Selasa, 16 Februari 2016

PERMENRISTEKDIKTI 44/2015: TANTANGAN BAGI PERGURUAN TINGGI DAN PROGRAM STUDI

Kehadiran Permenristekdikti 44/2015 Tentang Standar Nasional Perguruan Tinggi (SNPT) sebagai pengganti Permendikbud 49/2014 memberikan tantangan baru bagi Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN PT), perguruan tinggi, dan program studi. BAN PT diharuskan memperbarui instrumen akreditasi untuk menilai perguruan tinggi dan program studi.

BAN PT telah mengambil langkah-langkah strategis untuk pembaruan instrumen sejak 2013 dengan mengikutsertakan para pemangku kepentingan. Sebenarnya instrumen untuk Akreditasi Institusi Perguruan Tinggi (AIPT) dan Akreditasi Program Studi (APS) sudah jadi dan siap untuk melangkah lebih maju yaitu melakukan uji publik. Namun, Permendikbud 49/2014 yang menjadi salah satu acuan pentingnya dinyatakan tidak berlaku lagi. Tentu saja BAN PT harus menunggu terbitnya peraturan pengganti yang baru diterbitkan pada akhir 2015.

Dalam waktu yang tidak terlalu lama pada 2016 ini, BAN PT telah menyusun serangkaian langkah untuk menyempurnakan dan mengujicoba instrumen dimaksud. Meski tentu saja penyelesaiannya tidak dapat dengan cara instan. Uji publik dan uji lapang oleh para pengguna pastilah membutuhkan waktu.

Pada 2015, instumen dimaksud telah diuji publik di Bogor, Lombok, dan Makasar melibatkan lebih dari 300 perguruan tinggi. Kemudian pada 7-9 Desember 2015 dibahas dalam Pertemuan Tahunan BAN PT.

Secara bertahap BAN PT telah menghadapi dan menjawab tantangan bagi terbitnya instrumen baru untuk AIPT dan APS sebagai respon terbitnya Permendikbud 49/2014 dan penggantinya Permenristekdikti 44/2015. Pekerjaan sudah memasuki tahapan akhir.

Persoalannya adalah apakah Perguruan Tinggi dan Program Studi siap menghadapi tantangan baru terkait dengan terbitnya Permenristekdikti 44/2015? Tentu saja jawabannya, siap tidak siap, harus siap.

Mengapa muncul pertanyaan ini? Dasarnya adalah serenceng fakta tentang Perguruan Tinggi dan Program Studi yang masih dililit sejumlah masalah. Bahkan tidak sedikit yang mengalami masalah akut.

Permenristekdikti 44/2015 tentang SNPT pada Pasal 1 ayat 1 menyatakan,

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Standar Nasional Pendidikan Tinggi adalah satuan standar yang meliputi Standar Nasional Pendidikan, ditambah dengan Standar Nasional Penelitian, dan Standar Nasional Pengabdian kepada Masyarakat.

Konsekuensinya dirumuskanlah Standar Nasional Penelitian dan Standar Pengabdian kepada Masyarakat yang masing-masing terdiri dari delapan standar. Akibatnya instrumen akreditasi BAN PT tentang penelitian dan pengabdian kepada masyarakat harus diubah. Dibuat tersendiri dan bobotnya ditingkatkan. Konsekuensi ini bersifat niscaya karena telah ditetapkan dalam Permenristekdikti 44/2015.

Padahal dengan instrumen sekarang yang bobot penelitian dan pengabdian kepada masyarakat tidak sebesar instrumen yang akan digunakan pada masa depan, banyak Perguruan Tinggi dan Program Studi yang mengalami masalah. KOMPAS, 12.12.2015, hal.11 menulis,

Penelitian dan pengabdian masyarakat yang menjadi salah satu peran penting perguruan tinggi di Indonesia masih belum optimal. Padahal penelitian dapat mendorong lahirnya inovasi untuk kemajuan dan kesejahteraan bangsa.

