Tidak ada yang instan dalam pendidikan. Sebab kegiatan pendidikan merupakan proses yang berlangsung dalam rentang waktu. Proses tersebut berupa rangkaian kegiatan yang sifatnya berkelanjutan. Sebagai konsekuensinya upaya-upaya untuk melakukan peningkatan mutu pendidikan harus dilakukan secara terjadwal, tersistem, terstruktur, dan terukur.
Ada kabar baik dari Kemristekdikti terkait peningkatan mutu pendidikan tinggi. Kemristekdikti yang baru saja melakukan gebrakan dengan melaksanakan investigasi langsung ke perguruan tinggi bermasalah yang jumlahnya ratusan, kini menindaklanjuti gebrakan tersebut dengan mengupayakan peningkatan mutu dalam program-program yang terencana sekaligus penyediaan dana yang cukup besar.
Salah satu dasar bagi Kemristekdikti untuk memetakan mutu pendidikan tinggi adalah menggunakan hasil akreditasi perguruan tinggi yang dikeluarkan oleh BAN PT. Berdasarkan data BAN PT tanggal 8 Januari 2016, peringkat akreditasi Program Studi adalah:
1. A sebanyak 1994 Program Studi: PTN 1296, PTS 496, Kedinasan 40, PTAN 148, PTAS 14
2. B sebanyak 8099 Program Studi: PTN 2589, PTS 4235, Kedinasan 252, PTAN 668, PTAS 355
3. C sebanyak 8633 Program Studi: PTN 846, PTS 6329, Kedinasan 95, PTAN 38, PTAS 1045
4. Tidak lolos dan tidak terakreditasi 648 Program Studi: 2012, 223 (PTN 4, PTS 219), 2013, 184 (PTN 4, PTS 180), 2014, 135 (PTN 9, PTS 126), 2015, 106 (PTN 13, PTS 93).
Ternyata Program Studi yang paling banyak mendapat peringkat A adalah PTN. Sementara itu Perguruan Tinggi Agama yang paling banyak mendapat A juga yang Negeri (PTAN). Begitu pula halnya Program Studi yang mendapatkan peringkat B. Sedangkan peringkat C dan tidak lolos serta tidak terakreditasi, yang paling banyak adalah PTS.
Data-data di atas menunjukkan bahwa meningkatkan mutu Program Studi merupakan pekerjaan raksasa yang tidak dapat dicapai dengan waktu singkat. Dalam kaitan ini dapat dimengerti bila kementrian yang mengurusi pendidikan tinggi dipisahkan dari kementrian yang mengurusi pendidikan dasar dan menengah. Pastilah dimaksudkan agar bisa lebih fokus dan intens membenahi dan meningkatkan mutu. Rasanya memang sudah kurang layak bila pengelolaan pendidikan tinggi hanya ditangani seorang dirjen.
Pendidikan tinggi bukan saja sangat kompleks, juga merupakan penentu mutu sumber daya manusia pada tingkat tinggi yang menentukan kebertahanan, kelangsungan, dan kemajuan bangsa ini. Meski pendidikan dasar dan menengah juga ikut menentukan.
Tekad Kemristekdikti untuk meningkatkan mutu Program Studi sebagai dasar untuk meningkatkan mutu perguruan tinggi agar mencapai kelas dunia patut diapresiasi, dan didukung. Dukungan berbagai pihak bukan saja penting, pun sangat menentukan. Sebab tidak mungkin Kemristekdikti bekerja sendirian untuk kerja raksasa ini.
Dalam konteks peningkatan mutu, tidak ada Program Studi yang boleh diabaikan berdasarkan peringkat yang kini dimilikinya. Artinya semua Program Studi harus ditingkatkan mutunya. Program Studi yang berada pada peringkat tidak lolos atau tidak terakreditasi ditingkatkan agar terakreditasi, yang berada pada Peringkat C minimal diusahakan naik ke peringkat B, yang sudah pada peringkat B didorong ke peringkat A, dan yang sudah A diikhtiarkan melampauainya agar bisa menjadi modal bagi perguruan tinggi masuk dalam peringkat kelas dunia.
Peningkatan mutu Program Studi yang sudah sampai peringkat A sangat dimungkinkan karena perguruan tinggi memang diharapkan mampu melampaui standar yang ditetapkan oleh BAN PT dan Standar Nasional Pendidikan Tinggi (SNPT). Bila Program Studi dan Perguruan Tinggi hendak mencapai peringkat dunia dari institusi yang diakui, haruslah melampaui standar BAN PT.
