Akhirnya Setya Novanto, pendukung calon Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang rasis dan anti Islam, terduga sejumlah kasus korupsi, kader Partai Golkar pendukung Orde Baru yang otoriter, dan Ketua DPR RI, dinyatakan bersalah melanggar etik oleh MKD dengan hukuman diberhentikan sebagai Ketua DPR RI. Sesaat setelah ketujuh belas anggota MKD menyatakan pendapat, sebelum melanjutkan sidang untuk membuat keputusan akhir, Setya Novanto yang kasus hukumnya akan ditangani Kejaksaan Agung, mengundurkan diri.
Pengunduran diri pada saat telah dinyatakan bersalah melanggar etik oleh ketujuhbelas anggota MKD merupakan akal bulus agar kasusnya dihentikan, dan dia tidak dimundurkan sebagai konsekuensi tindakannya melanggar etika. Karena itu pernyataan para pendukungnya yang menegaskan bahwa pengunduran diri Setya Novanto merupakan sikap kenegarawanan rasanya lebih busuk dari kentut celurut!
Bila Setya Novanto sungguh bersikap kenegarawanan, ia mundur bukan saat telah ditentukan bersalah. Karena bila tidak mundur pun ia akan dimundurkan dengan paksa, sebab telah divonis bersalah. Jika ingin menunjukkan sikap kenegarawanan, ia harusnya sudah mundur minimal saat saksi utama yaitu petinggi Freeport telah memberikan kesaksian. Dalam kesaksian itu sangat jelas terungkap bahwa Setya Novanto lah yang menjadi inisiator pertemuan yang membicarakan topik yang bukan merupakan kewenangannya.
Setya Novanto dalam pembelaannya menyatakan tidak bersalah, bahkan balik menyerang pihak lain, baik pengadu dan saksi, telah mencemarkan nama baiknya. Tidak tanggung-tanggung, ia bahkan melaporkan si pengadu ke Bareskrim Polri dengan tuduhan pencemaran nama baik. Tindakannya ini menegaskan bahwa ia sama sekali merasa tidak bersalah dan menjadi korban.
Fakta-fakta di atas secara sangat terbuka menegaskan, Sertya Novanto tidak merasa bersalah atas tindakannya, bahkan ngotot menyalahkan pihak lain. Apakah orang seperti ini pantas disebut bersifat kenegarawanan? Kemundurannya sama sekali tidak menunjukkan sikap kenegarawanan, namun merupakan strategi untuk menghindari hukuman yang pasti diterimanya yaitu dimundurkan sebagai Ketua DPR RI.
Agaknya istilah yang lebih tepat untuk dilekatkan pada Setya Novanto adalah tak tahu malu, tak tahu diri, dan tak bernurani. Bukannya sebagai orang yang menunjukkan sikap kenegarawanan.
Beda-beda tipis dengan Setya Novanto adalah para pendukungnya dari Koalisi Merah Putih (KMP). Mereka membela Setya Novanto habis-habisan, bahkan sampai menuduh pengadu dan saksi telah melanggar etika, tidak jujur, dan berbohong. Kahar Muzakar dari Partai Golkar saat memimpin sidang dengan sangat tegas dan berapi-api mengucapkan itu.
Ada kesan sangat kuat para pendukung Setya Novanto hendak memutarbalikkan keadaan dengan menyerang pengadu dan saksi, serta melebarkan masalah ke mana-mana untuk mengalihkan persoalan utama yaitu dugaan pelanggaran etika yang dituduhkan pada Setya Novanto. Mereka sengaja mengajukan sejumlah pertanyaan yang tidak ada kaitannya dengan dugaan pelanggaran etika Setya Novanto. Banyak pertanyaannya masuk kategori Jaka Sembung bawa golok!
Namun, sangat di luar dugaan. Saat penyampaian pendapat akhir, enam anggota MKD yang berasal dari KMP yang merupakan pendukung Setya Novanto, menyatakan bahwa Setya Novanto bersalah melanggar etika dengan sanksi berat. Mereka ialah: Dimyati Natakusumah (PPP), Sufmi Dasco Ahmad (Gerindra), Supratman (Gerindra), Adies Kadir (Golkar), Ridwan Bae (Golkar), Kahar Muzakir (Golkar).
Sungguh sangat keterlaluan. Bukan saja menjungkirbalikkan nalar, benar-benar menghalalkan segala cara untuk membela pelanggar etika Setya Novanto. Mungkin mereka mengira rakyat Indonesia begitu bodohnya sehingga mudah dikibuli dengan strategi yang bukan saja tidak nalar, juga menghancurkan moral.
Mereka mempertontonkan dagelan yang tidak lucu, tetapi menjijikkan. Bagaimana bisa, mereka membela Setya Novanto habis-habisan, sampai-sampai menuduh pengadu dan saksi tidak jujur, tidak beretika dan meyatakan Setya Novanto adalah korban. Namun, saat meyatakan pendapat menyatakan Setya Novanto melanggar etika dengan sanksi berat. Kemunafikan busuk, kebohongan yang memuakkan dan menjijikkan.
