Selasa, 08 Desember 2015

TENTANG DUA PEREMPUAN

Jika berpendapat perempuan itu lemah dan emosional, pastilah salah. Perempuan adalah sesama.  Sebagai sesama, perempuan dan lelaki memiliki kelebihan dan kekurangan. Meski merupakan sesama, perempuan dan lelaki itu berbeda. Bila ada yang berpendapat perbedaan antara perempuan dan lelaki membawa akibat perempuan lebih rendah daripada lelaki, pendapat itu bukan saja salah, juga zalim.

Dalam masyarakat barbar dan  tradisional, perempuan memang direndahkan. Bahkan pada beberapa budaya, perempuan yang sedang datang bulan diasingkan ke dalam hutan. Tak boleh berkomunikasi dengan orang lain. Caranya diberi makan sungguh mirip memberi makan hewan. Karena diyakini perempuan itu sedang dirasuki roh jahat atau iblis.

Pada beberapa suku yang menyelenggarakan upacara ritual  mengorbankan manusia, perempuanlah yang dikorbankan. Sungguh perendahan perempuan sepenuhnya merupakan bisa-bisanya manusia saja. Terutama kaum lelaki.

Bangsa Arab Jahiliyah sebelum Nabi Muhammad SAW datang membawa ajaran Islam, memiliki kebiasaan menguburkan anak perempuan hidup-hidup. Waktu itu dirasa sangat memalukan jika memiliki anak perempuan. Meskipun Islam mengajarkan perempuan adalah sesama, namun sisa ajaran lama yang merendahkan perempuan rasanya masih terdapat dalam hidup keseharian di sana sampai kini.

Bila pada masa kini  ada masyarakat atau individu yang masih saja merendahkan perempuan bisa disebut bahwa mereka tradisional, bahkan barbar. Secara pribadi saya berkeyakinan, lelaki yang menikahi wanita secara siri, tidak membuat perjanjian tertulis untuk melindungi perempuan yang dinikahi dan anak-anaknya, merupakan lelaki yang merendahkan perempuan. Bahkan saya yakin mereka barbar. Meski mereka berlindung menggunakan ajaran agama.

Masyarakat tradisional dan barbar merendahkan perempuan, boleh jadi karena sama sekali belum memahami bahwa cetak biru otak manusia, saat manusia di dalam kandungan belum jelas kelaminnya, adalah otak perempuan. Bukan otak lelaki. Mereka juga tidak tahu bahwa sangat banyak kelebihan yang terdapat dalam otak perempuan dibandingkan otak lelaki. Begitupun halnya dengan susunan dan mekansime hormonal.
Karena itu merupakan pikiran sesat yang menyatakan bahwa perempuan itu pelengkap bagi lelaki. Saya berpikir bahwa perempuan dan lelaki itu saling isi, saling lengkap melengkapi.

Tetapi apa boleh buat, kebudayaan  yang merupakan karya cipta manusia, dan biasanya didominasi lelaki, telah menempatkan perempuan secara salah. Itulah akar perendahan perempuan. Karena itu kita harus semakin mendorong agar persamaan perempuan dan lelaki tidak berhenti pada teks undang-undang dan pidato. Harus terjadi dalam hidup nyata, dalam keseharian kita.

Namun sangat ngenesin bahwa sampai kini masih banyak lelaki yang merendahkan perempuan. Bahkan tidak sedikit lelaki merendahkan istrinya sendiri. Jika sudah begini kita jadi tambah bingung, mengapa menikahi perempuan bila hanya untuk direndahkan? Berikut beberapa kisah tentang perendahan istri oleh suami.

Ia seorang ibu dengan satu anak perempuan. Telah berulang kali ia mencoba bunuh diri karena frustrasi dan putus asa. Suaminya yang tidak jelas pekerjaannya dan mengandalkan hidup dari orang tuanya yang rada kaya, sering memukulinya. Kadang pukulan keras ia rasakan di tubuh  tanpa alasan sama sekali. Sungguh sang istri merasa hidup dengan monster yang tak punya nurani sama sekali.

Seringkali anak perempuannya dibawa oleh suaminya entah kemana atau ke rumah orang tua suaminya, sehingga pendidikan anak itu menjadi sangat terganggu. Ia bertambah sakit hati karena kedua mertuanya selalu membenarkan perilaku suaminya dan terus saja memaki dan menghinanya.

Pernah ia datang ke agamawan untuk mendapatkan bantuan yang nyata. Apa hendak dikata, ia hanya diberi nasihat dan diminta bersabar saja. Sebenarnya ia berharap si agamawan mau bertindak lebih, misalnya berbicara dengan suaminya agar tidak lagi memukulinya. Entah kenapa si agawawan enggan melakukannya.