Ada persoalan besar yang harus dihadapi bila hendak meningkatkan mutu Program Studi. Jumlah Program Studi sangat banyak. Jika dilihat peringkat yang diberikan BAN PT di atas, maka yang terbanyak jumlahnya adalah peringkat C dan tidak lolos serta tidak terakreditasi yaitu sekitar 9281 Program Studi. Mengapa sekitar, sebab yang tidak lolos atau tidak terakreditasi pada 2012 sampai dengan 2013 mungkin saja sudah lolos atau terakreditasi. Karena BAN PT memberi kesempatan bagi Program Studi yang tidak lolos atau tidak terakreditasi boleh memasukkan borang lagi satu tahun setelah keluar surat keterangan tidak lolos atau tidak terakreditasi. Namun, bila ada Program Studi yang tadinya tidak lolos-atau tidak terakreditasi sudah terakreditasi, tetap saja jumlahnya sangat besar. Tentu saja jumlah ini belum memasukkan Program Studi baru yang belum diakreditasi.
Di samping jumlahnya sangat besar, Program Studi terutama yang mendapat peringkat C dan tidak lolos serta tidak terakreditasi tempatnya sangat tersebar. Tidak sedikit yang berada di kabupaten yang sangat jauh seperti Morotai.
Oleh karena itu sebelum menentukan Program Studi mana yang mendapatkan prioritas untuk dibantu agar mutunya meningkat, perlu mengambil langkah awal yaitu menggabungkan perguruan tinggi yang Program Studinya bermutu rendah yang berada dalam satu kawasan yang jaraknya tidak terlalu jauh. Masuk dalam kategori bermutu rendah adalah Program Studi dengan peringkat C, tidak lolos atau tidak terakreditasi. Dengan demikian potensi yang tersebar dalam bentuk perguruan tinggi kecil yang sangat berkekurangan dalam nyaris semua faktor pendukung, berubah menjadi perguruan tinggi yang lebih besar dengan faktor pendukung yang memadai.
Boleh jadi karena pertimbangan bisnis, ada masanya Program Studi tertentu seperti Informatika, Keperawatan, Kebidanan, Ekonomi, Manajemen, Teologi, dan Hukum tumbuh dengan kecepatan sangat tinggi. Dalam satu kawasan yang terbilang tidak terlalu luas terdapat sejumlah perguruan tinggi kecil yang biasa disebut perguruan tinggi ruko. Bahkan ada yang lebih parah, yaitu menggunakan gedung dan fasilitas SD, SMP, atau SMA untuk penyelenggaraan perguruan tinggi. Pertumbuhannya mirip warung pecel lele atau baso. Sangat cepat, dan banyak dalam wilayah yang sempit.
Bisa dipastikan perguruan tinggi seperti ini biasanya memiliki Program Studi yang sangat terbatas yaitu satu sampai tiga. Dengan kondisi jauh dari memadai, sehingga proses pembelajaran berjalan seadanya dengan jumlah mahasiwa yang sangat sedikit. Bisa dibayangkan betapa sulit mengharapkan Program Studi seperti ini bisa menghasilkan lulusan yang bermutu.
Boleh jadi, bila beberapa perguruan tinggi kecil seperti ini digabungkan akan menjadi lebih baik karena paling tidak dosen tetapnya akan lebih memenuhi kualifikasi seperti yang dipersyaratkan peraturan. Juga fasilitas penunjangnya.
Sudah pasti tidak mudah melakukan penggabungan ini. Selama ini yang terjadi justru sering muncul konflik di antara penyelenggara perguruan tinggi, atau konflik antara penyelenggara dengan pengelola. Artinya, yang sudah bersatu saja jadi pecah jika perguruan tinggi makin besar dan menjadi "mesin uang". Apakah mungkin menyatukan yang tercerai berai dan sedang berusaha keras membangun "bisnisnya"?
Inilah saatnya Pemerintah melalui Kemristekdiksi harus menunjukkan sikap tegas. Mendahulukan kepentingan mahasiswa yang kuliah, bukan hanya keuntungan penyelenggara dan pengelola. Sebab, nyaris semua Program Studi yang tidak lolos, tidak terakreditasi, dan terakreditasi C memiliki kelemahan pada sumber daya manusia, sarana dan prasarana.
