Kamis, 18 Februari 2016

PERMENRISTEKDIKTI 44/2015: SINKRONISASI DAN HARMONISASI SPMI DAN SPME

Permenristekdikti 44/2015 merupakan acuan bagi pendidikan tinggi untuk beroperasi, mengembangkan diri, dan meningkatkan mutu. Di dalamnya diatur dan dijelaskan berbagai standar yang harus dipenuhi agar pendidikan tinggi dapat bertahan, berkembang berkelanjutan dalam upaya mewujudkan amanah Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa.

Permenristekdikti 44/2015 dengan demikian adalah standar untuk menilai pendidikan tinggi. Apakah dalam rangka Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) dan Sistem Penjaminan Mutu Eksternal (SPME). Kehadiran Permenristekdikti 44/2015 merupakan momentum untuk melakukan singkronisasi dan harmonisasi  SPMI dan SPME, sebab telah dirumuskan kepastian standar bagi pendidikan tinggi.

Kehadiran Permenristekdikti 44/2015 mengharuskan perguruan tinggi yang menjadi pelaksana pendidikan tinggi bekerja keras secara konsisten mengikuti semua ketentuan yang termaktub di dalamnya secara bertahap sesuai dengan kondisi perguruan tinggi. Tentu saja perguruan tinggi yang telah memenuhi standar yang ditetapkan dalam peraturan ini diperkenankan dan didorong untuk melampauinya dan mengikuti standar yang lebih tinggi, terutama pada tingkat internasional. Sebab peraturan ini memang memberi kesempatan untuk itu.

Permenristekdikti 44/2015 dalam Ketentuan Umum Pasal 1 menguraikan,

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:

1. Standar Nasional Pendidikan Tinggi adalah satuan standar yang meliputi Standar Nasional Pendidikan, ditambah dengan Standar Nasional Penelitian, dan Standar Nasional Pengabdian kepada Masyarakat.

2. Standar Nasional Pendidikan adalah kriteria minimal tentang pembelajaran pada jenjang pendidikan tinggi di perguruan tinggi di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia.

3. Standar Nasional Penelitian adalah kriteria minimal tentang sistem penelitian pada perguruan tinggi yang berlaku di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia.

4. Standar Nasional Pengabdian kepada Masyarakat adalah kriteria minimal tentang sistem pengabdian kepada masyarakat pada perguruan tinggi yang berlaku di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Ketentuan Umum ini setidaknya menegaskan,

1) Perguruan tinggi sebagai pelaksana pendidikan tinggi harus mengacu dan mengikuti dengan konsisten Standar Nasional Pendidikan Tinggi yang berlaku secara nasional

2) Standar Nasional Pendidikan Tinggi mengharuskan perguruan tinggi sebagai pelaksana pendidikan tinggi secara konsisten melaksanakan tridharma

3) Perguruan tinggi sebagai pelaksana pendidikan tinggi, boleh dan didorong melampaui Standar Nasional Pendidikan Tinggi, karena standar ini merupakan standar minimal. Artinya wajib dipenuhi dan bisa dilampaui.

4) Semua penilaian terhadap pendidikan tinggi, apakah yang dilakukan oleh perguruan tinggi sendiri(SPMI), dan badan atau lembaga yang diberi kewenangan untuk menilai pada tingkat nasional (SPME) wajib mengacu pada Permenristekdikti 44/2015.

Dalam kaitan itu respon cepat yang ditunjukkan sejumlah perguruan tinggi sebagaimana diberitakan Lampung Post (Lampost.Co, 5.02.2016) berikut ini patut diapresiasi.

BANDRA LAMPUNG -- Sebanyak 24 perguruan tinggi negeri (PTN) yang berasal dari Sumatera, Jawa, dan Kalimantan membahas peraturan Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) dalam Forum Wakil Rektor Bidang Akademik Badan Kerja Sama Perguruan Tinggi Negeri (BKS-PTN) Wilayah Indonesia Barat. Tujuan pembahasan itu sebagai upaya memajukan kualitas pendidik di Indonesia.

Apa yang menjadi topik pertemuan dijelaskan oleh Wakil Rektor I Bidang Akademik Unila sebagai penyelenggara,

Menurut Bujang, respons atas permen terbaru tersebut sangat diperlukan untuk dibahas karena langkah-langkah untuk menjalankan permenristekdikti itu. "Bagaimana langkah-langkah setiap PTN untuk memenuhi standar yang telah ditetapkan menteri itu karena bagaimanapun PTN ini diharapkan dapat menjadi branch smart perguruan tinggi yang lain kemudian mendapatkan langkah-langkah bersama untuk mencapai itu," kata Prof. Bujang.

