LGBT bukanlah gejala baru. Ada sejak zaman kuno. Dikisahkan dalam banyak manuskrip kuno. Juga dalam kitab suci. Bila sejumlah agamawan mengecam Barat sebagai asal muasal LGBT sampai-sampai menyerukan agar memusuhi semua yang datang dari Barat karena tidak baik, rasanya agamawan itu harus lebih banyak belajar.
Dalam kitab suci disebutkan bahwa kaum homoseksual yang kemudian mendapatkan malapetaka karena perilaku menyimpangnya, tidak terjadi di Barat. Tidak terjadi di Spanyol atau Inggris. Di Spanyol yang ada adalah Barcelona, dan di Inggris adalah Leicester City.
Apalagi sampai menolak semua yang datang dari Barat. Lucunya agamawan itu menyerukan permusuhan terhadap Barat melalui media sosial menggunakan internet. Bukankah internet dan media sosial juga produk Barat? Sungguh, agawaman yang tidak akurat, tidak teliti, dan sama sekali tidak cerdas.
Seperti alkohol, LGBT ada dimana-mana, tidak tergantung pada budaya dan wilayah serta agama. Istilah yang digunakan untuk LGBT bisa bermacam-macam, juga modus dan tradisinya.
LGBT adalah problema manusia. Tidak peduli Barat atau Timur, Asia atau Eropa, Islam, Kristen, Jahudi, Hindu atau Budha. LGBT melampaui budaya, wilayah dan agama. Karena lebih terkait dengan relung hati manusia dan kerumitan otaknya yang memang tidak mudah diselami.
Bila dikaji secara mendalam kasus-kasus LGBT pada beragam budaya sejak zaman dulu sampai kini, akan terlihat bahwa yang terlibat dalam LGBT meliputi manusia dari berbagai strata sosial, dan kalangan. Dari orang biasa sampai para agamawan. Orang berpendidikan rendah dan kaum terpelajar. Benar-benar tanpa kecuali.
Karena hakikinya LGBT adalah problema manusia yang berakar pada realitas bahwa manusia memiliki emosi, dorongan seksual, rasa penasaran, godaan untuk mencoba yang berbeda dan tidak biasa, bahkan yang melanggar aturan. Bukankah Adam sebagai manusia pertama telah tegaskan itu. Dilarang Allah mendekati pohoh, ia malah memakan buah yang nyantol di pohon itu. Apa boleh buat, itulah salah satu sisi hakiki manusia. Bedanya Adam dengan kebanyakan manusia adalah, Adam segera bertobat.
LGBT ada sejak dulu. Bedanya dengan sekarang ini adalah LGBT menjadi sangat terbuka. Dulu ada, namun sulit diidentifikasi. Pada 1989, di bawah bimbingan Prof. Dr. Conny R. Semiawan yang waktu itu Rektor IKIP Jakarta dan Dr. Lexi J. Moleong, bersama sejumlah mahasiswa kami melakukan penelitian kualitatif untuk memahami kreatifitas deviant atau kreativitas negatif di kalangan pelajar seperti tawuran pelajar di Jakarta. Saya mendapat kesempatan untuk mendalami kehidupan pelajar yang lesbi.
Sangat sulit untuk mencari wanita lesbi. Saat ditemukan juga sangat susah untuk membangun komunikasi yang bisa membuka kehidupan lesbinya. Dibutuhkan waktu agak panjang untuk bisa bertemu dengan anggota geng yang jumlah seluruhnya lima orang. Empat pelajar SMA dan seorang mahasiswi yang merupakan Bos geng ini.
Untuk bisa bertemu anggota geng sangat tidak mudah. Dalam geng ada aturan yang sangat ketat. Mereka sangat menjaga kerahasiaan kelompok, dan sedapat mungkin menunjukkan bahwa mereka normal dalam pergaulan di luar kelompok. Karena itu beberapa tetap memiliki cowok agar terlihat normal. Hubungan antargeng juga tertata dengan baik agar bisa saling menjaga rahasia.