Kekurangan pada dua standar itu pasti memberikan dampak buruk pada penyelenggaraan proses pembelajaran dan hasilnya. Akibatnya Program Studi menjadi tidak bermutu. Dipastikan akan sangat sulit membantu meningkatkan mutu perguruan tinggi dan Program Studi seperti ini.
Bila berhasil menggabungkan dua atau lebih perguruan tinggi dengan kualifikasi seperti ini, barulah upaya peningkatan mutu dapat dilakukan dengan lebih terstruktur dan terukur. Meski penggabungan merupakan pilihan yang sulit. Namun merupakan cara yang paling rasional dan lebih besar kemungkinannya untuk berhasil.
Selanjutnya Pekerjaan peningkatan mutu bisa diarahkan pada Program Studi. Sudah seharusnya strategi, biaya, dan waktu yang dibutuhkan untuk peningkatan mutu Program Studi tidak boleh bersifat sama dan seragam. Oleh karena masalah yang dihadapi oleh Program Studi tidak sama. Tentu saja dimungkinkan membuat kategorisasi sebelum upaya peningkatan mutu dilakukan.
Bila menggunakan standar BAN PT yang masih digunakan sampai saat ini sebelum PERMENRISTEKDIKTI-NOMOR-44-TAHUN-2015-TENTANG-SNPT dijabarkan menjadi istrumen baru, ada tujuh standar yang dijadikan pedoman. Ketujuh standar itu adalah:
Standar 1: Visi, Misi, Tujuan dan Sasaran, serta Strategi Pencapaian
Standar 2: Tata Pamong, Kepemimpinan, Sistem Pengelolaan, dan Penjaminan mutu
Standar 3: Mahasiswa dan Lulusan
Standar 4: Sumber Daya Manusia
Standar 5: Kurikulum, Pembelajaran, dan Suasana Akademik
Standar 6: Pembiayaan, Sarana dan Prasarana, serta Sistem Informasi
Standar 7: Penelitian, Pelayanan/Pengabdian Kepada Masyarakat, dan Kerjasama.
Program Studi bisa dikategorisasi berdasarkan pada standar berapa kelemahan yang paling menonjol yang harus segera diperbaiki untuk peningkatan mutu? Harus disadari Program Studi yang telah mendapat peringkat A pun ada kelemahannya. Tetapi kelebihannya lebih banyak sehingga mendapat peringkat A.
Dengan demikian Program Studi yang mendapat peringkat C, tidak lolos dan tidak terakreditasi pasti kelemahannya lebih banyak dibandingkan kelebihannya. Penting untuk mengetahui dengan rinci dan akurat pada standar berapa kekurangan yang banyak itu terdapat. Oleh karena satu standar berisi sejumlah elemen atau butir penilaian, juga harus dipastikan pada elemen mana saja yang paling lemah dalam satu standar.
Berdasarkan kajian BAN PT, Program Studi yang mendapat peringkat C, tidak lolos dan tidak terakreditasi paling banyak memiliki kelemahan pada Standar 3 Mahasiswa dan Lulusan, serta Standar 4 Sumber Daya. Kemudian secara berbeda antara satu Program Studi dengan Program Studi lainnya adalah Standar 5, 6, dan 7.
Sebagai contoh Standar 3 terdiri dari 17 elemen atau butir penilaian. Dari ketujuh belas elemen tersebut, harus diketahui dengan akurat dan rinci apakah lemah pada semua elemen atau pada elemen berapa saja?
Dengan cermat kelebihan dan kelemahan pada setiap standar harus ditemukan. Kemudian dirumuskan apa bentuk kelemahannya, dan solusi apa yang bisa dilakukan untuk mengatasinya. Misalnya, yang lemah itu adalah tidak ada atau kurangnya partisipasi alumni. Dianalisis mengapa bisa seperti itu? Apakah ada kaitannya dengan sikap dosen dan Program Studi saat penyelenggaraan kuliah, sehingga mahasiswa ketika lulus meninggalkan Program Studi seperti saat buang air besar di pagi hari. Meninggalkan kotoran tanpa keinginan untuk melihatnya lagi. Boleh jadi masalahnya sekadar kealpaan Program Studi membangun hubungan baik dengan para alumni. Kelemahan pada semua elemen penilaian dalam setiap standar yang dialami Program Studi harus diananlisis sampai ditemukan kemengapaannya. Dengan demikian solusi yang dirumuskan akan akurat dan memiliki kemungkinan besar untuk berhasil.