Respon cepat dan tepat dari perguruan tinggi memang sangat diharapkan karena pendidikan tinggi kita berada dalam kondisi yang memang membutuhkan perhatian dan penanganan yang serius karena masih dihadang sejumlah masalah. Beberapa masalah itu adalah:

1) Rendahnya Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan tinggi. Data dari BPS menyebutkan APK PT 2014 adalah 25,76%. Mendikbud M. Nuh pada situs Majelis Rektor Perguruan Tinggi Negeri (30.05.2012), menegaskan,

Yang lebih penting ditekankan oleh menteri adalah pencapaian target Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan tinggi yang masih sangat rendah, di mana pada tahun 2015 ditargetkan mencapai 33%. Hal ini tentunya memerlukan kerja yang lebih keras lagi, baik kementerian maupun para rektor PTN.

Sementara itu dalam laman Universitas Gajah Mada (9.06.2015) diberitakan,

"Kapasitas atau daya tampung tahun ini kita tingkatkan. Salah satunya untuk mengejar target angka partisipasi kasar," ungkap Sekjen Kemenristek-dikti, Prof. Ainun Na'im, M.B.A., Ph.D, di kampus UGM, Selasa (9/6), sesaat sebelum meninjau pelaksanaan SBMPTN.

APK saat ini, termasuk yang berada di perguruan tinggi agama, sebesar 30 persen. Target lima tahun ke depan, pada akhir 2019, diharapkan APK menjadi 36 persen.

Masih rendahnya APK pendidikan tinggi meruoakan masalah serius yang harus segera diatasi. Karena berkaitan langsung dengan daya saing bangsa pada percaturan global.

2) Masih sangat banyaknya perguruan tinggi dan program studi yang terakreditasi C. Berdasarkan data BAN PT tanggal 8.01.2016 program studi terakreditasi C sebanyak 8633 Program Studi: PTN 846, PTS 6329, Kedinasan 95, PTAN 38, PTAS 1045. Terakreditasi A sejumlah 1994 dan B sebanyak 8099, jumlah keseluruhan 18.726. Pada PD DIKTI tercatat jumlah program studi berdasarkan jenjang pendidikan adalah 24.057.

Sementara yang tidak lolos dan tidak terakreditasi 648 Program Studi: 2012, 223  (PTN 4, PTS 219), 2013, 184 (PTN 4, PTS 180), 2014, 135 (PTN 9, PTS 126), 2015, 106 (PTN 13, PTS 93).

Perguruan tinggi yang terakreditasi C adalah 621( dari segi bentuk: 249 universitas,48 institut, 445 sekolah tinggi, 107 akademi, 49 politeknik; dari segi kepemilikan: 8 PTN, 463 PTS, 2 Kedinasan, 19 PTAN, 129 PTAS. Terakreditasi A sejumlah 26 ( dari segi bentuk: 22 universitas, 3 institut, 1 politeknik; daru segu kepemilikan: 17 PTN, 6 PTS, 3 PTAN). Terakreditasi B ada 248 (dari segi bentuk: 129 universitas, 23 institut, 67 sekolah tinggi, 8 akademi, 21 politeknik; dari segi kepemilikan: 50 PTN, 153 PTS, 12 Kedinasan, 26 PTAN, 7 PTAS), jumlah seluruhnya 895. Menurut BPS (2013-2014) perguruan tinggi berjumlah: di bawah Kemdikbud 3280 (99 PTN, 3181 PTS), di bawah Kemenag 678 (53 PTN, 625 PTS), seluruhnya berjumlah 3958.

Dari data di atas, masih sangat banyak perguruan tinggi dan program studi yang belum jelas status akreditasinya. Apakah sudah tutup, belum terakreditasi sama sekali atau belum reakreditasi? Perguruan tinggi diberi waktu sampai 2019 untuk mengajukan akreditasi.

Persoalan di atas masih ditambah lagi dengan fakta perkembangan perguruan tinggi dari segi jumlah. Terkait dengan perkembangan perguruan tinggi ini, Ketua APTISI dalam laman APTISI (01.07.2015)  berpendapat,

Dikatakan, pada tahun 2005 jumlah perguruan tinggi di Indonesia masih 2.428 buah. Namun data dari Pangkalan Data Pendidikan Tinggi 7 Juni yang lalu menunjukkan jumlah PT di Indonesia sudah mencapai 4.273 buah. Pertumbuhan ini sangat fantastis, yang berarti dalam sepuluh tahun terakhir setiap dua hari bertambah satu perguruan tinggi. Dengan banyaknya masalah yang terjadi di perguruan tinggi saat ini, termasuk soal perguruan tinggi yang mengeluarkan ijazah tanpa proses akademik yang benar yang menghebohkan baru-baru ini, maka Pemerintah perlu melakukan moratorium untuk melakukan penataan sampai beberapa tahun ke depan. Izin-izin ini memang sudah cukup terkendali dalam beberapa bulan terakhir, sejak pergantian menteri yang menangani pendidikan tinggi ini.

Banyaknya persoalan terkait dengan perguruan tinggi, membutuhkan penanganan yang serius dan fokus.

