Bila teman-teman dekat Saiful Jamil alias Ipul saja sangat kaget, apalagi kita. Sungguh, kasihan betul Saiful Jamil. Hidupnya bagai sinetron yang penuh tragedi, terselip sedikit misteri, penuh warna, dan berakhir tragis.
Pernikahan pertamanya dengan sesama bintang dangdut, berantakan. Pernikahan keduanya berakhir tragis di jalan tol. Istrinya meninggal dalam kecelakaan tunggal. Tragis karena Syaiful sendiri yang menyetir mobil.
Cukup lama ia hidup sendiri. Beragam gosip timbul tenggelam tentang hubungannya dengan sejumlah wanita. Namun, ia tetap sendiri.
Tiba-tiba muncul kabar ia mencabuli seorang remaja pria di rumahnya. Polisi menjadikannya tersangka. Pastilah karirnya tenggelam dan hidupnya centang perenang. Kasihan betul. Berpuluh tahun, susah payah membangun karir, ujungnya ancur.
Ada yang menarik. Saat kasus Ipul muncul, masyarakat sedang meributkan LGBT. Banyak yang menolak dan mengecam, sedangkan yang membela dan kasihan juga tidak sedikit.
Mungkin, kasus Ipul bisa dijadikan jalan masuk untuk memahami LGBT secara empatis. Bukan dengan caci maki, dan penghujatan.
Di semesta raya ini tak ada kejadian yang dipicu hanya oleh satu faktor. Baik itu kejadian alam seperti air pasang dan erupsi gunung berapi, maupun kejadian sosial seperti munculnya LGBT yang jadi trendi sekarang ini.
Semua kejadian biasanya dipicu oleh jaringan faktor. Mungkin saja ada faktor yang dominan. Tetapi tidak pernah ada faktor tunggal. Dalam cara fikir seperti itulah seyogyanya LGBT, radikalisme, meningkatnya pengguna narkoba, dan sejumlah masalah sosial lain mesti dipahami.
Ipul berasal dari keluarga baik-baik. Pendidikannya juga tergolong baik. Sejak kecil ia hidup dalam suasana keagamaan yang baik. Dalam sejumlah wawancara ia jujur mengatakan tak pernah terpikir akan jadi selebritis yang top dan banyak penggemar.
Karena itu ada bagusnya bila bisa ditelusuri lebih dalam dan rinci bagaimana Ipul melalui masa kecil dan remajanya. Ini penting dilakukan untuk memahami secara mendalam mengapa ia bisa terpeleset dalam kasus pencabulan sesama jenis. Mungkin saja ia LaGiBeTe. Terlalu letih dengan pekerjaan dan harus terus menerus menampilkan sisi publik dirinya. Sementara sisi privatnya berada dalam keletihan dan kesepian yang akut.
Dulu, hanya segelintir orang seperti Sigmund Freud yang meyakini bahwa pengalaman-pengalaman buruk masa kecil bisa sangat memengaruhi secara negatif kehidupan selanjutnya saat orang itu menjalani hidup sebagai orang dewasa. Keyakinan Freud ini ditentang banyak orang, bahkan oleh murid kesayangannya. Apalagi secara khusus Freud membahas pengalaman buruk dalam bentuk kekerasan seksual.
Namun kini dengan semakin berkembangnya teknologi pemindai otak yang secara bermakna memengaruhi kemajuan neurosains, semakin terbukti bahwa pengalaman kekerasan selama masa kanak, mulai dari kekerasan verbal sampai dengan seksual meninggalkan "luka bernanah" dalam otak. Sangat sukar disembuhkan dan membekas serta secara negatif memengaruhi anak.
Kita sama sekali tidak tahu apa yang dialami Ipul kecil, dan banyak anak-anak remaja kita yang kini terperangkap dalam LGBT. Sementara kita asyik memaki dan menghujat mereka karena perilakunya diyakini sebagai penyimpangan. Ternyata mereka adalah korban kekerasan yang keji dan mengerikan pada masa kanak-kanaknya. Dalam kaitan inilah bersikap empatis pada mereka, rasanya lebih membangun kemungkinan untuk menyadarkan mereka kembali.