Itu artinya Program Studi yang memiliki kelemahan pada standar yang sama, bahkan pada elemen penilaian yang sama, belum tentu solusinya persis sama. Maknanya, peningkatan mutu Program Studi tampaknya tidak dapat dilakukan secara seragam dengan startegi, waktu, biaya, dan pelibatan ahli yang sama. Bila masalah utama Program Studi adalah kurangnya jumlah dan kualifikasi akademis dosen, pastilah membutuhkan waktu lebih lama untuk menyelesaikannya dibandingkan jika masalahnya kurangnya buku, tidak adanya studi pelacakan, dan minimnya kerja sama.
Setelah masalah-masalah spesifik Program Studi ditemurumuskan, sebaiknya pertolongan pertama untuk peningkatan mutu (P3M) Program Studi adalah membantu menyusun rencana strategis untuk peningkatan mutu.
Selama ini banyak Program Studi membuat rencana strategis untuk keperluan akreditasi. Sebab rencana strategis diniliai dan mendapat bobot yang tinggi. Jadi, rencana strategis dibuat bukan sebagai langkah-langkah strategis yang dilaksanakan untuk pencapaian tujuan.
Berdasarkan rencana strategis yang telah dirumuskan itulah bisa ditetapkan bentuk bantuan yang diberikan untuk peningkatan mutu Program Studi terkait dengan strategi, biaya, waktu, dan keterlibatan ahli sebagai upaya pendampingan. Tingkat keberhasilan akan tinggi bila semua dosen Program Studi benar-benar dilibatkan dalam perumusan rencana strategis, dan adanya pembinaan serta pengawasan yang terstruktur dan terukur.
Keterlibatan aktif semua dosen menjadi kunci keberhasilan karena sejak awal mereka dilibatkan dan diberi peran yang jelas. Dengan demikian rasa tanggung jawab untuk melaksanakan rencana strategis akan lebih besar. Jangan sampai terjadi, rencana strategis dibuat hanya oleh segelintir orang di Program Studi. Cara seperti ini tidak mendorong partisipasi aktif dosen.
Jangan lupa untuk juga melibatkan perwakilan mahasiswa dan para pengguna lulusan. Keterliban mereka pasti akan membuat rencana strategis Program Studi menjadi lebih baik dan aspiratif.
Oleh karena mutu Progam Studi sangat ditentukan oleh hasil akreditasi yang sejauh ini masih dilakukan oleh BAN PT, maka harus sangat disadari bahwa standar yang menjadi pedoman tidak pernah berdiri sendiri. Ada keterkaitan antarstandar. Baik instrumen yang kini digunakan, maupun instrumen yang dikembangkan berdasarkan Permenristekdikti No. 44 Tahun 2015 tentang SNPT memiliki kesamaan substansial yaitu pentingnya memerhatikan kaitan antarstandar.
Inilah contoh nyatanya. Bila pada eleman atau butir penilaian dalam Standar 3 di bawah ini nilainya rendah, pasti ada kaitannya dengan standar yang lain.
3.1.1.d Rata-rata Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) selama lima tahun terakhir.
3.1.4.a Persentase kelulusan tepat waktu (KTW)
Misalnya untuk elemen 3.1.1.d rata-rata IPK selama lima tahun jauh di bawah tiga, serta untuk butir 3.1.4.a kelulusan tepat waktu hanya 20 persen, maka rendahnya nilai pada standar ini pasti berkaitan dengan standar lain. Biasanya bukan dengan satu standar lain. Mungkin saja dengan dua atau tiga standar lain. Rendahnya pencapaian hasil belajar mahasiswa dan lamanya waktu untuk penyelesaian studi, paling tidak menunjukkan ada masalah pada Standar 4 dan 5.
Terkait dengan Standar 4 Sumber Daya Manusia, pada elemen-elemen penilaian berikut inilah diduga ada kelemahan sehingga proses dan hasil pembelajaran menjadi rendah. Elemen-elemen penilaian tersebut adalah,
4.3.1.a Dosen tetap berpendidikan (terakhir) S2 dan S3 yang bidang keahliannya sesuai dengan kompetensi PS.
4.3.1.b Dosen tetap yang berpendidikan S3 yang bidang keahliannya sesuai dengan kompetensi PS.
4.3.1.c Dosen tetap yang memiliki jabatan lektor kepala dan guru besar yang bidang keahliannya sesuai dengan kompetensi PS.