3) Luasnya sebaran perguruan tinggi dan program studi yang mendapat akreditasi C. Ada pada semua wilayah Indonesia atau di 14 Kopertis.
Berdasarkan data BAN PT 28.01.2016 inilah keadaannya.
Keadaan program studi pada tingkat:

A. Nasional, terakreditasi 18.848 (A:1946, B: 8049, C: 8853), kadaluarsa 1518.
B. Jawa, terakreditasi 10.206 (A: 1678, B: 4627, C: 3901), kadaluarsa 821.
C. Luar Jawa, terakreditasi 8642 (A: 268, B: 3422, C: 4952), kadaluarsa 697.
D. Per Kopertis:
1. Kopertis Wilayah I, terakreditasi 1193 (A: 22, B:434, C: 737), kadaluarsa 132
2. Kopertis Wilayah II, terakreditasi 1099 (A:52, B: 471, C: 576), kadaluarsa 94
3. Kopertis Wilayah III, terakreditasi 1955 (A: 352, B: 976, C: 627), kadaluarsa 169
4. Kopertis Wilayah IV, terakreditasi 2939 (A: 457, B: 1137, C: 1345), kadaluarsa 241
5. Kopertis Wilayah V, terakreditasi 974 (A: 310, B: 475, C: 189), kadaluarsa 75
6. Kopertis Wilayah VI, terakreditasi 1729 (A: 213, B: 868, C: 649), kadaluarsa 141
7. Kopertis Wilayah VII, terakreditasi 2610 (A: 346, B: 1173, C: 1091), kadaluarsa 193
8. Kopertis Wilayah VIII, terakreditasi 957 (A: 35, B: 432, C: 490), kadaluarsa 53
9. Kopertis Wilayah IX, terakreditasi 1922 (A: 77, B: 738, C: 1107), kadaluarsa 191
10. Kopertis Wilayah X, terakreditasi 1369 (A: 57, B: 586, C:726), kadaluarsa 93
11. Kopertis Wilayah XI, terakreditasi 906 (A: 7, B: 350, C: 549), kadaluarsa 53
12. Kopertis Wilayah XII, terakreditasi 302 (A: 2, B: 107, C: 193), kadaluarsa 18
13. Kopertis Wilayah XIII, terakreditasi 526 (A: 16, B: 194, C: 316), kadaluarsa 40
14. Kopertis Wilayah XIV, terakreditasi 367 (A: 0, B: 108, C: 259), kadaluarsa 25.

Dari data di atas sangat terlihat betapa tersebarnya program studi yang terakreditasi C. Sangat tidak mudah untuk membinanya.

4) Banyaknya perguruan tinggi dan program studi yang bermasalah. Angkanya sampai kini masih menjadi kontroversi. Namun, bila memerhatikan PD DIKTI dan menghitung perguruan tinggi dan program studi yang nonaktif, jumlahnya memang banyak. Status nonaktif menunjukkan bahwa perguruan tinggi dan program studi sedang berada dalam masalah. Masalahnya sangat beragam, mulai dari masalah administratif seperti ketidakpatuhan memberikan data terbaru sebagai laporan ke PD DIKTI, sampai dugaan menjual ijazah.

5) Belum tumbuh kembang budaya mutu pada sebagian besar perguruan tinggi dan program studi. Salah satu indikatornya adalah ketidakdisiplinan dalam urusan akreditasi dan reakreditasi. Tidak sedikit program studi yang terlambat menyerahkan borang atau dokumen untuk reakreditasi, dan banyak sekali borang atau dokumen akreditasi yang dibuat dengan sangat tidak cermat, bahkan sejumlah program studi membuatnya secara asal-asalan. Isi borangnya tidak menjawab apa yang ditanyakan, dan data kuantitatifnya tidak lengkap, tidak teliti dan tidak konsisten. Akreditasi masih dipersepsi dan dihayati sebagai kewajiban formal yang terpaksa dilakukan. Ketidakseriusan sejumlah program studi menjadi semakin jelas saat divisitasi. Dokumen tidak lengkap dan para dosen tidak hadir.

Masalah-masalah di atas tidak mudah untuk diatasi. Pada satu sisi ada kewajiban untuk meningkatkan APK. Suatu upaya secara kuantitatif meningkatkan jumlah mahasiswa. Mungkin, kondisi inilah yang memicu perguruan tinggi berlomba membuka program studi baru seperti yang diberitakan Tribun Nasional (19.01.2015),

TRIBUNNEWS.COM - Pembukaan program studi di sejumlah perguruan tinggi seperti tak terkendali. Perguruan tinggi leluasa membuka program studi meskipun tidak disertai dengan fasilitas dan tenaga pengajar yang memadai. Di sisi lain, kualitas pendidikan mahasiswa dikorbankan.