Dari penilaian borang akreditasi program studi di perguruan tinggi negeri dan swasta standar untuk penelitian dan pengabdian masyarakat masih rendah, di bawah skala 2 dari skala 0-4. Bahkan di program studi doktor yang semestinya kuat dalam penelitian, hasil penilaian borang program studi untuk standar penelitian dan pengabdian masyarakat baru hampir mendekati 2.

Pada pertemuan Tahunan Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) 2015 pekan ini, Ketua BAN-PT Mansyur Ramli mengatakan, penelitian dan pengabdian masyarakat yang menjadi salah satu standar penilaian akreditasi program studi perlu mendapat perhatian. Hal ini karena hasilnya belum memuaskan, baik di perguruan tinggi negeri maupun swasta.

"Untuk perguruan tinggi yang akreditasi B untuk menuju akreditasi A masih menghadapi kendala standar penelitian. Di perguruan tinggi swasta selain penelitian, yang juga rendah juga terkait dosen dan mahasiswa dan lulusan rendah,"kata Mansyur.

Harus ditegaskan, secara umum perguruan tinggi dan program studi memang menghadapi masalah terkait dengan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Oleh karena perguruan tinggi yang terakreditasi A hanya 26 dan program studi yang terkareditasi A baru 1994, maka mayoritas perguruan tinggi dan program studi sungguh masih berada dalam masalah.

Agar mendapatkan gambaran lebih rinci masalah apa saja yang dihadapi perguruan tinggi dan program studi terkait dengan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, berikut ditampilkan elemen penilaian untuk program sarjana,

7.1.1Jumlah penelitian yang dilakukan oleh dosen tetap yang bidang keahliannya sesuai dengan PS per tahun, selama 3 tahun.

7.1.2Keterlibatan mahasiswa yang melakukan tugas akhir dalam penelitian dosen.

7.1.3Jumlah artikel ilmiah yang dihasilkan oleh dosen tetap yang bidang keahliannya sesuai dengan PS per tahun, selama tiga tahun.

7.1.4Karya-karya PS/institusi yang telah memperoleh perlindungan Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI) dalam tiga tahun terakhir.

7.2.1Jumlah kegiatan Pengabdian kepada Masyarakat (PkM) yang dilakukan oleh dosen tetap yang bidang keahliannya sesuai dengan PS.

7.2.2Keterlibatan mahasiswa dalam kegiatan pengabdian kepada masyarakat.

6.2.1Besarnya dana (termasuk hibah) yang dikelola dalam tiga tahun terakhir.

6.2.2Dana penelitian dalam tiga tahun terakhir.

6.2.3Dana yang diperoleh dalam rangka pengabdian kepada masyarakat dalam tiga  tahun terakhir.

4.5.4Prestasi dalam mendapatkan penghargaan hibah, pendanaan program dan kegiatan akademik dari tingkat nasional dan internasional; besaran dan proporsi dana penelitian dari sumber institusi sendiri dan luar institusi.

Berdasarkan elemen penilaian di atas yang berasal dari tiga standar, permasalahan yang dihadapi perguruan tinggi, dan terutama program studi adalah:

1) Jumlah penelitian tidak memadai.

Untuk mendapatkan harkat dan peringkat sangat baik (4) untuk jumlah penelitian (7.1.1), dihitung Nilai Kasar (NK).Nilai Kasarnya harus sama dengan atau lebih besar dari dua. Nilai Kasar didapatkan dengan perhitungan sebagai berikut:

                           4xNa+2xNb+Nc
                           ----------------------
                                      f

                     Na Jumlah penelitian dengan biaya LN 
Nb Jumlah penelitian dengan biaya luar (PT) 
Nc Jumlah penelitian dengan biaya PT/sendiri 
f Jumlah dosen tetap dengan bidang sesuai PS.