4.3.1.d Dosen yang memiliki Sertifikat Pendidik Profesional.
4.3.2 Rasio mahasiswa terhadap dosen tetap yang bidang keahliannya sesuai dengan bidang PS.
4.3.3 Rata-rata beban dosen per semester, atau rata-rata FTE (Fulltime Teaching Equivalent).
4.3.4 & 4.3.5. Kesesuaian keahlian (pendidikan terakhir) dosen dengan mata kuliah yang diajarkannya.
4.3.4 & 4.3.5. Tingkat kehadiran dosen tetap dalam mengajar.
4.4.1 Rasio jumlah dosen tidak tetap, terhadap jumlah seluruh dosen.
4.4.2.a Kesesuaian keahlian dosen tidak tetap dengan mata kuliah yang diampu.
4.4.2.b Pelaksanaan tugas atau tingkat kehadiran dosen tidak tetap dalam mengajar.
Program Studi akan bermutu bila semua elemen penilaian di atas mendapat nilai baik dan sangat baik. Namun faktanya, banyak Program Studi belum bisa memenuhi standar ini. Itulah sebabnya proses dan hasil pembelajaran masih rendah seperti yang dijelaskan di atas terkait dengan Standar 3.
Ada Program Studi yang telah memenuhi persyaratan terkait dengan dosen baik jumlah maupun kualifikasinya. Namun, jumlah mahasiswa terlalu banyak, sehingga rasio mahaiswa: dosen tidak baik, dan beban tugas dosen menjadi terlalu banyak. Sangat sulit bagi dosen untuk fokus memerhatikan peningkatan mutu proses dan hasil belajar bila terlalu banyak beban kerjanya.
Terdapat pula Program Studi yang kualifikasi dosen, rasio mahasiswa: dosen, dan beban tugas dosennya baik. Namun tingkat kehadiran dosen tidak baik atau dosen mengajar tidak sesuai dengan keahliannya.
Sejumlah Program Studi terlalu banyak dosen tidak tetapnya. Ada pula yang dosen tidak tetapnya mengajar tidak sesuai keahliannya. Tidak sedikit Program Studi yang dosen tetapnya terlalu banyak mengajar pada Program Studi lain dalam satu fakultas atau mengajar pada program pasca sarjana. Akibatnya kurang fokus mengajar di Program Studi.
Masih banyak masalah yang terkait dengan sumber daya manusia khususnya dosen yang berakibat pada rendahnya mutu lulusan. Elemen penilaian terkait dengan Standar 3 Sumber Daya Manusia yang ditampilkan di atas, hanyalah sebagian saja.
Rendahnya IPK mahasiswa dan sedikitnya lulusan tepat waktu yang merupakan elemen penilaian Standar 3 tidak hanya berkaitan dengan Standar 4, juga dengan Standar 5 Kurikulum, Pembelajaran, dan Suasana Akademik. Beberapa elemen penialain dalam Standar 5 yang pasti memengaruhi pencapaian mahasiswa dalam Standar 3 adalah,
5.1.1.a Struktur kurikulum (harus memuat standar kompetensi lulusan yang terstruktur dalam kompetensi utama, pendukung dan lainnya ).
5.1.2.a Kesesuaian mata kuliah dengan standar kompetensi.
5.1.2.b Persentase mata kuliah yang dalam penentuan nilai akhirnya memberikan bobot pada tugas-tugas (PR atau makalah)
5.1.2.c Matakuliah dilengkapi dengan deskripsi matakuliah, silabus dan SAP.
5.1.3 Fleksibilitas mata kuliah pilihan.
5.1.4 Substansi praktikum dan pelaksanaan praktikum.
5.3.1.a Pelaksanaan pembelajaran memiliki mekanisme untuk memonitor, mengkaji, dan memperbaiki secara periodik kegiatan perkuliahan (kehadiran dosen dan mahasiswa), penyusunan materi perkuliahan, serta penilaian hasil belajar.
5.3.2 Mutu soal ujian.
5.5.2. Rata-rata waktu penyelesaian penulisan tugas akhir.
5,6 Upaya perbaikan sistem pembelajaran yang telah dilakukan selama tiga tahun terakhir.
5.7.1 Kebijakan tentang suasana akademik (otonomi keilmuan, kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik).
5.7.2 Ketersediaan dan jenis prasarana, sarana dan dana yang memungkinkan terciptanya interaksi akademik antara sivitas akademika.