Di Universitas Brawijaya (UB), Malang, Jawa Timur, misalnya, terdapat tambahan 19 program studi (prodi) sejak 2013. Universitas itu akan mengusulkan lagi 20 prodi baru, yang saat ini masih berupa minat, pada 2015. ”Minat itu dibuat karena permintaan pasar serta perkembangan ilmu pengetahuan,” ujar Ketua Pusat Jaminan Mutu UB Achmad Wicaksono, pekan lalu.

Total, ada 139 prodi di universitas itu dengan 72.000 mahasiswa. Sebanyak 28 prodi belum mengantongi akreditasi karena masih dalam proses di Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT).

Dengan banyaknya jumlah prodi di UB, jumlah mahasiswa baru berkisar 12.000-18.000 orang setiap tahun. Akibatnya, mahasiswa menumpuk hampir di semua fakultas. Mahasiswa harus rela kuliah bergantian hingga malam hari. Gedung Widyaloka, gedung pertemuan utama di UB, pun jadi gedung perkuliahan.

Ika (20), mahasiswi Jurusan Hubungan Internasional, umpamanya, mengatakan, empat semester pertama harus kuliah di gedung kuliah bersama, bahkan tidak jarang ia harus kuliah malam. ”Tetapi, sekarang, FISIP sudah memiliki gedung baru. Tidak perlu lagi kuliah di gedung kuliah bersama,” ujarnya.

Kondisi itu dibenarkan pihak universitas. Namun, Achmad mengatakan, sejak bertambahnya mahasiswa, UB gencar membangun gedung baru.

Persoalan lain ialah beratnya beban bagi dosen. Seorang dosen mengaku bisa mengajar 7 kelas dalam seminggu atau sekitar 21 SKS seminggu. ”Saya tidak punya waktu mengembangkan diri dan kesulitan mengoreksi tugas mahasiswa. Mutu mahasiswa yang dihasilkan bisa jadi tidak maksimal,” ujar seorang dosen UB.

Bersamaan dengan itu perguruan tinggi dan program studi dipacu untuk meningkatkan mutu. Oleh karena hanya perguruan tinggi dan program studi bermutu yang bisa melahirkan sumber daya bermutu menghadapi persaingan global dan perubahan sangat cepat yang memunculkan ketidakpastian masa depan.

Sangat tidak mudah mengatasi dua hal yang menunjukkan arah yang berbeda. Peningkatan APK mengharuskan peningkatan daya tampung secara kuantitatif dengan segala resikonya, sedangkan peningkatan mutu merupakan pekerjaan dalam ranah kualitatif terkait peningkatan proses dan hasil serta kemungkinan penyerapan dalam dunia kerja dan industri yang membutuhkan sumber daya manusia yang kompeten, profesional, dan bermoral baik.

Sungguh dilemma yang sangat sulit untuk diatasi. Perguruan tinggi dan program studi benar-benar berada di persimpangan jalan. Salah pilih dan bertindak bisa berakibat fatal dalam jangka panjang.

Idealnya jumlah APK dan mutu sama-sama meningkat. Tetapi pastilah tidak mudah untuk mencapainya. Sebab peningkatan APK tidak sama cara kerjanya dengan peningkatan mutu. Bahkan pada tingkat tertentu bisa bertentangan.

Ketidakcocokan rasio mahasiswa: dosen dengan standar yang ditetapkan Pemerintah, yang terjadi pada banyak perguruan tinggi dan program studi ada kaitannya dengan meningkatkan jumlah mahasiswa demi peningkatan APK. Peningkatan mahasiswa yang tidak diikuti dengan peningkatan jumlah dosen, sarana dan prasarana pastilah menurunkan mutu proses dan hasil belajar.

Dalam kaitan inilah upaya-upaya menumbuhsuburkan budaya mutu yang sudah dimulai sejak lama harus terus diintensifkan agar perguruan tinggi dan program studi bisa memenuhi standar minimal yang diamanatkan Permenristekdikti 44/2015 dan secara bertahap mampu melampauinya. Kini memenuhi dan melampuai standar minimal itu merupakan keniscayaan.

Sangat banyak kendala dan hambatan yang membuat upaya-upaya itu sangat sulit dilaksanakan. Salah satunya adalah ketidaksingkronan SPMI dan SPME. Tidak sedikit perguruan tinggi dan program studi merasa terbebani karena bekerja dua kali. Melakukan SPMI, kemudian melakukan persiapan untuk melakukan SPME yang dilaksankan oleh BAN PT.

Beban itu dirasakan karena ketidaksingkronan antara SPMI dengan SPME. Padahal dalam aturan yang ada seharusnya keduanya bisa saling isi dan memperkuat.

Permendikbud 50/2014 Tentang Sistem Penjamin Mutu Pendidikan Tinggi pada Pasal 1 dinyatakan,

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:

1. Mutu pendidikan tinggi adalah tingkat kesesuaian antara penyelenggaraan pendidikan tinggi dengan Standar Pendidikan Tinggi yang terdiri atas Standar Nasional Pendidikan Tinggi dan Standar Pendidikan Tinggi yang Ditetapkan oleh Perguruan Tinggi.

2. Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi adalah kegiatan sistemik untuk meningkatkan mutu pendidikan tinggi secara berencana dan berkelanjutan.

3. Sistem Penjaminan Mutu Internal yang selanjutnya disingkat SPMI, adalah kegiatan sistemik penjaminan mutu pendidikan tinggi oleh setiap perguruan tinggi secara otonom untuk mengendalikan dan meningkatkan penyelenggaraan pendidikan tinggi secara berencana dan berkelanjutan.

4. Sistem Penjaminan Mutu Eksternal, yang selanjutnya disingkat SPME, adalah kegiatan penilaian melalui akreditasi untuk menentukan kelayakan dan tingkat pencapaian mutu program studi dan perguruan tinggi.

Mekanisme Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi dijelaskan pada
Pasal 3

(1) Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi terdiri atas:
a. Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI); dan
b. Sistem Penjaminan Mutu Eksternal (SPME).

(2) SPMI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a direncanakan, dilaksanakan, dikendalikan,dan dikembangkan oleh perguruan tinggi.

(3) SPME sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b direncanakan, dilaksanakan, dikendalikan, dan dikembangkan oleh BAN PT dan/atau LAM melalui akreditasi sesuai dengan kewenangan masing-masing.

(4) Luaran penerapan SPMI oleh perguruan tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) digunakan oleh BAN-PT atau LAM untuk penetapan status dan peringkat terakreditasi perguruan tinggi atau progam studi.

Pasal-pasal di atas secara tersurat dan gamblang menegaskan bahwa:

1) Terdapat tiga acuan mutu pendidikan tinggi yang harus digunakan, ketiganya harus bersesuaian yaitu Standar Pendidikan Tinggi, Standar Nasional Pendidikan Tinggi (SNPT) dan Standar Pendidikan Tinggi yang Ditetapkan oleh Perguruan Tinggi. Maknanya, perguruan tinggi harus memenuhi standar minimal yang telah ditetapkan dalam SNPT dan sepenuhnya diberi kebebasan untuk menyusun standar sendiri secara otonom untuk melampaui SNPT. Namun, standar-standar itu harus bersesuaian. Bersesuaian itu bermakna boleh tidak sama persis, tetapi tidak boleh bertentangan.

2) Terdapat empat ungkapan kunci dalam sistem penjaminan mutu pendidikan tinggi yaitu sistemik, meningkatkan mutu, berencana dan berkelanjutan. Tujuannya jelas yaitu meningkatkan mutu. Sistemik, berencana, dan berkelanjutan menunjukkan keharusan dirumuskannya program dan kegiatan yang akhirnya melahirkan budaya mutu. Meningkatkan mutu mustahil dapat dilakukan jika tidak berkelanjutan. Berkelanjutan itu pada mulanya memunculkan pembiasaan, kebiasaan, tradisi, dan akhirnya budaya. Budaya sebagai kata kerja yang menekankan integrasi antara pikiran konseptual yang teruji dan tindakan nyata yang terstruktur dan terukur. Dengan demikian peningkatan mutu melekat erat dalam semua kegiatan yang dilakukan.

3) Perguruan tinggi diberi kebebasan untuk merumuskan sistem penjamin mutunya (SPMI) sesuai dengan kenyataan perguruan tinggi. Sistem itu harus menjamin dan memastikan bahwa perguruan tinggi dengan melaksanakan budaya mutu bisa memenuhi standar minimal sebagaimana dirumuskan dalam SNPT dan secara bertahap berkelanjutan melampauinya. Untuk dapat melampauinya, perguruan tinggi seyogyanya memerhatikan apa yang dirumuskan dalam SNPT yang secara rinci diatur dalam Permenristekdikti 44/2015.

4) SPMI dilaksanakan sebagai upaya peningkatan mutu yang bermuara pada pencapaian hasil maksimal saat dinilai dalam rangka SPME. Pencapaian hasil maksimal, apalagi mampu melampaui standar SPME menegaskan bahwa peguruan tinggi dan prodi melaksanakan SPMI dengan baik, objektif, dan bermakna. Dalam kaitan inilah perlunya sinkronisasi SPMI dengan SPME. Perguruan tinggi dan program studi harus menyadari betul bahwa melaksanakan SPMI adalah bagian yang tidak terpisahkan dari SPME. Dalam kaitan inilah perlunya SPMI dan SPME secara konsisten mengacu dan mengimplementasikan SNPT. Harus diakui sebagian besar perguruan tinggi dan program studi masih mengalami kesulitan, hambatan, dan kendala untuk memenuhi standar minimal sebagimana tampak dari hasil akreditasi yang dilakukan oleh BAN PT. Oleh karena itu penting bagi perguruan tinggi dan program studi untuk secara bertahap berkelanjutan, dalam rentang waktu yang ditentukan sendir, kapan waktunya memenuhi syarat minimal itu, dan kapan mulai berupaya untuk melampauinya.