Bila pada elemen penilaian ini harkat dan martabatnya kurang (1) dan sangat kurang (0), dapat dicari penyebabnya. Sebagian besar program studi tidak pernah mendapatkan biaya luar negeri untuk penelitian. Sangat tidak mudah untuk mendapatkan dana penelitian luar negeri karena tingkat kompetisinya sangat tinggi dan ketat. Selama ini hanya program studi terbaik dari perguruan tinggi terbaik yang bisa mendapatkannya. Jumlahnya sangat sedikit. Mendapatkan pendanaan penelitian dari luar negeri menunjukkan kualitas penelitian yang baik.

Belum banyak dosen program studi yang bisa mendapatkan biaya penelitian dari luar perguruan tinggi. Terutama hibah yang disediakan oleh Kemenristekdikti. Ada beberapa program studi yang mendapatkan biaya penelitian dari Pemerintah Daerah atau perusahaan di daerahnya. Namun jumlah program studi yang bisa mendapatkannya sangat sedikit.

Tidak banyak perguruan tinggi yang menyediakan dana penelitian bagi program studi. Akibatnya terdapat sejumlah program studi yang mendapat nilai sangat kurang pada elemen penelitian ini. Karena sama sekali tidak memiliki penelitian.

Rendahnya nilai pada elemen penelitian ini sebenarnya terkait dengan fakta bahwa budaya meneliti belum tumbuh dengan baik. Belum disadari dan dirasakan bahwa penelitian merupakan keniscayaan bagi para dosen. Para dosen seyogyanya melakukan penelitian minimal untuk keperluan memperbaiki atau memperkaya matakuliah yang diampunya.

Pada sejumlah program studi, sama sekali tidak ada penelitiannya. Biasanya program studi yang tidak layak, artinya nilai akreditasinya kurang dari 200. Pada beberapa program studi ada sejumlah kecil dosennya melakukan penelitian. Namun NKnya akan sangat rendah karena harus dibagi dengan jumlah dosen tetap.

Oleh karena jumlah dosen tetap jadi unsur pembagi untuk jumlah dan dana penelitian, tidak sedikit program studi yang bertindak tidak jujur. Mereka mengecilkan jumlah dosen tetap saat digunakan untuk pembagi, agar jumlah dan dana penelitian menjadi besar. Tentu saja asesor yang menilai dan Anggota Majelis yang memverifikasi dan memvalidasi hasil penilaian pasti menemukan ketidakjujuran ini.

Elemen 7.1.1 ini berkaitan dengan elemen penilaian dari standar yang berbeda yaitu 4.5.4, 6.2.1 dan 6.2.2. Dengan demikian bila jumlah penelitian tidak memadai, maka program studi akan mendapatkan nilai kurang dan sangat kurang pada tiga elemen penilaian lain yang berkaitan. Pastilah kondisi ini secara keseluruhan menurunkan nilai akreditasi program studi.

Jadi jumlah penelitian yang tidak memadai bukan hanya persoalan sedikitnya penelitian yang dihasilkan dosen. Juga menggambarkan banyak aspek terkait dengan kondisi program studi. Ini seperti puncak gunung es. Boleh jadi ada kaitannya dengan kualifikasi dan kualitas dosen. Belum berkembangnya kesadaran bahwa penelitian merupakan bagian dari "metabolisme normal" bagi para dosen. Akibatnya budaya meneliti belum tumbuh kembang dengan baik. Tidak dapat dipungkiri, bagi sebagian dosen, meneliti bukan merupakan kebiasaan dan tradisi yang niscaya harus dilakukan. Penelitian dilakukan lebih banyak untuk keperluan naik pangkat atau menambah penghasilan. Akibanya banyak penelitian yang masuk kategori seadanya. Selain itu jumlah penelitian di perguruan tinggi menjadi rendah. Rendahnya jumlah penelitian ini juga disebabkan belum banyak perguruan tinggi yang bersedia menyediakan anggaran untuk penelitain dosen. Karena memang tidak memiliki kemampuan atau merasa penelitian tidaklah penting.