Wanita ini merasa  sebatang kara. Menderita sendiri. Kehilangan harapan dan sangat frustrasi.

Karena gundah hati terasa nyeri, galau bikin kacau, sedih terasa perih, ia bercerita padaku dengan air mata mengalir deras. Sangat terasa ia merasa duka sebatang kara, sepi sendiri dan sangat putus asa.

Aku bilang, sadarilah, manusia tak pernah sendirian. Kapan dan dimana pun, dalam kondisi apapun, ada Tuhan bersama kita. Tuhan tak pernah tinggalkan kita, tetapi kita sering kali, sengaja atau tidak, menjauhi dan meninggalkan Tuhan. Mulai nanti malam, bawalah selalu kitab suci. Saat hati gundah galau, kala fikiran galau kacau, ketika benak terasa penuh onak, bila diri merasa frustrasi segeralah buka lembaran kitab suci secara sembarang. Biarkan Tuhan sendiri bicara pada kita. Percayalah, akan muncul jawaban-jawaban tak terduga. Jawaban-jawaban yang mendatangkan rasa teduh dan nyaman.

Aku tak memberi banyak kecuali itu. Ia memang butuh uluran tangan untuk mengangkatnya dari palung kedukaan. Tetapi bukankah hanya dirinya pada akhirnya yang menentukan apakah dia bisa keluar dari kondisi memilukan ini. Pastilah tak baik membuatnya merasa tergantung pada siapa pun, kecuali hanya bergantung pada Tuhan.

Dua minggu dia lakukan itu. Saat sedih menyergap, kala kacau menyelinap, bila fikiran negatif nyembul, ia secara sembarang membuka halaman-halaman kitab suci. Sungguh, ia menemukan ayat-ayat yang memperkuat dan mencerahkan hatinya. Perlahan ia menjadi lebih kuat, sabar dan percaya bahwa ia tak pernah sendiri. Ada Tuhan bersamanya.

Ia datang lagi. Matanya binar, wajahnya cerah. Ia banyak senyum. Ia telah tercerahkan. Jika ada kelucuan tawanya meledak. Ia kembali ke jati dirinya, wanita yang berani dengan suara yang lepas bebas. Ucapannya mantab sebagaimana dulu.

Aku tanyakan kabar suaminya. Ia tampak agak santai menanggapi. Ya...tetep kayak dulu, tak punya persaan dan jahat. Mana bisa dia berubah. Anak mami salah asuhan, tegasnya.

Satu hal menjadi jelas kini. Meski suaminya tidak berubah, namun persaan dan fikirannya tentang suami dan kondisinya telah berubah sama sekali. Tuhan sungguh memberinya jalan dan kekuatan. Aku fikir ini saat yang tepat untuk menyarankan sesuatu yang agak ekstrim.

Apa yang dilakukan bila suami marah dan memukul, tanyaku. Diam, menangis dan ketakutan, jelasnya. Saatnya untuk berubah, memberikan kejutan yang bukan saja tak terduga, juga menimbulkan efek luar biasa, kataku. Saya harus berbuat apa?, tanyanya. Melawan dengan keras, tegasku.

Bagaimana caranya, tanyanya lagi. Cari benda keras yang tajam, kataku? Belati? tanyanya. Tidak usah, botol syrup yang besar. Bila ia marah, benturkan botol itu ke benda keras agar pecah dan hunuskan padanya sambil ucapkan kata-kata yang mengerikan. Tetapi jangan lebih dari dihunuskan, yang penting kata-katanya harus mengerikan. Awas kau, sarannya. Kurang mengerikan, jawabku. Kurang ajar kau tak tahu malu, ucapnya. Masih kurang, responku. Kubunuh kau! jeritnya. Ya, tepat dan mengerikan, tanggapku.

Saya percaya tidak ada kekerasan, hanya menghunuskan botol yang dipecahkan dan ucapan kubunuh kau. Kita bisa sepakat soal ini?, tanyaku. Iya, demi Tuhan, tak akan ada kekerasan, jawabnya tegas. Kita hanya memberikan sebuah kejutan, menegaskan bahwa yang dihadapinya adalah manusia yang punya perasaan dan harga diri, jelasku.

Tidak terlalu lama menunggu. Suaminya marah-marah tanpa alasan dan kembali memukul dengan kasar. Isrtinya rupanya telah menyiapkan beberapa botol di banyak tempat. Ia kemudian dengan emosi memukulkan botol ke dinding, botol pecah dengan sisa berbentuk pecahan yang mengerikan. Dengan tangan dan suara gemetar ia membentak, kubunuh kau!