Untuk mencapai keberhasilan memenuhi kriteria minimal, dan melampauinya, berikut ditampilkan apa yang telah dilakukan ITB, UGM, dan IPB. Ketiga perguruan tinggi ini berhasil masuk dalam peringkat internasional yang merupakan keberhasilan melampaui standar minimal yang ada dalam SNPT.

Ketiga perguruan tinggi ini sangat memerhatikan SNPT dalam pengembangan SPMI. Secara substansi mereka memerhatikan standar BAN PT, dalam beberapa butir disamakan. Namun pada banyak butir melampauinya. Pada butir yang melampaui itu, ketiganya memanfaatkan standar yang lebih tinggi dari badan akreditasi regional dan internasional.

Dalam Satuan Penjaminan Mutu Institut Teknologi Bandung: Instrumen Pengukuran Standar Mutu Akademik (2015:3) dinyatakan,

Pada penyusunan Standar Akademik ITB, dipertimbangkan pula standar-standar mutu lainnya yang digunakan ITB dalam rangka penjaminan mutu. Standar-standar mutu tersebut adalah:
1. Standar Mutu - Basic Standar mutu yang dikembangkan oleh BAN PT dan DIKTI

2. Standar Mutu - Progressive/Excellence standar mutu yang dikembang oleh lembaga akreditasi internasional, seperti ABET, AUN-QA dan lembaga akreditasi internasional lainnya.

ITB menjadikan standar BAN PT dan DIKTI sebagai Basic Standar. Artinya ITB memerhatikan dan menggunakan standar dari BAN PT dan DIKTI sebagai acuan bagi perumusan SPMI. Namun, ITB melengkapinya dengan standar lain yang pasti lebih tinggi derajatnya karena bersifat internasional. Secara sistematis ITB merencanakan, menyusun, dan melaksanakan pemenuhan standar minimun sekaligus melampauinya.

Cara yang sama dilakukan UGM. Dalam Sistem Penjaminan Mutu Internal UGM: Sejarah, Implementasi, dan Pengembangan (2013: 27-30) dijelaskan bagaimana Evaluasi Diri Program Studi (EDPS) dikembangkan. Pengembangannya memuat butir-butir yang berasal dari BAN PT, ISO 9001, dan AUN.

IPB juga melakukan cara yang sama. Dalam Standar dan Sistem Penjaminan Mutu Internal Program Pendidikan Sarjana  Institut Pertanian Bogor (2011:5) ditegaskan,

Standar mutu ditetapkan sebagai tolok ukur penilaian untuk menentukan dan mencerminkan mutu penyelenggaraan akademik di IPB. Oleh karena itu, sistem penjaminan mutu internal mengacu pada standar mutu yang ditetapkan mengikuti proseduroperasional baku (POB) penetapan standar. Standar mutu ditetapkan untuk masing-masing strata pendidikan dengan mengadopsi atau memodifikasi dari Standar Nasional Pendidikan (SNP), Badan Akreditasi Nasional Petguruan Tinggi (BAN -PT) dan standar tambahan yang berlaku di tingkat regional dan internasional.

Standar mutu selanjutnya diturunkan menjadi sasaran mutu. Sasaran mutu ditetapkan sendiri oleh unit untuk periode waktu tertentu dengan mempertimbangkan capaian yang ada dibandingkan dengan standar mutu.

Sebagai contoh berikut dibandingkan elemen penilaian Standar Mutu Akademik ITB dan BAN PT terkait dengan dosen. Pada Standar Mutu Akademik ITB Standar 2 adalah Dosen, di BAN PT merupakan Standar 4 Sumber Daya Manusia.

BAN PT menggunakan tujuh standar yaitu:

Standar 1: Visi, Misi, Tujuan dan Sasaran, serta Strategi Pencapaian
Standar 2: Tata Pamong, Kepemimpinan, Sistem Pengelolaan, dan Penjaminan mutu
Standar 3: Mahasiswa dan Lulusan
Standar 4: Sumber Daya Manusia
Standar 5: Kurikulum, Pembelajaran, dan Suasana Akademik
Standar 6: Pembiayaan, Sarana dan Prasarana, serta Sistem Informasi
Standar 7: Penelitian, Pelayanan/Pengabdian Kepada Masyarakat, dan Kerjasama.

ITB merumuskan sepuluh standar yaitu:

Standar  1: Mahasiswa
Standar. 2: Dosen
Standar  3: Tenaga Kependidikan
Standar. 4: Fasilitas
Standar. 5: Kurikulum
Standar. 6: Kegiatan Akademik
Standar. 7: Tugas Akhir, Tesis, dan Disertasi
Standar. 8: Praktik Kerja/Magang/Internship (PkMI)
Standar. 9: Penjaminan Mutu
Standar10: Lulusan dan Alumni.