Rendahnya penelitian di perguruan tinggi diakui oleh Dirjen Pembelajaran dan Kemahsiswaan Kemenristekdikti sebagaimana diberitakan oleh Antara News (7.10.2015),

Kendari (Antara News) - Kementrian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) Republik Indonesia mendorong perguruan tinggi untuk meningkatkan jumlah penelitian, baik yang dilakukan oleh dosen maupun mahasiswa.
Dirjen Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kemenristekdikti RI Intan Ahmad di Kendari, Rabu, mengatakan dorongan tersebut dilakukan sebab geliat penelitian yang dilakukan perguruan tinggi di Indonesia masih rendah jika dibandingkan dengan negara di kawasan ASEAN.
"Tahun 2014 kita hanya bisa menghasilkan 5.499 publikasi hasil penelitian, ini sangat jauh jika kita bandingkan dengan Thailand yang jumlah penelitiannya lebih dari 12.000 dan Malaysia hingga 25.000," ujarnya.
Maka dari itu lanjutnya, Kemenristekdikti mendorong agar perguruan tinggi dapat meningkatkan jumlah publikasi penelitian ilmiah dengan menerapkan program peningkatan mutu pendidikan tinggi dan hilirisasi hasil penelitian.

Tidak mudah untuk meningkatkan jumlah dan mutu penelitian di perguruan tinggi. Bukan saja karena jumlah perguruan tinggi dan program studi yang terakreditasi C sangat banyak yaitu 621 perguruan tinggi dan 8633 program studi. Juga karena keberadaan perguruan tinggi dan program studi sangat tersebar dengan kondisi sumber daya manusia yang memang perlu terus ditingkatkan.

2) Minimnya keterlibatan mahasiswa yang melakukan tugas akhir dalam penelitian dosen.

Elemen penilaian ini didapatkan dengan cara menghitung persentase keterlibatan mahasiswa. Bila persentasenya sama atau lebih tinggi dari 25 persen, harkat dan martabatnya sangat baik (4).

Jika program studi tidak memiliki penelitian atau penelitiannya sedikit,maka nilai pada elemen ini pasti rendah. Namun, pada program studi atau perguruan tinggi yang jumlah penelitiannya berkategori baik dan sangat baik, nilai pada elemen ini pun seringkali rendah. Ini terjadi karena mahasiswa jarang dilibatkan.

Pelibatan mahasiswa dalam penelitian dosen sangat terkait dengan tradisi yang ditumbuhkembangkan pada program studi. Ini ada kaitannya dengan penciptaan suasana akademik yang menempatkan mahasiswa sebagai subyek yang dihormati dan diberikan kesempatan untuk terus tumbuh kembang. Tetapi sangat disayangkan, pada sangat banyak program studi, nilai untuk elemen ini berkisar antara kurang dan sangat kurang.

3) Kurangnya jumlah artikel ilmiah yang dihasilkan

Kurangnya jumlah artikel ilmiah yang dihasilkan juga terjadi pada beberapa perguruan tinggi dan program studi yang mendapat akreditasi A. Sering terjadi, meskipun perguruan tinggi dan program studi memiliki jurnal yang tergolong banyak. Namun penulisnya terbatas. Jadi beberapa orang sangat rajin dan banyak menghasilkan jurnal, sedangkan dosen dalam jumlah besar belum menghasilkannya.

Terkait dengan rendahnya jumlah jurnal yang dihasilkan, setidaknya ada dua penyebabnya. Pertama, tradisi menulis memang belum tumbuh seperti yang diharapkan. Kedua, terbatasnya jumlah jurnal yang bisa memuat tulisan.

Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi mengakui bahwa jumlah jurnal yang dihasilkan masih rendah seperti yang diberitakan Koran Sindo (5.12.2015) berikut ini,

Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristek Dikti) M Nasir mengatakan, lembaga pemeringkat internasional Scimago Institution Rangking pada 2014 menempatkan Indonesia di posisi ke- 52 dalam publikasi ilmiah internasional. Menurut dia, kondisi ini sangat memprihatinkan karena rendahnya penelitian berpengaruh pada jumlah inovasi yang meningkatkan daya saing bangsa.