Penelitian mendalam menemukan bahwa dorongan untuk menjadi lesbi bukan pertama-tama karena seks. Tetapi yang utama adalah merasa nyaman dalam kebersamaan dan saling mengerti. Kelima anggota geng ini memang memiliki masalah di dalam kelurga. Terutama karena buruknya pola asuh, sehingga mereka merasa tidak dianggap dan kurang diperhatikan atau sebaliknya terlalu diproteksi. Berkumpul dengan sesama jenis dirasakan memberi kenyamanan dan diakui. Namun, kerahasiaan dan ketertutupan sangat ditegaskan dan dijaga.
Kini keadaannya sungguh bersebalikan. Kaum LGBT malah sangat suka menonjolkan diri dan kelompoknya. Bahkan secara terbuka melakukan kampampnye untuk mengajak orang lain agar bergabung dengan mereka.
Bila kini keadaannya sampai menimbulkan kontroversi dan kehebohan apakah kebetulan, tidak disengaja? Apakah perubahan dan perkembangan masyarakat kita tidak ikut menciptakan kondisi ini? Mengapa ada sejumlah orang yang terus membela? Mengapa ada orang dan pihak yang sebegitu marahnya sampai-sampai mengidentifikasi LGBT sebagai perujudan iblis. Menyerukan perang terbuka terhadap LGBT dan terus menerus menyerang dengan makian dan hujatan serta fatwa-fatwa.
Apakah reaksi seperti itu tepat, efektif, berguna dan bermakna? Apakah hanya dengan cara seperti itu kita menghadapi remaja dan anak muda kita?
Sebagai perbandingan lihatlah sikap kebanyakan masyarakat dan agamawan terhadap pelacuran. Menghujat, menyalahkan dengan mengutip ayat-ayat dari kitab suci. Apakah pelacuran berkurang? Data statistik menunjukkan pelacuran bukan saja terus berkembang, bahkan melibatkan anak-anak dan remaja dengan beragam modus yang tak terbayangkan sebelumnya.
Begitupun dengan gerakan-gerakan yang dikategorikan sesat dan radikal. Mengapa Gafatar yang sejak awal dilarang, justru terus berkembang dengan pengikut yang terus bertambah? Mengapa terorisme terus menjalar dan melibatkan generasi muda yang masih belia remaja?
Sementara sejumlah agamawan terus saja menyalahkan dan sibuk dengan merumuskan fatwa-fatwa. Ditambah lagi media massa yang cuma bisa menghujat, menyalahkan dan menyerang.
Boleh jadi memang kita hidup dalam masyarakat yang sakit dan bermasalah. Yang kebisaan utamanya adalah menyalahkan, menghujat dan menyerang.
Bersamaan dengan itu LGBT terus berkembang dan melibatkan lebih banyak orang dari berbagai kalangan. Setidaknya berita-berita berikut menegaskan itu.
REPUBLIKA.CO.ID, DEPOK -- Universitas Indonesia (UI) bertekad memerangi komunitas lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) yang sudah marak dan mewabah di kalangan mahasiswa dan dosen.
"Kami akan bersikap keras melarang segala bentuk kegiatan LGBT di UI. Kami akan meningkatkan pengawasan ketat kegiatan-kegiatan organisasi LGBT dan pengawasan para mahasiswa dan juga dosen yang diduga berprilaku LGBT," kata Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan UI, Bambang Wibawarta saat dihubungi, Depok, Jumat, (22/1).
Menurut Bambang, UI akan bersikap terkait aktivitas sekelompok mahasiswa dan alumni UI yang menamakan diri Support Group and Resource Center On Sexuality Studies (SGRC) yang merupakan kelompok pendukung dalam berbagai masalah seksual, termasuk LGBT.(22.01.2016)
Bukan hanya kalangan mahasiswa dan dosen yang terlibat. Bahkan kaum santri. Sebuah buku dengan judul Sorban yang Terluka, yang ditulis oleh Abdul Waid, dan diterbitkan oleh Laelathinkers pada April 2009, menguraikan bagaimana homoseksual berkembang dan menjadi sesuatu yang sangat biasa di sejumlah pesantren.