Bila diperhatikan kategorisasi standar di atas terlihat ITB tidak memiliki tiga standar yang ditetapkan BAN PT yaitu Standar 1,2, dan 7. Sementara itu satu standar BAN PT seperti Standar 3 Mahasiswa dan Lulusan, dalam standar ITB dipecah menjadi dua standar yaitu Standar 1 Mahasiswa dan Standar 10 Lulusan dan Alumni. Begitupun Standar 4 Sumber Daya Manusia, di ITB menjadi Standar 2 dan 3. Standar 5 BAN PT menjadi Standar 5,6,7, dan 8 di ITB.

Pemeriksaan terhadap Instrumen Pengukuran Standar Akademik ITB (2015, Rev.3) terbukti bahwa standar BAN PT yaitu 1, 2, dan 7 terdapat dalam instrumen ITB secara tersebar pada berbagai standar sesuai dengan kepentingannya. Boleh jadi cara ini dilakukan agar ada penajaman dan kerincian sehingga pemenuhan standar itu menjadi lebih mudah dan pasti.

Cara yang dilakukan ITB ini menegaskan bahwa ITB memerhatikan standar BAN PT, menggunakannya dan melampauainya. Karena itu dalam mengembangkan instrumen butir-butir kriteria ITB ada yang sama dan ada yang berbeda dengan elemen penilaian BAN PT. Jika berbeda dapat dipastikan, kriteria ITB mengatasi atau melampaui kriteria BAN PT. Bahkan ada sejumlah kriteria yang merupakan penajaman yang tidak terdapat dalam elemen penilaian BAN PT. Fakta ini menunjukkan bagaimana ITB menggunakan otonomi dan kebebasannya dengan tetap memerhatikan standar BAN PT.

Sebagai contoh ditunjukkan di bawah ini.

Elemen penilaian Standar Mutu Akademik ITB, Standar 2 Dosen:

2.1 Rekrutmen dan manajemen kinerja Dosen :

a. Perekrutan dosen disesuaikan dengan kebutuhan Program Studi yang diuraikan dalam rencana pengembangan SDM di masing- masing Program Studi.

b.Tersedia pedoman tentang sistem dan mekanisme pengusulan calon dosen dan diimplementasikan secara konsisten

c. Tersedia pedoman tentang sistem seleksi, penempatan, retensi, dan pemberhentian dosen dan diimplementasikan secara konsisten.

d. Jumlah dosen di Program Studi mencukupi agar program- program pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat dipastikan dapat berjalan dengan baik.
(Rata-rata FTE dosen berada pada rentang 11 dan 13)

e. Rasio jumlah mahasiswa terhadap jumlah tenaga dosen
(Nisbah jumlah mahasiswa S1 (student body) terhadap jumlah dosen 17 : 1)

f. Tersedia pedoman tentang TUPOKSI, monitoring, evaluasi kinerja dosen dan diimplementasikan secara konsisten.

Ada sejumlah kesamaan antara kriteria di atas dengan elemen penilaian BAN PT terkait dengan sistem rekrutmen dosen, keberadaan dan pelaksanaan pedoman dengan konsisten, serta jumlah beban dosen, dan tupoksi.

Namun terdapat perbedaan jumlah rasio mahasiswa terhadap jumlah dosen. Elemen penilaian BAN PT rasionya adalah untuk bidang sosial 1:27-33, bidang eksakta 1:17-23. Standar minimum ITB adalah 1:17. ITB memilih batas bawah BAN PT bukan batas atas. Ini bermakna ITB memastikan memilih harkat dan peringkat minimal sangat baik, yang merupakan harkat dan peringkat maksimal pada BAN PT.

2,2. Kualifikasi dan kompetensi Dosen

a. Program Studi menempatkan/menugaskan dosen yang memiliki kualifikasi dan kompetensi yang sesuai dengan kualifikasi dan kompetensi bidang tugasnya agar misi dan tujuan Program Studi tercapai.(90%)

b. Dosen yang mengajar di Prodi S1 minimal berpendidikan S2 dan mengampu matakuliah sesuai bidang keahliannya.( standar minimum 95%)

c. Dosen yang mengajar di Prodi S2 dan S3 berpendidikan S3 dan memiliki jabatan fungsional sekurangnya lektor(90%)

d. Persentase Dosen Pengajar di Prodi S1 dan Prodi S2 berpendidikan S3 yang bidang keahliannya sesuai dengan kompetensi PS(70%)

e. Persentase Dosen Pengajar di Prodi S1 yang memiliki jabatan minimum lektor yang bidang keahliannya sesuai dengan kompetensi PS(75%)

f. Prosentase Dosen Pengajar Prodi S1 yang memiliki Sertifikat Pendidik Profesional (75%)

g. Di akhir semester setiap dosen yang mengajar di semester berjalan harus melakukan evaluasi pembelajaran dengan membuat portfolio mata kuliah (1portofolio/dosen)

Pada semua kriteria di atas standar minimum ITB lebih tinggi 5% sampai dengan 35% dibandingkan elemen penilaian BAN PT. BAN PT tidak mensyaratkan dosen membuat portofolio. Tampaknya terkait dengan sumber daya manusia khususnya dosen, ITB sungguh telah melampaui standar BAN PT. Dengan demikian standar minimum yang ditetapkan sangat tinggi.