Suaminya kelihatan gugup dan sangat ketakutan. Ia buru-buru berbalik dan lari meninggalkan rumah. Saat suaminya lari, dirasakan dengkulnya lemas dan ia terduduk di lantai. Air matanya mengalir deras. Bersimpuh, ia berdoa agar Tuhan mengampuni dosanya dan membukakan hati suaminya. Lama ia duduk sebelum akhirnya mampu untuk membersihkan pecahan kaca botol yang berserakan.

Malam terasa sepi dan mencekam baginya. Tak pernah terfikir ia bisa seberani ini. Bertahun-tahun bersama suaminya, ia pasrah bila suaminya marah dan memukulnya. Ia berfikir seorang istri harus setia dan menerima apapun yang dilakukan suaminya. Rupanya sikap setia, sabar dan pasrah itu telah ditanggapi secara negatif oleh suaminya.

Ia merasakan sesuatu yang sangat berbeda malam ini. Beban yang salama ini memberati hidupnya seakan lenyap hilang begitu saja dengan cepat. Ia merasa hatinya ringan bagai uadara pagi. Ada rasa hangat di dalam hati. Latih dan nyaman dirasakannya sekaligus. Ia terlelap.

Kala tengah malam ia kaget. Suaminya berlutut di samping tempat tidur. Ia menangis, wajahnya tampak kuyu. Matanya sembab. Ia sama sekali tak berbicara, hanya menangis.

Melihat istrinya terbangun, ia berusaha mendekat, meraih tangan istrinya dan mengucapkan permintaan maaf diiringi tangisan. Ia juga menyatakan penyesalan atas apa yang selama ini terjadi. Istrinya sama sekali tak menduga bisa berakhir seperti ini. Inilah untuk pertama kali suaminya memohon maaf, menyesali perbuatannya, dan berjanji tak akan mengulanginya.

Waktu berlalu, perlahan suaminya berubah. Mulai mau bekerja, tak ada lagi kata-kata kasar yang menghina, apalagi pukulan. Entahlah, kita tak pernah tahu apa yang ada di benak suaminya saat sang istri menghunuskan botol pecah dan ucapan kubunuh kau. Tetapi peristiwa iti benar-benar merubah dirinya.

Manusia adalah "flash disk" yang terbuka. Kemungkinan untuk berubah relatif tidak terbatas. Namun, kita tak pernah tahu apa yang bisa membuatnya berubah, dan kemana perubahn itu menuju.

Kemungkinan terbuka, itulah kata kuncinya. Perempuan ini sangat pendiam, bila berbicara seperti berbisik, tubuhnya ramping, kulitnya putih mulus, berwajah cantik, dan telah tiga anaknya. Ia juga menghadapi kemungkinan terbuka. Kemungkinan yang membawanya pada kehidupan baru.

Dimaki caci dan dipukuli suami merupakan hal sangat biasa baginya. Ia terima kondisi ini sebagai buah dari pilihannya. Dulu orang tuanya tidak setuju ia menikah dengan lelaki yang kini jadi suaminya. Meski ganteng dan sangat kaya, orang tuanya yakin dia bukan lelaki baik-baik yang setia. Namun si perempuan ngotot dan mengancam akan tetap menikah meski orang tuanya tidak setuju. Akhirnya pernikahan terlaksana dengan resepsi yang mewah.

Ternyata benar, baru tiga bulan menikah suaminya telah tunjukkan siapa dia sesungguhnya. Lelaki itu punya sejumlah teman wanita yang usianya jauh lebih muda dari istrinya. Hamil anak pertama sunggguh dalam kondisi psikologis penuh tekanan. Diduga karena tekanan psikologis yang panjang pada masa kehamilan inilah yang membuat anak pertamanya menjadi anak perempuan yang lamban, susah menangkap pelajaran, dan selalu bertingkah minta perhatian lebih.

Ia bertahan menjadi istri meski ada banyak masalah yang menyebabkan hati teriris karena pertimbangan anak dan berharap suaminya akan berubah. Berubah karena kehadiran buah cinta.

Memang suaminya kelihatan lebih perhatian dan sering di rumah saat si buah hati itu lahir. Ia tunjukkan bahwa ia seorang ayah yang bertanggung jawab. Semuanya berjalan lancar sampai anak kedua lahir.

Namun, keadaan kembali seperti semula saat anak ketiga berusia dua tahun. Suaminya kembali sering main gila dengan banyak wanita, dan acap kali memukuli istrinya bila ada permasalahan di rumah.

Tentu saja kini keadaannya menjadi berbeda sama sekali. Setiap kali terjadi pertengkaran dan kekerasan di rumah, anak-anak pasti menyaksikan. Persoalannya menjadi sangat berbeda dengan dulu.

Kini ada korban kekerasan dan ada anak-anak yang menyaksikan. Jadi ada lebih banyak korban. Rumah tangga ini menjadi neraka yang mengerikan. Rumah tangga yang membiakkan kekerasan.