Lebih mencengankan, Merdeka.com (25.10.2013) secara panjang memberitakan pernikahan sejenis di kalangan pastor dan pendeta.
Merdeka.com - Pastor Katolik sudah pensiun, Tom Pivinski, dan pasangan sesama jenisnya yang sudah bersama dengan dia lebih dari 20 tahun, Malcolm Navias, menggelar pernikahan antara agama dengan upacara Yahudi pada Senin kemarin di kediaman mereka di Kota Asbury Park, Negara Bagian New Jersey. Mereka menikah di hari pertama pernikahan sesama jenis diperbolehkan di New Jersey setelah dilegalisasi oleh Gubernur Chris Christie.
Merdeka.com - Pendeta gay asal Malaysia, Ngeo Boon Lin, menikah dengan pacar sesama jenisnya, seorang produser musik asal Kota New York, Amerika Serikat, bernama Phineas Newborn. Meski pernikahan mereka digelar Agustus dua tahun lalu di Negeri Paman Sam. Namun, sang pendeta menginginkan resepsi di negara asalnya.
Merdeka.com - Pendeta Colin Coward, 64 tahun, seorang pendeta di Gereja Baptis Santo Yohanes di Kota Devizes, di Kawasan Wilts, Inggris, menikahi pacar sesama jenisnya, Bobby Egbele, 25 tahun. Pernikahan keduanya menyebabkan kegemparan di antara orang-orang Kristen karena pasangan ini berencana menggelar pemberkatan dengan hati-hati di dalam gereja setelah upacara.
Merdeka.com - Seorang pastor perempuan dari sebuah gereja baptis terkenal berapi-api di Kota Detroit, Negara Bagian Michigan, Amerika Serikat, mengejutkan dan membuat kegemparan di antara para jemaatnya setelah dirinya mengundurkan diri usai mengungkapkan bahwa dia telah menikah dengan seorang uskup wanita dari Washington D.C beberapa bulan lalu.
Merdeka.com - Pendeta Karl Clemens, 70 tahun, menjadi pendeta Katolik pertama di Kanada yang secara terbuka menyatakan diri sebagai gay. Dia menikah dengan pasangan sesama jenisnya, Nick, pada 14 November 2009.
Clemens mengatakan dia akan menjadi orang pertama dari Katolik untuk memasuki perkawinan sesama jenis di Kanada, dan bahkan mungkin untuk di Amerika Utara, seperti dilansir situs examiner.com, November 2009 lalu, mengutip surat kabar the Edmonton Sun.
Susah memahami bagaimana agamawan senior, pernah memiliki jabatan keagamaan yang tinggi menikah sesama jenis. Pastilah mereka melegitimasi tindakannya dengan ayat-ayat dari kitab suci.
LGBT memang telah menjalar ke semua kalangan dalam masyarakat. Banjarmasin Post memberitakan,
A (24), mengenakan pakaian batik dengan corak warna merah yang mendominasi. Penampilan, sikap, gerak tubuh hingga gaya bicaranya tak menunjukkan bila A adalah gay sejak tahun 2005 silam.
"Pengalaman saya sudah banyak. Pernah berhubungan dengan sesama gay dari berbagai profesi, mulai dari pekerja biasa, seorang perawat, oknum TNI dan polisi bahkan oknum legislatif salah satu daerah di Sumsel," tuturnya.
Selain itu, A juga mengakui dirinya pernah berhubungan dengan bocah yang masih duduk di bangku SMP. (23.12.2013)
LGBG memang telah menjadi penyakit yang secara cepat menulari banyak orang. Koran Jakarta menuliskan,
JAKARTA – Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Yohana Yembise menolak berkembangnya fenomena LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender), terutama di kalangan anak-anak.