5.7.3 Program dan kegiatan akademik untuk menciptakan suasana akademik (seminar, simposium, lokakarya, bedah buku, penelitian bersama dll).
5.7.4 Interaksi akademik antara dosen-mahasiswa.
5.7.5 Pengembangan perilaku kecendekiawanan.
Pemenuhan dengan baik elemen-elemen penilaian dalam standar ini sangat menentukan pencapaian prestasi mahasiswa. Jangan dikira semua Program Studi memiliki kurikulum yang telah dijabarkan menjadi rencana pembelajaran atau satuan acara perkuliahan (SAP). Sangat banyak Program Studi yang membuat satuan acara perkuliahan yang sangat sederhana, tidak memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan dalam SNPT.
Terdapat juga Program Studi yang memiliki semua dokumen akademik yang baik. Namun dalam pelaksanaan kuliah tidak dijalankan dengan konsisten. Praktik pelaksanaan kuliah menggunakan metode yang sama untuk semua mata kuliah yang sangat berbeda karakteristiknya.
Pelaksaan kuliah dan penugasan sama sekali tidak terkontrol dan tidak dirancang dengan baik. Juga tidak ada mekanisme untuk memantau dan mendapatkan masukan dari mahasiswa apakah kuliah berjalan dengan baik atau tidak.
Terkait dengan tugas akhir, proses bimbingan tidak terjadwal dengan baik. Sangat tergantung selera dosen. Begitupun halnya dengan pengembalian tugas-tugas yang telah dikerjakan mahasiswa.
Tidak ada kesempatan bagi mahasiswa untuk melakukan diskusi dengan sesama mahasiswa dan dosen di luar jadwal kuliah. Penyebabnya adalah tidak ada ruang baik tertutup atau terbuka untuk melakukan aktivitas tersebut, atau dosen tidak memiliki waktu untuk terlibat.
Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa proses akademik perkuliahan dan ketersediaan administrasi akademik dan sarana pendukung perkuliahan tidak memadai. Pastilah sangat sulit mengharapkan hasil belajar yang bermutu dari proses yang kurang bermutu.
Dapat dipastikan kondisi buruk seperti yang digambarkan di atas memiliki kaitan dengan Standar 6 terkait dengan elemen atau butir penilaian berikut ini,
6.2.1 Besarnya dana (termasuk hibah) yang dikelola dalam tiga tahun terakhir.
6.3.2 Prasarana (kantor, ruang kelas, ruang laboratorium, studio, ruang perpustakaan, kebun percobaan, dsb. kecuali ruang dosen) yang dipergunakan PS dalam proses pembelajaran.
6.3.3 Prasarana lain yang menunjang (misalnya tempat olah raga, ruang bersama, ruang himpunan mahasiswa, poliklinik).
6.4.3 Ketersediaan, akses dan pendayagunaan sarana utama di lab (tempat praktikum, bengkel, studio, ruang simulasi, rumah sakit, puskesmas/balai kesehatan, green house, lahan untuk pertanian, dan sejenisnya).
Program Studi tentulah tidak dapat berbuat banyak bila dana yang dimiliki dan dikelola sangat tidak memadai. Sangat sulit menyelenggarakan proses pembelajaran yang bermutu bila dana serta sarana dan prasarana serba berkekurangan.
Keadaan semakin buruk bila peralatan penunjang kuliah, buku, laboratorium, dan akses untuk mendapatkan bahan-bahan kuliah sangat terbatas. Suka atau tidak harus diakui dana merupakan kekuatan pendorong bagi kemajuan Program Studi. Meski harus ditegaskan bahwa dana yang banyak adalah syarat penting tetapi bukan segala-galanya.
Sangat penting bagi Program Studi untuk memiliki tatakelola yang baik. Meskipun dana memadai, namun bila tatakelola sejak perencanaan tidak dilakukan dengan baik, pastilah hasilnya juga tidak akan baik.
Dalam tatakelola itu termasuk memastikan bahwa penjaminan mutu dilaksanakan dengan baik. Karena keberadaan penjaminan mutu merupakan bagian dari membangun dan mentradisikan budaya mutu. Hanya dengan membangun dan mentradisikan budaya mutu Program Studi dapat bertahan, berlanjut dan berkembang. Maknanya, masalah yang bermula dari rendahnya IPK mahasiswa dan jumlah lulusan tepat waktu yang merupakan bagian dari Standar 3, terbukti memiliki kaitan langsung dengan lebih dari satu standar.
