Politik adalah urusan publik. Bagaimana menarik perhatian publik, meyakinkan, dan mempersuasi agar mereka pada akhirnya menjatuhkan pilihan, memilih kekuatan politik yang kita bangun. Bila mereka akhirnya memilih, seharusnya kekuatan politik itu berjuang mewujudkan aspirasi pemilih. Dalam praktik nyata, itulah politik. Kata kuncinya adalah dipilih dan memilih.
Terdapat banyak cara saat seseorang menentukan pilihan. Tingkat pendidikan bisa ikut memengaruhi bagaimana cara seseorang menjatuhkan pilihan. Orang berpendidikan mestinya menggunakan serangkaian tindakan untuk memilih yaitu memilah, mengolah dan memilih. Intinya, tidak sembarang memilih. Namun, tidak semua orang terdidik seperti itu.
Ada pula yang memilih sekadar mengikuti kecenderungan orang banyak. Tidak penting yang dipilih merupakan calon terbaik atau bukan. Bila orang banyak memilih, apapun pilihannya, orang tipe ini akan ikut selera publik.
Ada lagi yang memilih berdasarkan apa yang didapatkan bila memilih calon tertentu. Keberadaan orang dengan tipe ini tidak dapat dibantah. Sudah ada sejak zaman Orde Baru. Tipe orang seperti inilah yang menjadi sasaran serangan fajar dan politik uang lainnya.
Pilih memilih kini jadi semakin rumit karena pengaruh teknologi komunikasi. Terutama televisi dan media sosial. Ditambah lagi penyebaran angket melalui berbagai survey yang memang dimaksudkan untuk memengaruhi pilihan orang.
Dalam konteks inilah kita menyaksikan betapa perekayasaan pesan menggunakan media semakin mengemuka dan penting. Para perekayasa itu tampaknya meyakini, bahwa usaha mereka akan membawa hasil. Menggiring orang agar memilih mereka.
Boleh jadi keyakinan itu dimiliki Hary Tanoesoedibjo (HT) yang membuat partai baru. Bos MNC yang menguasai sejumlah media itu mencoba melakukan perekayasaan pesan melalui medianya. Setiap hari komentarnya muncul pada teks berjalan di semua stasiun televisi miliknya. Menariknya komentarnya tidak pernah muncul pada stasiun televisi lain yang bukan miliknya. Sekarang ini teks berjalan berisi komentar HT pada stasiun televisi miliknya muncul tiga sekaligus dalam satu waktu.
Pada televisi lain yang bukan miliknya, berita tentang dirinya baru muncul saat heboh Setya Novanto dan Fadli Zon bertemu dengan Presiden Amerika Serikat dari Partai Republik yaitu Donal Trump yang rasis dan anti Islam. HT diduga sebagai mediator pertemuan itu.
Tidak hanya ucapannya yang muncul pada teks berjalan, HT juga sering muncul di jaringan stasiun televisi miliknya seorang diri atau bersama istrinya untuk mengucapkan selamat terkait dengan hari besar seperti Idul Fitri. Lebih sering lagi muncul memperkenalkan partai baru yang didirikannya. Pasti yang muncul dan sangat menonjol adalah dirinya. Semua yang lain, termasuk rakyat yang katanya mau dibela, hanya ditampilkan sebagai latar belakang yang tidak penting dan tidak menonjol.
Dalam setiap kesempatan yang memang sengaja dipersiapkan agar dia tampil, tampak sekali penonjolan dirinya. Berjalan paling depan, memberi komentar sendirian, dan selalu dikelilingi banyak orang. Mungkin agar terlihat penting seperti presiden yang dikelilingi para menteri, ajudan dan pengawal.
Karena memang dipersiapkan untuk dirinya, beritanya hanya muncul pada stasiun televisi miliknya. Tidak muncul pada stasiun televisi lain yang bukan miliknya. Itu artinya dinilai dari sudut kelayakan jurnaslistik yang normal, berita tentang dirinya memang tidak layak tayang. Namun pada stasiun televisinya selalu muncul, diulang-ulang. Penyiaran berulang-ulang pastilah bukan karena nilai kepentingannya, tetapi karena stasiun televisi itu miliknya. Patut diduga ia gunakan otoritasnya sebagai tauke yang memerintah anak buah. Cara ini boleh jadi bentuk paling buruk dari " masturbasi atau onani politik" dari seorang yang merasa diri "megaloman". Sebentuk megalomania akut.
Inilh salah satu contoh pengejawantahan politik ala tauke atau majikan. Politik yang tidak mendorong dan memberi kesempatan untuk partisipasi. Tetapi penonjolan diri sang tauke dan mobilisasi masa. Karena itu kita tidak pernah tahu siapa saja tokoh partai baru yang didirikan HT selain dirinya selaku tauke besar. Partai politik kayaknya cuma dijadikan alat untuk menonjolkan diri sendiri, dan menggunakan cara-cara pengiklanan produk ala kapitalisme dalam memperkenalkan diri kepada masyarakat. Sungguh politik yang tidak berakar pada aspirasi dan kepentingan rakyat. Tetapi atas kepentingan penonjolan diri sang tauke.