Yohana menilai kampanye dan promosi modus melalui situs-situs LGBT sudah sangat mengkhawatirkan dan harus segera dihentikan demi melindungi masa depan anak-anak Indonesia. Ia menegaskan, negara Indonesia masih merujuk pada UU Perkawinan yang hanya melegalkan perkawinan berbeda jenis kelamin.
“Keberadaan LGBT tidak terlepas dari penetrasi dan pengaruh nilai-nilai asing ke Indonesia,” tegas Yohana, di Jakarta, Selasa (16/2). (17.02.2016)
Pada kesempatan lain Ibu Menteri memberi penjelasan,
Bintang.com, Jakarta Go public, kaum Lesbian, Gay, Bisexual, dan Transgender (LGBT) di Indonesia menuai berbagai reaksi. Meski banyak yang menolak dengan bantahan-bantahan keras, lantas tak membuat LGBT 'mati'. Bahkan, kampanye soal orientasi seksual ini kabarnya sudah menjamah anak-anak.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Susana Yembise menuturkan, ada ribuan anak Indonesia yang masuk jaringan LGBT. "Ada 3.000-an anak-anak sekarang yang masuk jaringan gay ini," kata Yohana di Kantor Wakil Presiden, Jakarta, Kamis (18/2), kepada Liputan6.com. (19.02.2016)
Keterlibatan anak-anak semakin nyata, jumlahnya semakin bertambah. Berita berikut membenarkannya.
Tabloid-Nakita.com - Sebagai orangtua, Mama perlu waspada dengan lingkungan sekitarnya. Sebab, komunitas Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT) kini menyasar remaja bahkan anak-anak. Mereka bahkan secara terang-terangan membangun komunitas di dunia maya. Salah satu akun yang menghebohkan adalah @gaykids_botplg. Akun yang sempat menyentuh 3.000 followers ini memang sempat di-suspend, (ditangguhkan/ditutup) tapi tak berapa lama, muncul lagi akun yang sama meski dengan follower lebih sedikit. Komunitas bocah homo ‘bau kencur’ ini mulai berani terang-terangan.
Dari hasil penelusuran, para pengikut @gaykids_botplg banyak yang memasang profil foto mesum sesama jenis. Ada yang memasang foto profil beradegan ciuman, ada pula yang sengaja menunjukkan gambar alat kelamin atau bagian vital. Sebagian memilih mengosongkan foto profilnya. Namun, kebanyakan pengikut akun @gaykids_botplg memasang foto anak-anak.
Terkait dengan jumlah, LGBT terus berkembang di seluruh dunia. Liputan 6.com menjelaskan,
Berdasarkan data yang didapat divisi riset Facebook, sepanjang tahun 2015 ini ada sekitar 800 ribu pengguna yang mengubah profil mereka dan menyatakan diri sebagai seorang homoseksual. Jumlah tersebut dinyatakan meningkat tiga kali lipat dibanding sepanjang tahun 2014 lalu.
Menurut yang dilaporkan The Market Business, Selasa (20/10/2015), pihak Facebook mencatat bahwa kini total sudah ada sekitar enam juta pengguna yang secara menyatakan diri sebagai seorang homoseksual, baik itu gay maupun lesbian.(20.10.2015)
Itu berarti jumlah LGBT pasti melampaui jumlah yang disebutkan di atas. Sebab tidak semua LGBT memproklamirkan diri sebagai LGBT. Maknanya jumlah yang muncul di facebook adalah sebagian dari jumlah LGBT yang ada.
Berita-barita di atas menegaskan bahwa LGBT telah menjadi masalah sosial yang sangat serius. Sudah tak bisa dianggap remeh.
LGBT adalah masalah sosial dan moral yang rumit atau kompleks. Karena itu tidak dapat dipahami dan diselesaikan dengan cara-cara sederhana dan verbal seperti hanya menggunakan ayat-ayat dari kitab suci, dan fatwa-fatwa yang mengharamkan dan diiringi dengan hujatan dan caci maki.
