Banyak orang bangga atas pencapaian Rio. Betapa tidak, Rio berhasil menembus F One, ajang balap mobil paling bergengsi di dunia. Ini prestasi luar biasa yang pantas disyukuri dan dibanggakan. Dukungan mengalir deras agar Rio bisa tampil di F One dengan biaya 15.5 juta Euro. Ongkos yang sangat fantastis!
Untuk 2016, Rio satu-satunya pembalab asal Asia. Sangat luar biasa. Boleh jadi bergabungnya Rio ke F One akan semakin mempopulerkan nama Indonesia di kancah internasional. Mungkin saja bisa menaikkan angka kunjungan wisata. Semuanya masih bersifat kemungkinan, karena kita belum tahu bagaimana hasil perjuangan Rio di F One.
Eforia kebanggan terhadap prestasi Rio memang sangat luar biasa. Lewat media sosial banyak orang yeng mendukung, mendoakan dan bangga. Rio dirasakan sebagai pahlawan yang akan mengharumkan nama Indonesia. Kita semua tentu berharap Rio berhasil dan mewujudkan kebanggaan bagi Indonesia.
Namun tidak ada salahnya mengemukakan pertanyaan di tengah eforia yang luar biasa. Apakah kebanggaan yang kini telah muncul dan harapan yang dimunculkannyampada kebanggan yang lebih besar, adalah kebanggaan yang pantas?
Sampai kini, di bawah komado Jokowi, ekonomi Indonesia masih sangat bermasalah. Pengangguran meningkat, harga barang relatif tidak terkendali, daya beli masyarakat menurun, angka kemiskinan terus membumbung naik. Apakah pantas mengeluarkan dana sangat besar untuk kebanggaan di F One?
Saat ada seorang ayah menawarkan ginjalnya pada Presiden Indonesia untuk biaya operasi anaknya yang menderita gangguan hati. Ketika tidak sedikit anak Indonesia menyabung nyawa melewati jembatan gantung yang mudah goyah dan putus di atas derasnya sungai untuk menuju ke sekolah. Tidak sedikit bayi yang mengalami gizi buruk, dan segudang masalah sosial ekonomi lain yang membelit rakyat negeri tercinta ini, bagaimanakah kita hendak menempatkan kompetisi F One yang sangat mahal itu?
Apakah kata one dalam Indonesia hanya dan harus diujudkan melalui F One yang sangat mahal itu? Apakah tak ada pilihan lain yang lebih sesuai nurani dan akal sehat, serta realitas masyarakat dan ekonomi Indonesia?
Tragisnya Menpora yang tampaknya lebih pantas dipanjangkan menjadi Menteri Pesta Pora, sampai meminta maaf saat belum ada kepastian Rio bisa ikutan F One. Mengapa dia tidak minta maaf karena sampai hari ini tidak mampu mengatasi kisruh sepak bola nasional yang merupakan oleh raga yang paling diminati rakyat Indonesia? Bagaimana nasib para atlit yang nyata-nyata telah mengharumkan nama Indonesia di pentas dunia setelah mereka renta? Apakah perhatian yang diberikan Pemerintah memadai dan layak? Padahal mereka sudah terbukti mengharumkan nama Indonesia.
Dulu kita pernah menjadi jawara bulu tangkis tingkat dunia dalam masa yang sangat panjang. Mengapa tradisi itu sudah sangat sulit kita pertahankan? Padahal ongkosnya pasti tidak sebesar F One. F One memang lebih populer ketimbang bulutangkis. Tetapi apakah media internasional pernah memberitakan selain yang juara dan kecelakaan? Tak ada tempat di media internasional bagi yang tidak mampu berdiri di panggung kehormatan bagi para juara.
Pertamina menggelontorkan 5 juta Euro bagi Rio. Mengapa tidak semudah itu menggelontorkan uang untuk rakyat miskin di Indramayu, lokasi Pertamina mengeksplorasi minyak? Sebagian besar kita pastilah tahu apa akibat kemiskinan akut di Indramayu, terutama bagi generasi mudanya. Ini sudah menjadi rahasia umum.
Tentu saja kita bisa berdiskusi dan berdebat, bahkan sampai urat leher kaku tentang plus minus keikutsertaan Rio di F One. Akal sehat bisa menyediakan banyak argumentasi untuk mendukung atau menolak. Namun, persoalan seperti ini tidak boleh hanya dibahas menggunakan akal sehat, tetapi mengesampingkan hati nurani.