Persoalan tatakelola yang sangat penting, termasuk menentukan prestasi mahasiswa merupakan bagian dari Standar 2. Beberapa elemen atau butir penilaian Standar 2 adalah,
2,3 Sistem pengelolaan fungsional dan operasional program studi mencakup: planning, organizing, staffing, leading, controlling yang efektif dilaksanakan.
2,4 Pelaksanaan penjaminan mutu di program studi.
2,5 Penjaringan umpan balik dan tindak lanjutnya
2,6 Upaya untuk menjamin keberlanjutan (sustainability) program studi.
Analisis sederhana di atas menegaskan bahwa persoalan yang muncul pada Standar 3, terbukti berkaitan sangat erat dengan lebih dari satu Standar lain, bahkan dengan semua Standar. Maknanya persoalan terkait rendahnya mutu Program Studi tidak dapat disederhanakan dan didasarkan hanya pada satu atau dua faktor penentu.
Dalam kaitan ini faktor-faktor penentu itu dirumuskan menjadi standar yang dijabarkan menjadi elemen-elemen atau butir-butir penilaian. Dengan demikian pemahaman tentang kaitan antarstandar merupakan kunci untuk merumuskan dan mengupayakan peningkatan mutu Program Studi.
Oleh karena biaya yang disediakan Pemerintah untuk peningkatan mutu Program Studi pasti belum memadai untuk membantu semua Program Studi yang dikategorikan bermasalah, maka perlu menentukan skala prioritas.
Skala prioritas itu antara lain bisa ditetapkan atau dikategorisasi berdasarkan kelemahan atau kekurangan Program Studi dalam memenuhi Standar BAN PT yang digunakan untuk menilai Program Studi. Berdasarkan penetapan atau kategorisasi itu akan ditemukan Program Studi yang sangat lemah atau berkekurangan pada Standar 4 Sumber Daya Manusia. Bila kekurangan berkaitan dengan kualifikasi dosen terkait dengan tingkat pendidikan, dibutuhkan waktu dua atau tiga tahun untuk memberi kesempatan bagi dosen meningkatkan pendidikannya. Tentu tidak butuh waktu sepanjang itu jika yang kurang adalah kemampuan meneliti atau membuat SAP.
Begitupun halnya terkait dengan Standar 6. Harus dipastikan pada elemen atau butir penilaian mana yang paling lemah atau kurang. Kekurangan dalam jumlah buku, pastilah beda solusinya dengan kekurangan ruang praktik.
Hasil-hasil akreditasi menunjukkan bahwa Program Studi yang terakreditasi C, tidak lolos atau tidak terakreditasi sangat lemah pada standar yang elemen atau butir penilaiannya bersifat kuantitatif berupa data yang terdapat pada Standar 3, 4, 5 , 6, dan 7, serta mendapatkan nilai baik dan sangat baik pada elemen atau butir penilaiannya lebih banyak yang kualitatif yaitu Standar 1 dan 2.
Fakta ini menegaskan bahwa Program Studi tersebut memang belum memadai pada kualifikasi dosen, pelaksanaan proses pembelajaran, ketersediaan dana dan sarana serta prasarana, penjaminan mutu, kemampuan dosen terkait dengan penelitian, pengabdian pada masyarakat, dan menghasilkan karya-karya ilmiah. Wajar bila mahasiswa yang mendaftar sedikit dan IPK serta kelulusan tepat waktu sangat tidak memadai. Keseluruhan fakta ini menunjukkan bahwa Program Studi tersebut memang harus ditingkatkan mutunya.
Pastilah bukan merupakan pekerjaan yang mudah untuk meningkatkan mutu Program Studi yang termasuk kategori Program Studi bernasalah. Tidak mudah karena jumlahnya sangat banyak dan lokasinya amat tersebar.
Dibutuhkan kerja keras dengan biaya tinggi, keseriusan, dan rentang waktu yang tidak sebentar. Oleh karena itu,
PENINGKATAN MUTU PROGRAM STUDI TIDAK DAPAT DILAKUKAN SECARA INSTAN.
Senin, 25 Januari 2016
PENINGKATAN MUTU PROGRAM STUDI: PENTINGNYA KAITAN ANTARSTANDAR
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
setiap komentar yang masuk akan terkirim secara langsung ke alamat email pribadi Bapak DR. Nusa Putra, S.Fil, M.Pd