Apalagi yang menjadi sasaran utama kampanye LGBT adalah para remaja. Remaja akan menunjukkan sikap yang semakin negatif, berani, dan tidak terduga bila disalahkan, dihujat, dan dipojokkan.
Persoalan LGBT juga tidak bisa diselesaikan dari balik mimbar. Berpidato berapi-api mengecam dan menyatakannya haram. Butuh upaya lebih dari itu.
Mari kita cermati dengan hati-hati. Paling kurang ada empat masalah sosial yang semakin akut sekarang ini. Keempat masalah itu adalah radikalisme yang melibatkan remaja dan anak muda, pecandu narkoba yang makin meningkat di kalangan remaja, semakin banyak remaja terlibat seks bebas sampai menjual diri, dan LGBT.
Kita harus mencaritemukan akar masalah. Mengapa para remaja begitu mudah terseret masalah-masalah itu? Kita dengan mudah menyatakan semua itu adalah perujudan kenakalan remaja. Pernahkan kita sadari dan akui bahwa kebanyakan kenakalan remaja itu adalah akibat dari kejahatan orang dewasa?
Apakah ada remaja yang menjadi perekrut dan guru anak remaja yang menjadi penganut radikalisme? Apakah ada bandar narkoba berusia remaja? Berapa usia mucikari yang menjual para remaja dan siapa yang menjadi penggunanya? Apakah kaum remaja? Siapakah yang mengkampanyekan LGBT, apakah dari kalangan remaja?
Apakah para agamawan yang terus marah dan menggunakan ayat-ayat suci itu punya waktu untuk terjun langsung berkomunikasi dengan para remaja yang terlibat LGBT dan melakukan dialog empatis dengan mereka? Jika hanya mengecam dari atas mimbar atau wawancara televisi, siapa pun bisa lakukan.
Sungguh tragis dan lucu. Para intelektual, politisi, agamawan, pengamat masalah sosial, pejabat, legislator beramai-ramai berdebat di televisi meributkan LGBT dan terus saja menyalahkan dan menghujat. Apakah mereka punya waktu untuk berbincang dalam semangat kasih dengan remaja yang kini terlibat LGBT?
Apakah kita tidak belajar dari cara-cara yang ditempuh selama ini menghadapi radikalisme, pelacuran, dan narkoba? Apakah cara-cara itu berhasil? Faktanya radikalisme, pelacuran, dan narkoba makin tak terkendali. Padahal terkait dengan radikalisme dan narkoba, yang terlibat ada yang ditembak sampai mati atau dihukum mati.
Lewat dialog empatis dengan mereka yang terlibat, kita akan mengetahui secara mendalam. Mengapa mereka sampai terlibat. Apakah mereka menjadi LGBT sekadar ikut-ikutan gaya hidup yang lagi trendi atau sudah dihayati sebagai pilihan hidup yang bersifat ideologis?
Tentu saja penanganan LGBT tidak dapat sama dan seragam bagi setiap orang. Sangat tergantung dari pemahaman, sikap dan perilaku orang yang terlibat LGBT. Juga penting disadari bahwa selama ini telah banyak remaja dan orang dewasa yang sudah terlibat LGBT. Dulu mereka menutup rapat-rapat keterlibatan itu dan kini membukanya. Maknanya ada sejumlah orang yang telah memilih LGBT sebagai keyakinan hidup, bukan sekadar gaya hidup.
Satu hal yang harus sangat diperhitungkan adalah fakta bahwa LGBT tidak muncul secara tiba-tiba dan kebetulan. Jika kita cermati dan telisik lebih dalam bisa dibuktikan melalui keseragaman semboyan, modus penampilan, langkah dan tahapah gerakan, sampai pilihan warna yang seragam di seluruh dunia, LGBT adalah gerakan yang terencana, sistematis, dan masif.