Apa makna kebanggaan atas keikutsertaan Rio di F One, di tengah kemiskinan rakyat yang semakin menganga?
Kita bisa menjenguk sejenak ke Brazil, Argentina, dan sejumlah negara yang relatif miskin di Afrika. Ada 19 pembalap asal Brazil, yang paling terkenal adalah Nelson Piquet dan Ayrton Senna. Terdapat 5 orang pembalap asal Argentina, yang paling top adalah Juan Manuel Fangio.
Kita harus mencari tahu, bagaimana dulu para pembalap itu ikut serta. Apakah negara ikut serta membantu? Apakah para pembalap itu sendiri yang mengusahakan? Kita tahu Brazil dan Argentina adalah negara dengan tingkat kesenjangan kaya miskin sangat parah.
Mari kita renungkan, mana yang lebih membuat Brazil dan Argentina dikenal dunia. Sepak bola atau balap F One. Rasanya kebanyakan kita lebih mengenal Pele, Zico, Dunga, Romario, Ronaldo, Ronaldinho, Kaka, dan Neymar daripada para pembalapnya F Onenya. Begitu juga halnya dengan Argentina. Nama Mario Kempes, Maradona, Batistuta, dan Messi lebih top daripada pembalap F Onenya.
Negara-negara Afrika yang relatif lebih miskin dari kita menjadi sangat terkenal melalui sepak bola. Kini Afrika menjadi salah satu sumber pemain bagus dan mahal untuk kompetisi bergengsi di Eropa. Maknanya menjadi terkenal, harum dan membanggakan tidak harus sangat mahal.
Rio bukanlah satu-satunya pembalap F One asal Asia. Sebelumnya sudah ada Pangeran Birabongse Banudej asal Thailand, Alex Yoong dari Malaysia, Narain Karthikeyan dan Karun Chandok asal India. Pembalap paling banyak adalah dari Jepang yang merupakan negara makmur dan berhasil membangun pabrik otomotif tingkat dunia. Pembalap asal Jepang antara lain Kamui Kobayashi, Takuma Sato, Aguri Suzuki, Satoru Nakajima, Ukyo Katyama, Kazuyoshi Hoshino, Taki Inoue, Yuji Ide, Masami Kuwashima Shinji Nakano, dan Hideki Noda. Adakah di antara mereka yang berprestasi gemilang?
Sangat wajar bila Jepang memiliki banyak pembalap F One. Sebab mereka negara makmur dengan pabrik otomotif yang menguasai pasar dunia. Keikutsertaan para pembalap itu juga dimaksudkan untuk mengiklankan mobil buatan negaranya. Kita tahu biaya iklan dalam ekonomi kapitalis memang sangat mahal.
Bagaimana dengan Indonensia yang terus menerus gagal membangun industri otomotif nasional? Bagaimana kabar mobil ESEMKA yang dulu gencar dipromosikan Jokowi sebagai Walikota Solo?
Bagaimana pula menjelaskan dukungan Pemerintah Jokowi-JK terhadap keikutsertaan dalam F One jika ditilik dari Nawa Cita yang dijanjikan? Butir mana yang bisa digunakan sebagai alasan?
Sebagian kita memang telah dibuat bingung oleh Pemerintah yang katanya pro rakyat ini. Janjinya Negara Poros Maritim, tetapi heboh membangun kereta api cepat yang pasti tidak ada hubungannya dengan maritim. Begitupun halnya dengan F One. Kita tak tahu kaitannya dengan Nawa Cita.
Mestinya yang membuat kita bangga sebagai rakyat Indonesia adalah meningkatnya kemakmuran rakyat, negara bangsa ini bebas dari korupsi, terorisme, narkoba, dan pelanggaran HAM. Tidak lagi mengirimkan pekerja tak terdidik dan murah ke luar negeri. Para pekerjanya sebagian besar tamatan SMA/SMK dan pendidikan tinggi. Tidak seperti sekarang ini 68% pekerja tamatan SD dan SMP.
Apakah mungkin Pemerintah sekarang ini mau meniru Orde Lama dan Orde Baru? Ikut-ikutan membuat program mercu suar? Sungguh aneh betul.
SIRKUIT F ONE DI SEBERANG LAUTAN TAMPAK, KEMISKINAN AKUT DI PELUPUK MATA TAK TAMPAK.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
setiap komentar yang masuk akan terkirim secara langsung ke alamat email pribadi Bapak DR. Nusa Putra, S.Fil, M.Pd