Kondisi ini pastilah menjadi tantangan berat bagi perguruan tinggi dan program studi untuk secara sungguh-sungguh membangun tradisi dan budaya meneliti dan menulis yang pada kenyataannya memang harus ditingkatkan. Upaya Pemerintah melalui Kemenristekdikti yang memberikan penghargaan bagi dosen yang berhasil menembus jurnal internasional patut diapresiasi dan semoga dapat mendorong peningkatan jumlah tulisan dalam jurnal, terutama yang bertaraf internasional.

4) Sangat minimnya perolehan Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKi)

Dari 100 elemen penilaian untuk program sarjana, elemen ini yang paling jarang terisi. Sepenuhnya disadari bahwa tidak mudah memperoleh HaKi. Oleh karena itu bila sama sekali tidak berisi, harkat dan peringkatnya adalah 2 bukan 0. Bila ada satu HaKi yang diperoleh, harkat dan peringkatnya baik (3).

Rendahnya HaKi memang merupakan fakta yang membuat keprihatinan mendalam seperti yang diberitakan Kompas.com (17.11.2008) di bawah ini,

SURABAYA, SENIN - Sejak periode tahun 1985 hingga tahun 2007, penetapan Hak atas Kekayaan Intelektual atau HaKI di seluruh perguruan tinggi Indonesia hanya 419 buah. Padahal Indonesia memiliki sekitar 2.800 perguruan tinggi yang potensial menghasilkan hasil karya penelitian.

Ketua Tim HaKI Direktorat Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (DP2M) Dikti Prof Suprapto, Senin (17/11) di Surabaya mengatakan, kesadaran akademisi Indonesia terhadap pentingnya HaKI sangat rendah.  Hal ini terlihat dari kecilnya jumlah pengajuan paten terhadap karya-karya penelitian mahasiswa maupun para dosen.

"Sebagian besar hasil penelitian, pengabdian masyarakat, atau kreativitas mahasiswa hanya diwujudkan menjadi buku ajar ataupun laporan saja. Jika ada beberapa karya yang kemudian dipatenkan itupun hanya kebetulan saja karena mengikuti workshop," ujarnya di sela Pelatihan Pemanfaatan Hasil Penelitian Berpotensi Paten yang diselenggarakan Universitas Widya Mandala Surabaya bersama Dikti.

Menurut Suprapto, di Jepang pendaftaran paten mencapai 370.000 per tahun sedangkan di India mencapai 17.000 per tahun. Hal ini berbanding terbalik dengan frekuensi pengajuan paten di Indonesia yang dalam 23 tahun terakhir hanya 419 buah.

Semoga keadannya kini menjadi lebih baik. Diperlukan usaha keras agar HaKi di lingkungan perguruan tinggi meningkat. Karena HaKi yang meningkat bukan saja akan sangat membantu mendapatkan peringkat akreditasi yang baik. Lebih dari itu sangat membantu negara bangsa ini untuk mencapai kemajuan melalui inovasi.

5) Rendahnya kegiatan Pengabdian Kepada Masyarakat

Meskipun tidak sesedikit atau serendah penelitian, namun pengabdian kepada masyarakat yang dilakukan oleh program studi angkanya masih sangat memprihatinkan. Diperlukan usaha keras untuk meningkatkannya.

Paling tidak ada beberapa kategori program studi terkait dengan pengabdian kepada masyakat ini yaitu:

1. Program studi yang memiliki banyak pengabdian kepada masyarakat dan sesuai dengan program studinya, paling kurang memiliki keterkaitan dengan program studi. Jumlahnya tidak terlalu banyak.

2. Program studi yang memiliki banyak pengabdian kepada masyarakat, tetapi kurang sesuia atau tidak berkaitan dengan program studi. Jumlahnya lebih banyak dari yang pertama.