Oleh karena itu tidak berlebihan jika kita berpendapat bahwa dalam jumlah tertentu, mungkin sebagian besar, terutama para remaja yang ikutan LGBT adalah para korban. Karena tidak semua remaja memiliki keterampilan 3M yaitu memilah, memilih, dan mengolah apa yang disodorkan padanya.
Apalagi kampanye LGBT sangat canggih, persuasif, dan kadang sangat halus sehingga mampu menerobos relung jiwa para remaja lewat lagu, musik, komik, games dan idola, memanfaatkan teknologi komunikasi yang canggih dan sulit dikontrol.
Tampaknya kini waktu yang tepat untuk menerapkan prinsip kehadiran. Bukan saja terhadap LGBT. Juga terhadap radikalisme, narkoba dan pelacuran remaja.
Orang tua dan keluarga hadir untuk anak-anaknya. Agamawan hadir bagi umatnya. Pendidik hadir untuk para murid. Negara hadir bagi rakyatnya. Apa makna kehadiran?
Pastilah yang pertama kehadiran fisik. Kehadiran fisik memungkinkan kita untuk saling pandang, dengar, bicara, dan memahami, serta berempati. Empati, pemahaman mendalam dari sudut pandang orang yang terlibat tidak pernah bisa tumbuh, jika kita bicara di atas mimbar, berpidato di podium, apalagi meyebarkan peraturan tertulis.
Empati memungkinkan kita untuk peduli dan berbagi. Peduli bisa bermakna menerima mereka apa adanya, tidak menghakimi apalagi mengalgojoi, dan mau secara aktif membantu mereka keluar dari masalah. Bukan sekedar memborbardir mereka dengan nasihat, petuah dan ajaran-ajaran moral yang luhur.
Bukankah jika ada orang yang jatuh ke sumur dibutuhkan tangga atau tali, orang yang bersedia masuk sumur dan oksigen? Namun, tidak semua orang bersedia masuk sumur karena ada resiko. Kehadiran dan peduli adalah keberanian masuk ke sumur untuk menolong orang. Teriakan dari atas sumur, berupa petunjuk untuk naik, sama sekali tak berguna.
Berbagi bisa bermakna, bahwa korban tidak pernah merasa bahwa ia sendirian menghadapi masalah berat yang menghimpitnya. Ada orang yang bersedia bersamanya, bukan saja mengulurkan tangan. Tetapi meraih dan merangkulnya. Berjalan bersama keluar dari masalah.
Menarik untuk meneladani apa yang ditunjukkan Nabi Muhammad Saw. Sebagai orang yang sangat dihormati, Nabi Muhammad Saw ditawari untuk menempati rumah yang bagus dimanapun dikehendakinya. Apapun yang Nabi inginkan pada waktu itu pasti didapatkan. Tetapi Nabi Muhammad Saw memutuskan untuk tetap tinggal di pelataran masjid yang sederhana. Mengapa Beliau memilih temoat yang sangat tidak pantas itu?
Nabi Muhammad Saw melaksanakan prinsip kehadiran. Ia ingin terus hadir bersama dan di tengah-tengah umatnya. Ia menjadi orang pertama yang hadir di masjid dan yang terakhir meninggalkan masjid. Denga demikian Beliau segera tahu bila ada umatnya yang menghadapi masalah.
Beliau sepenuhnya sadar, bila tinggal di rumah yang mewah, berpagar pula, pastilah ada rasa segan bagi umat untuk menyampaikan keluh kesah dan masalah.
Kehadiran adalah cara paling empatis untuk membantu manusia menghadapi berbagai masalah. Tentu saja termasuk di dalamnya para remaja yang terlibat dan menjadi korban LGBT.
LGBT BISA DIATASI DENGAN PRINSIP KEHADIRAN.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
setiap komentar yang masuk akan terkirim secara langsung ke alamat email pribadi Bapak DR. Nusa Putra, S.Fil, M.Pd