2,3. Pengembangan kompetensi didaktik dosen

a. Informasi, panduan dan prosedur pengembangan kompetensi didaktik dosen tersedia di web ITB dan selalu di update.(1 bulan sekali)

b. Pelatihan/penyegaran didaktik/teaching & learning dilakukan dan disesuaikan dengan hasil asesmen dosen.(1 tahun sekali)

Standar minimum ITB dalam aspek di atas melampaui standar minimum BAN PT.

Tentu saja apa yang dilakukan ITB, UGM, dan IPB tidak dapat diterapkan begitu saja pada semua perguruan tinggi. Ketiga perguruan tinggi ini bukan saja sudah lama berdiri, juga merupakan PTN yang mendapat bantuan secara teratur dalam jumlah besar dari Pemerintah dan banyak diminati calon mahasiswa.

Namun, apa yang dilakukan ketiganya dapat dijadikan model oleh perguruan tinggi lain. Tentu saja disesuaikan dengan kondisi perguruan tinggi tersebut.

Misalkan, perguruan tinggi yang akreditasi institusinya C dan sebagian besar program studinya juga terakreditasi C. Mereka dapat menentukan standar sendiri dalam SPMInya. Dengan analisis yang objektif, cermat dan akurat ditentukan pada kriteria mana saja sudah bisa ditentukan standar minimumnya sama dengan standar BAN PT, dan pada kriteria mana yang ditetapkan standar minimumnya masih membutuhkan waktu lebih panjang untuk mencapai standar minimum BAN PT.

Mungkin dua tahun ke depan sarana dan prasaran bisa diusahakan mendapat nilai tertinggi, sedangkan untuk sumber daya manusia, khususnya dosen membutuhkan waktu empat tahun untuk mendapatkan nilai tertinggi dalam Standar BAN PT. Pastilah sangat sulit dalam rentang waktu yang bersamaan seluruh kriteria bisa ditingkatkan mencapai nilai tertinggi. Pasti ada kendala terkait dengan ketersediaan dana dan kemampuan lain.

Dalam upaya mencapai tujuan peningkatan mutu melalui pemenuhan SPMI agar sekaligus meningkat bila dinilai menggunakan SPME yang dilakukan oleh perguruan tinggi, terutama yang akreditasinya C, Pemerintah harus memberikan bantuan.

Sangat beragam bentuk bantuan tersebut. Tentu saja dengan memerhatikan kondisi nyata setiap perguruan tinggi. Tampaknya bantuan yang bersifat sama dan seragam harus dihindari.

Setidaknya bantuan diberikan berdasarkan kategorisasi perguruan tinggi. Bimbingan teknis (bimtek) pun tidak bisa seragam. Sebab masalah yang dihadapi perguruan tinggi tidak selalu sama persis. Tidak sedikit perguruan tinggi yang sarana dan prasarananya memadai, namun sangat kurang sumber daya manusianya, terutama dosen. Ada pula yang sarana dan prasarana serta sumber daya manusianya masih sangat kurang.

Kategorisasi pun tidak bisa hanya didasarkan pada peringkat akreditasi perguruan tinggi dan program studi. Perguruan tinggi dan program studi yang terakreditasi C kelebihan dan kelemahnnya tidak selalu sama. Untuk itu seyogyanya BAN PT ikut membantu Kemenristekdikti dengan cara memberikan analisis akreditasi. Dengan demikian Kemenristekdikti dapat merumuskan program bantuan yang spesifik dan rinci untuk meningkatkan mutu perguruan tinggi dan program studi.

Pekerjaan raksasa meningkatkan mutu perguruan tinggi dan progran studi tidak bisa dilakukan secara sendiri-sendiri. Upaya gotong royong semua pihak yang memang seharusnya memberikan perhatian harus diusahakan dengan sungguh-sungguh.

Sangat bagus bila pada tiap Kopertis ditunjuk sejumlah perguruan tinggi yang masuk kategori sangat baik (akreditasi S) sebagai pembina bagi perguruan tinggi yang membutuhkan pembinaan dalam wilayahnya. Para asesor dari perguruan tinggi tersebut secara khusus dimanfaatkan untuk ikut membina.

SINKRONISASI DAN HARMONISASI SPMI DAN SPME MERUPAKAN LANGKAH STRATEGIS UNTUK MENINGKATKAN MUTU PENDIDIKAN TINGGI.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

setiap komentar yang masuk akan terkirim secara langsung ke alamat email pribadi Bapak DR. Nusa Putra, S.Fil, M.Pd