Dalam kaitannya dengan kekerasan terhadap anak, kita harus berani melihat lebih dalam pada pola asuh dalam keluarga dan masyarakat. Secara teknis pola asuh masyarakat ini dikenal dengan istilah reproduksi kultural.
Apa yang sebenarnya dan sungguh-sungguh terjadi dalam keluarga? Mengapa remaja kita kini dalam jumlah yang terus meningkat jadi pecandu narkoba, pengikut aliran radikal yang tega membunuh orang atas nama agama, nekad mengikuti ajaran tidak jelas macam Gafatar, menjadi jablay atau cabe-cabean saat masih SMP, pecandu balapan liar, dan ramai-ramai memproklamasikan diri jadi LGBT? LGBT jangan pernah dilihat terpisah dari semua gejala yang disebutkan di atas.
Sungguh sekarang ini merupakan masa yang sulit bukan saja bagi orang tua, juga bagi negara bangsa ini. Kita ingin anak-anak tidak terpengaruh narkoba dan penyimpangan seksual. Kita ikutkan mereka kegiatan keagamaan, malah jadi pengikut ajaran radikal dan jadi teroris.
Lihatlah betapa terkejut orang tua dan keluarga saat tahu anaknya ditangkap polisi, bahkan ditembak mati karena jadi teroris. Selalu saja ada cerita bahwa yang jadi teroris itu adalah anak baik-baik, rajin beribadah dan pendidikannya di pesantren. Bukankah Ipul juga rajin beribadah?
Bisa saja pola asuh dalam keluarga baik dan benar. Tetapi bagaimana lingkungan sosial terdekatnya, terutama lingkungan pergaulannya? Ipul sudah jadi artis sejak usia remaja. Ia memasuki sebuah dunia yang ditandai oleh kemewahan, publisitas, kebebasan, popularitas, persaingan ketat, banyak ranjau, jadwal yang padat, dan sejumlah ciri lain yang membedakannya dengan lingkungan sosial biasa.
Ipul masuk dalam kategori yang mampu bertahan di tengah gelombang yang kuat dan penuh goncangan. Perhatikan dengan seksama, siapa saja yang mampu bertahan dari angkatannya? Tidak banyak. Sekarang dia termasuk kategori sang senior.
Dapat dipastikan lingkungan sosial yang dimasuki Ipul memengaruhi perkembangnya sebagai manusia menuju kekedewasaan. Pengaruh itu paling tampak saat ia menikahi Dewi Persik. Ia menikah dalam usia belia. Nasib pernikahannya seperti kebanyakan artis. Singkat, cepat, mewah, heboh. Segera saja terjadi perceraian.
Anak-anak remaja kita memang tidak hidup dalam lingkungan sosial seperti Ipul. Tetapi apakah reproduksi kultural kita, yakni lingkungan sosial kita secara keseluruhan bertambah baik atau cenderung bertambah buruk?
Sejak awal reformasi, kebebasan menjadi sangat mengemuka, baik dalam hidup nyata dan lebih-lebih lagi pada media massa. Siapa saja bisa berbuat apa saja. Kita tak pernah bayangkan orang bisa seenaknya membakar kantor polisi, rumah ibadah, kantor gubernur, mengusir orang lain dari kampung halamnnya, membunuh orang secara sadis di tempat umum, dan menjual diri di tempat-tempat terbuka seperti mal, pusat hiburan dan pinggiran jalan dalam jumlah yang semakin meningkat.
Media massa dengan mudah mengumbar apa saja. Kehidupan pribadi orang bisa diungkap bukan saja menjadi sangat terbuka, bahkan seperti telanjang. Kesannya apa saja boleh. Kebebasan dan keterbukaan menjadi menu yang tersedia di mana-mana, mirip makanan cepat saji yang berkembang di pinggiran jalan, mengalahkan warteg.