Bekas kekerasan itu sangat terlihat pada diri si istri dan anak-anak. Si istri menjadi orang yang semakin tertutup, pendiam dan menghindari pergaulan. Sementara anak-anak menjadi anak-anak yang tidak percaya diri, pemarah, dan banyak masalah. Sungguh keluarga yang besar dalam onak duri kekerasan.

Perempuan ini terlalu lemah. Ia bahkan berusaha dengan berbagai cara menutupi semua kejahatan yang dilakukan suaminya. Ia terlalu takut. Ia terlalu malu. Malu pada diri, keluarga besar, tetangga, teman-teman dan anaknya.

Karena ia sudah bercerita padaku dan meminta tolong untuk ikut mencarikan solusi, maka aku sarankan agar ia menjalin keakraban lebih, dan membangun komunikasi intens dengan tiga karibnya yang berdekatan rumah dengannya. Aku minta ia lebih berterus terang pada mereka, dan meminta bantuan bila memang membutuhkan. Ia tidak mungkin menghadapi masalah ini sendirian, terlalu beresiko. Apalagi, ia terlalu lemah, sangat ringkih dan rentan.

Sore gerimis, mestinya ia mengikuti sebuah acara yang terjadwal. Enatah apa sebabnya acara itu dibatalkan. Mestinya ia pulang setelah maghrib, tetapi sampai di rumah setelah ashar.

Ia sampai di depan pintu. Ia heran pintu tidak terkunci. Ada mobil suami di garasi, ada sepatu suami di bagian dalam rumah dekat pintu. Tetapi sama sekali tak ada suara. Rumah sunyi senyap seperti tak berpenghuni.

Pelan-pelan ia buka pintu kamar, kosong. Ia makin penasaran. Tanpa suara memanggil ia menuju lantai dua. Ia tak paham, tetapi hatinya membawanya ke kamar ujung di lantai dua, kamar pembantu. Ia lihat pintunya sedikit terbuka. Saat ia mendekat ke pintu ia dengar suara yang sangat dikenalnya. Ia buka pintu dan ia lihat suaminya sedang bersebadan dengan pembantu. Ia berteriak marah, dan melemparkan apa saja ke arah suami dan pembantunya.

Suami dan pembantunya kaget. Suaminya ganti berteriak. Pembantunya kelihatan ketakutan, mengambil apa saja untuk menutupi dirinya yang telanjang. Suaminya berdiri, dengan sigap dan cepat menampar dan memukuli istrinya. Istrinya tak berdaya, wajahnya memar di sekitar mata kiri dan mulutnya. Suaminya bahkan sempat menendang perutnya sebelum keluar kamar. Ia terhempas dan jatuh. Anak-anak yang tidur di lantai satu terbangun karena keributan dan menangis sekeras-kerasnya.

Perempuan itu tergeletak lemah di lantai. Lama waktu yang dibutuhkannya untuk mengambil tindakan. Ia teringat pada karibnya dan mengontak, bercerita apa adanya dan meminta mereka datang.

Karibnya berbagi tugas. Satu orang mengurusi anak-anak dan dua orang membawanya ke rumah sakit. Di rumah sakit dokter memeriksa dengan cermat, memberi obat dan membuat catatan medis formal tentang kondisi luka secara lengkap beserta penyebabnya.

Pulang dari rumah sakit, di rumah seorang teman karib menemaninya dan anak-anak. Suami dan pembantunya pergi entah kemana. Besok pagi keluarganya dikontak. Kini keluarga besarnya ikut serta, terlibat aktif untuk selesaikan masalahnya.

Karena dianggap sudah keterlaluan, bermodal sutat keterangan resmi dari dokter, ia menggugat cerai suaminya, dan keluarganya melaporkan suaminya ke polisi. Tidak butuh waktu panjang untuk kasus perceraian juga penyelesaian kasus pidana di polisi. Mereka bercerai dan suaminya mendekam dalam penjara.

Setiap manusia memiliki jalan hidup sendiri, masalah yang berbeda dan solusi yang tidak sama. Kita tidak pernah tahu akhir masalah dari tiap orang. Ada yang memulainya dengan baik, muncul masalah dan berakhir berantakan. Hancur tak karua-karuan. Sebaliknya, ada yang bermula dari petaka yang menegerikan, prosesnya juga penuh luka dan nyeri, namun berakhir dengan bahagia. Ada pula yang "happy endingnya" sangat memilukan. Bahagia, tetapi penuh air mata.


HIDUP MANUSIA MEMANG SELALAU  TAK TERDUGA, PENUH KEJUTAN.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

setiap komentar yang masuk akan terkirim secara langsung ke alamat email pribadi Bapak DR. Nusa Putra, S.Fil, M.Pd