun, kekhawatirannya tentang pengaruh buruk televisi terhadap perkembangan anak agaknya tidaklah berlebihan. Kerisauan si supir taksi boleh jadi merupakan kerisauan banyak orang tua.
Televisi di negeri ini semakin banyak. Daya hidupnya sangat tergantung pada iklan. Akibatnya televisi dikelola dengan model kapitalis yang mengedepankan untung. Dalam konteks televisi itu berarti pentingnya rating atau peringkat yang menunjukkan popularitas sebuah acara. Acara yang populer dengan penonton terbanyak pastilah ditempatkan pada jam tayang utama.
Tampaknya bagi para pengelola tidak penting benar apakah acara tersebut berisi pelajaran seperti yang diharapkan supir taksi. Orientasi utamanya bukan isi yang bermutu dan mencerahkan, tetapi laku dan bisa mendatangkan banyak iklan.
Para pengelola memang lebih mengutamakan jualan, dan laku. Itulah sebabnya saat bulan Ramadhan yang paling banyak dijual adalah acara-acara yang terkait dengan Islam. Tentu saja sudah dibungkus dan dibumbui dengan pendekatan hiburan dan gaya populer. Kita tidak tahu apa yang ditangkap pemirsa. Substansi ajaran agama atau asesori hiburannya. Makin menarik karena banyak kuis berhadiah dalam acara tersebut.
Kesan terkuat, bagi saya, adalah upaya menjadikan agama sebagai komoditi yang laku dijual. Ada ustaz yang berdoa sembari nangis-nangis. Rasanya lebih baik berdoa sendiri saat sholat malam dan menangis karena penghayatan mendalam. Berdoa sembari menangis di depan kamera jadi terlihat kayak sinetron.
Ada pula ustaz yang sangat tertarik membahas bagaimana menjadi kaya dan sukses dengan cara mengamalkan membaca ayat-ayat atau melaksanakan ibadah tertentu. Lucu rasanya menyaksikan ayat-ayat Al Quran yang sangat mulia disederhanakan menjadi semacam mantra dalam ajaran-ajaran agama kuno.
Tidak kalah mengherankan adalah niat beribadah agar kaya dan sukses. Rasanya beribadah merupakan wahana untuk menunjukkan bahwa manusia adalah hamba Allah. Bukan sebuah cara untuk bertransaksi dengan Allah dalam konteks mau sukses dan menjadi kaya. Sungguh, agama telah dijadikan sekadar komoditi.
Orang didorong untuk mau bersedekah, berbagi dengan niat akan mendapatkan balasan lebih dari Allah. Pertanyaannya, mau berinfak dengan ikhlas untuk mendapatkan ridho Allah atau bertransaksi dengan cara-cara hitung kapitalis dengan Allah? Jika hendak berbuat baik, lakukanlah karena Allah. Tidak penting benar dibalas atau tidak. Emang berbalas pantun?
Semua ini menjadi tak terelakkan saat agama menjadi bagian dari komoditi dalam televisi yang dibangun berdasarkan nalar kapitalisme. Menghibur dan laku, itulah prinsip utamanya. Tak penting bernilai atau tidak.
Apakah tidak ada acara televisi yang memberikan pelajaran? Pastilah ada. Namun, kebanyakan ditempatkan pada jam tayang yang berbarengan dengan waktu tidur normal kita. Pemirsa yang menonton sudah terkantuk-kantuk, malah mungkin dia "menonton secara ghaib" atau tertidur di depan televisi.
Terkait dengan pemberitaan di televisi, si supir taksi agaknya ada benarnya. Semakin susah membedakan berita objektif dengan opini. Ada terlalu banyak kepentingan yang melatarbelakangi mengapa berita yang seharusnya mencerdaskan dan mencerahkan berubah menjadi memuakkan dan menjijikkan.
Kepentingan sang pemilik televisi lebih mengemuka tinimbang kepentingan publik yang membutuhkan informasi yang faktual, objektif dan memenuhi standar kerja jurnalistik. Padahal televisi itu tetap bisa beroperasi bukan karena kekuatan modal sang pemilik, tetapi karena ada pemirsa yang mau menonton. Mestinya kepentingan publiklah yang dikedepankan.
Melihat perkembangan yang tidak semakin positif, seharusnya muncul gerakan bersikap sangat kritis terhadap televisi. Pada tingkat pertama gunakan remote secara aktif untuk hanya memilih acara tertentu saja dari beragam acara televisi. Kedua membuang saluran yang lebih banyak keburukan daripada kebaikannya dari televisi kita.
Perlu disosialisasikan gerakan menu sehat televisi. Masyarakat diminta untuk hanya memilih televisi yang memiliki menu acara yang mencerdaskan dan mencerahkan. Cara ini bisa menjadi sebuah tindakan kritik nyata terhadap semakin tidak positifnya perkembangan acara-acara di televisi. Semoga dengan cara ini televisi akan terpicu dan terpacu untuk menyajikan acara bermutu. Prinsipnya adalah hiburan, laku, bermutu, mencerdaskan. Karena
TELEVISI YANG HANYA MENGEJAR KEUNTUNGAN MATERI, TIDAK BERUPAYA MENCERDASAKAN DAN MENCERAHKAN PASTI MERUSAK PERKEMBANGAN MASYARAKAT.
Minggu, 13 Desember 2015
CURHAT SUPIR TAKSI: TAK ADA PELAJARAN
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
setiap komentar yang masuk akan terkirim secara langsung ke alamat email pribadi Bapak DR. Nusa Putra, S.Fil, M.Pd