Sekarang kita betul-betul menyaksikan perilaku kader-kader KMP. Perilaku yang sama sekali tidak dapat dipercaya, pembohongan yang disengaja dan direncanakan sebagai strategi pemenangan. Machiavellis betul. Apakah pantas gerombolan manusia kayak gini dipercaya?
Belum pernah dalam perpolitikan moderen Indonesia terjadi skandal seburuk ini. Pembohongan dan pembodohan rakyat dilakukan sekaligus, hanya demi mempertahankan kekuasaan. Politik tak bermoral. Strategi tak nalar, tindakan tak tahu malu, perjuangan minus nurani.
Dengan demikian kita bisa tegaskan bahwa Setya Novanto melanggar etika dan para pendukungnya tak bernurani dan melanggar moralitas. Partai pendukung dan koalisinya bukan saja sangat tidak cerdas, juga mengabaikan suara hati, aspirasi, dan nalar rakyat Indonesia.
Dikira rakyat bisa dibohongi dengan strategi pemberian sanksi berat. Hanya rakyat yang kurang akal yang percaya bahwa pemberian sanksi berat oleh KMP sebagai keberpihakan mereka pada aspirasi rakyat. Rakyat sangat paham bahwa sanksi berat yang sengaja dijatuhkan adalah strategi untuk mengulur waktu, yang memberi mereka kesempatan untuk menyelamatkan Setya Novanto pada tingkat sidang paripurna DPR dan pembentukan panel.
Mengapa Setya Novanto baru mengumumkan pengunduran diri setelah dipastikan bahwa suara terbanyak menghukumnya bersalah dengan sanksi ringan? Sebab keputusan itu tidak perlu pembahasan pada sidang paripurna dan tidak memberi kesempatan untuk membentuk tim panel.
Karena itu hanya orang yang punya fikiran sepanjang rambut saja yang bilang bahwa pengunduran diri Setya Novanto itu sikap kenegarawanan. Pengunduran itu merupakan reaksi terhadap kerawanan posisi Setya Novanto yang dipastika bersalah dan harus mundur, suka atau tidak, sebagai Ketua DPR.
Mosok reaksi terhadap kerawanan dibilang sikap kenegarawanan. Sungguh ketidakwarasan yang keterlaluan.
Sebenarnya kepanikan KMP akan menghadapi kekalahan sudah tampak saat kader mereka dari PKS yang merupakan Wakli Ketua DPR mengeluarkan Akbar Faisal dari MKD. Tindakan itu bukan saja cacat hukum karena tidak prosedural, pun merupakan pelanggaran berat. Mengapa anggota MKD yang hadir dalam jumpa juranlis dengan Mengkopolhukam dibiarkan? Padahal tindakan itu merupakan pelanggaran etis dan kepantasan. Mosok mereka yang akan menghakimi bertemu saksi? Yang bener aja!
Marilah kita bersyukur pada Allah, karena persidangan dugaan pelanggaran etika Setya Novanto secara sangat terbuka menunjukkan sikap dasar dan kualitas moral, nalar, dan komitmen KMP. Mereka memang tidak pantas dipercayai. Kasihan benar. Partai baru yang seharusnya bisa memberikan kontribusi positif bagi perkembangan negara bangsa ini, malah terjebak mengikuti strtegi golongan ingkar yang menjadi pendukung rezim otoriter selama lebi dari tiga puluh tahun. Kacian deh lo!
Kita kini mempertanyakan apakah mereka sungguh-sungguh memperjuangkan aspirasi rakyat atau asyik dan fokus memperjuangkan kekuasaan untuk koalisinya? Berbagai peristiwa yang terjadi selama setahun ini merupakan ujian bagi semua partai politik, apakah mereka berpihak dan memperjuangkan aspirasi rakyat atau mengatasnamakan rakyat untuk mencari kekuasaan dan rezeki berlebih bagi koalisinya saja? Dalam kasus Setya Novanto kali ini semua menjadi jelas, terang benderang, kekuatan mana yang menghina dan mengkhianati rakyat.
Kita percaya dengan ketajaman nurani dan kecermatan nalar, rakyat akan mengambil tindakan terhadap partai politik dan politikus yang gemar menghina dan mengkhianati rakyat. Rakyat pasti akan tinggalkan mereka. Sebab
PENGHINA DAN PENGKHIANAT RAKYAT, TIDAK PANTAS MEWAKILI RAKYAT.
Kamis, 17 Desember 2015
DAGELAN POLITIK KMP: PENGHINAAN TERHADAP RAKYAT INDONESIA
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
setiap komentar yang masuk akan terkirim secara langsung ke alamat email pribadi Bapak DR. Nusa Putra, S.Fil, M.Pd