Orang-orang yang mestinya jadi panutan seperti para pemimpin, pejabat, dan agamawan banyak yang justru mencontohkan perilaku buruk yang menjijikkan. Para pejabat tinggi ditangkapi karena korupsi. Entah kenapa diungkap pula kehidupan pribadi mereka dengan para wanita. Mungkin maksudnya mau tunjukkan betapa jahat pejabat ini. Mengkorupsi uang rakyat dan digunakan bersenang-senang dengan para wanita cantik, kebanyakan dari kalangan artis. Meski mungkin maksudnya baik, tetapi persepsi orang yang menonton beritanya bisa sangat beragam. Mungkin ada yang mempersepsi bahwa kehidupan seks bebas itu wajar-wajar saja. Tokoh masyarakat pun lakukan, menagap kita tidak boleh?
Dalam konteks ini, kita rasanya tak lupa bagaimana pemberitaan tentang Presiden PKS yang jadi tersangka dan akhirnya dihukum karena korupsi. Di samping cerita korupsi ada pula cerita tentang wanita ABG, belum tamat sekolah yang menjadi istrinya. Pastilah ada yang berfikir, bila tokoh masyrakat yang lekat dengan agama dan tergolong berusia senja saja begitu kelakuannya, mengapa pula kita tidak boleh begitu?
Sementara itu tidak sedikit agamawan yang semakin sulit dibedakan dari selebriti, ya perilakunya dan gaya hidupnya. Mereka jadi bintang iklan produk-produk yang diproduksi para kapitalis, tampil dengan bayaran selangit meski diundang ke kampung-kampung, dan bikin heboh karena bersikap tidak pantas terhadap pasangan nikah sirinya. Sungguh semakin sulit dibedakan dengan para selebriti bermasalah. Apa dikira fakta ini tidak memengaruhi masyarakat?
Ada dua menteri agama dijebloskan ke penjara karena korupsi. Yang satu ketua partai yang semboyannya Rumah Besar Umat Islam. Lha, ketua umumnya koruptor. Bagaimana pula ini? Satu lagi tokoh agama dengan gelar Prof. Dr. KH dan hafal Al Quran pula. Walah-walah. Ditambah lagi proyek pengadaan Al Quran dikorupsi politisi Golkar yang melibatkan anaknya. Macam mana pula ini? Ada lagi pejabat tinggi membayar orang untuk membunuh wanita simpanannya. Ada dosen teladan dari perguruan tinggi ternama, jadi koruptor setelah mendapat jabatan basah. Rektor dan sejumlah pejabat tinggi perguruan tinggi paling dihormati masuk penjara karena korupsi. Pejabat tinggi kepolisian dihukum berat karena korupsi. Semuanya dipaparkan secara telanjang oleh media massa. Dibuat jadi semacam sinetron berseri. Apa dikira semuanya tidak bisa memengaruhi anak muda yang sedang tumbuh?
Sejauh ini paling tidak sudah terlihat sejumlah faktor yang sangat potensial memengaruhi tumbuh kembang para remaja kita yaitu faktor pribadi, keluarga dan pola asuhnya, serta reproduksi kultural yaitu pola asuh masyarakat. Ada satu lagi yang jangan diabaikan.
Secara pribadi saya berkeyakinan bahwa peningkatan pecandu narkoba, meluasnya pengikut ajaran radikal, dan semakin meningkatnya LGBT bukanlah kejadian yang bersifat pribadi dan berkembang secara tidak sengaja. Saya hakkul yakin bahwa ada gerakan yang terencana, sistematis, dan terstruktur di balik semua ini. Karena kejadiannya sangat massif di seluruh bagian dunia.
Oleh karena itu sangat tidak bagus jika kita habiskan waktu untuk menghujat, mencaci maki serta menyerang mereka yang sekarang terlibat. Saya hakkul yakin kebanyakan mereka yang kini terlibat adalah korban dari gerakan sistematis ini.
Rasanya pendekatan empatis yang mendahulukan perhatian dan kasih sayang lebih tepat dikedepankan. Bagaimanapun mereka yang jadi korban adalah anak-anak kita yang tercinta.
LGBT ADALAH GERAKAN SISTEMATIS YANG HARUS DILAWAN DENGAN CINTA.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
setiap komentar yang masuk akan terkirim secara langsung ke alamat email pribadi Bapak DR. Nusa Putra, S.Fil, M.Pd