Perhatikan dengan saksama baliho dan iklan yang terpasang di berbagai tempat di Jakarta. Baliho dalam ukuran besar yang bermaksud memperkenalkan partai baru yang dipelopori pendiriannya oleh HT. Bukannya menonjolkan dan menguraikan visi, misi dan tujuan partai. Tetapi hanya berisi foto diri HT sang majikan dan nama serta lambang partai. Nyata sekali yang hendak ditegastonjolkan: HT adalah partai dan partai adalah HT. Tampaknya masih bagus gaya Cina Komunis zaman Mao Tse Tung. Kemana pun kita pergi saat itu di Cina, yang terpampang adalah foto diri Mao sebagai orang kuat partai sekaligus pemimpin tinggi negara. Dibeberapa tempat masih terdapat sejumlah motto partai komunis. Namun tetap saja yang menonjol adalah kultus individu. Foto Mao agaknya layak dipampang karena ia adalah pemimpin tertinggi negara besar.
Dalam konteks HT, geli rasanya melihat foto dirinya terpampang di mana-mana. Karena dalam kaitannya dengan negara bangsa Indonesia sebagai hasil perjuangan rakyat dan pemimpinnya dalam waktu yang sangat panjang, kita boleh bertanya HT itu siapa? Dia hanya seorang tauke. Apa sumbangannya bagi bangsa ini kecuali mengeruk keuntungan?
Ada yang tidak kalah menarik. Bila dicermati, komentar HT sebagai ketua umum partai baru yang belum menyumbangkan apapun bagi negara bangsa ini dalam teks berjalan pada stasiun televisi miliknya, tampak sekali ia bukanlah orang yang terlibat dengan masalah-masalah utama bangsa ini. Ia berkomentar layaknya pengamat yang sama sekali tidak menunjukkan empati pada masalah dan yang sedang mengalami masalah.
Komentarnya mirip komentar anak SMP yang melihat tabrakan di jalan. Tidak analitis dan sama sekali tidak empatis. Mirip orang yang tunjukkan korek api kepada orang yang mobilnya mogok di tengah jalan. Sama sekali tak ada keinginan untuk membantu, malah melecehakan, mengejek dan egois. Bahkan seringkali persoalannya belum jelas, HT sudah berkomentar seharusnya begini, seharusnya begitu. Anak SD pun bisa berkomentar kayak gitu.
Jika ditilik lebih dalam keterlibatan HT dalam politik, karakter pribadi taukenya sangat jelas. Ia menganggap dirinya tauke besar yang harus berada di atas dengan kedudukan terhormat. Ia masuk Partai Nasdem, dan keluar saat posisinya bukan yang menentukan dan teratas. Kemudian lompat pagar jadi calon wakil presiden di Partai Hanura. Saat pencalonannya kandas, karena Hanura tidak menang pemilu, ia jadi suporter Prabowo. Tampak sekali ia menempatkan diri sebagai tauke yang harus bisa ikut mengatur dan berada pada posisi puncak. Baginya politik sepenuhnya merupakan transaksi. Inilah gaya politik tauke. Apa yang bisa diharapkan dari model berpolitik seperti ini?
Dalam tradisi kapitalis, para tauke besar memang biasa masuk dalam politik saat sedang berada di puncak bisnis. Donald Trump yang rasis dan anti Islam, kolega bisnis HT, juga lakukan itu. Mungkin karena merasa diri tauke besar, Trump tampak sangat sembarangan dan seenaknya. Boleh jadi karena merasa sangat berhasil di bidang bisnis, ia merasa hebat dan pasti berhasil dalam politik.
Jangan pernah lupakan, ada perbedaan besar mengurusi bisnis dan politik. Mereka yang berhasil pada bidang bisnis, belum tentu berhasil saat berpolitik. Begitupun sebaliknya, jagoan politik sering gagal pada bidang bisnis.
Politik bukan hanya soal negosiasi dan transaksi sebagaimana bisnis. Politik itu upaya sistematis untuk menumbuhkan partisipasi, mengharuskan keterlibatan penuh sebagai sesama dengan rakyat. Rakyat bukan pegawai atau pekerja yang bisa dikelola dengan nalar binis. Politik sejati bukanlah jual beli, tetapi dialog, kemampuan mendengarkan secara empatis yang mengharuskan keterlibatan. Tak boleh ada suasana tauke dan anak buah saat berhubungan dengan rakyat.
Karena itu politik hakikatnya adalah keterlibatan empatis demi memperjuangakan aspirasi rakyat. Bukan jual beli kepentingan dan penderitaan rakyat. Nalar dan cara kerja tauke sama sekali bertentangan dengan politik yang sejati. Karena itu,
SIAPA PUN YANG TAK MAMPU BEREMPATI PADA PENDERITAAN RAKYAT, DAN LEBIH TERTARIK UNTUK MEMPERDAGANGKAN PENDERITAAN RAKYAT DENGAN MENTAL TAUKE, TIDAK LAYAK MENJADI POLITISI.
Kamis, 24 Desember 2015
GAYA POLITIK TAUKE
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
setiap komentar yang masuk akan terkirim secara langsung ke alamat email pribadi Bapak DR. Nusa Putra, S.Fil, M.Pd