3. Program studi yang pengabdian kepada masyarakatnya tidak banyak dan sesuai atau terkait dengan program studi. Jumlahnya lebih banyak dibandingkan yang kedua.

4. Program studi yang pengabdian kepada masyarakatnya tidak banyak dan kurang atau tidak sesuai dengan program studi. Jumlahnya lebih banyak dibandingkan yang ketiga.

5. Program studi yang pengabdian kepada masyakat sangat sedikit, bahkan tidak ada. Jumlahnya merupakan yang terbanyak.

Tentu saja kondisi ini sangat tidak baik bagi keberadaan perguruan tinggi yang berkewajiban melaksanakan tridharma. Bagaimanapun masyarakat sangat berharap peran perguruan tinggi untuk membantu mencarikan solisi atas berbagai masalah yang dihadapi masyarakat.

7) Rendahnya keterlibatan mahasiswa dalam kegiatan pengabdian kepada masyarakat

Jika dibandingkan dengan keterlibatan mahasiswa dalam kegiatan penelitian, secara umum keterlibatan mahasiswa dalam kegiatan pengabdian kepada masyarakat lebih tinggi. Namun, karena jumlah program studi yang melaksanakan pengabdian kepada masyarakat masih rendah, maka keterlibatan mahasiswa otomatis masih rendah.

Inilah kondisi perguruan tinggi dan program studi saat ini. Bisa dibayangkan betapa besar tantangan yang dihadapi saat instrumen akreditasi BAN PT harus disesuaikan dengan Permenristekdikti 44/2015 yang memberikan perhatian dan porsi sangat besar pada penelitian dan pengabdian kepada masyarakat.

Sudah dapat dipastikan akan terjadi perubahan besar dalam instrumen akreditasi BAN PT terkait penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Paling kurang bobotnya akan ditingkatkan.

Penelitian dan pengabdian kepada masyarakat hanyalah salah satu masalah yang dialami oleh banyak perguruan tinggi dan program studi. Dari analisis yang dilakukan BAN PT terhadap program studi yang telah terakreditasi ditemukan, pada umumnya program studi masih sangat bermasalah pada Standar 3,4,5,6. Keadaannya semakin bermasalah di Luar Jawa.

Khusus untuk program studi yang terakreditasi C, pada Standar 3,4,5,6,7 masih sangat bermasalah. Rata-rata nilainya jauh dari baik (3). Perlu ditegaskan, standar yang rendah nilainya ini merupakan elemen penilaian yang sifatnya harus ditunjukkan bukti-bukti fisiknya, mulai dari dokumen sampai benda fisik seperti LCD atau komputer. Peringkat yang paling rendah adalah Standar 6 dan 7. Berikut dipaparkan satu per satu.

1) Standar 3 Mahasiswa dan Lulusan

1. Jumlah mahasiswa yang mendaftar sangat tidak memadai. Kemudian dari jumlah mahasiswa yang tidak memadai itu saat lulus tidak semua yang mendaftar. Dengan demikian jumlahnya jauh di bawah daya tampung yang disediakan program studi.

Bisa dipastikan, hal ini terjadi karena program studi dirasakan kurang baik oleh calon mahasiswa. Karena itu jumlah yang mendaftar, ikut seleksi dan bersedia untuk kuliah setelah lulus seleksi sangat rendah. Bila ini terjadi secara terus menerus pastilah program studi akan mengalami krisis keuangan. Jangankan untuk meningkatkan mutu, untuk bertahan hidup saja sudah sangat sulit.

2. Jumlah mahasiswa berlebih

Sejumlah program studi melakukan jalan pintas dengan cara membuka kelas nonregular, bahkan dapat dikategorikan kelas jauh. Banyaknya jumlah mahasiswa yang tersebar tempatnya memaksa program studi merekrut para guru dan pegawai dinas pendidikan menjadi dosen. Sudah dapat dipastikan rasio mahasiswa: dosen menjadi sangat jomplang. Program studi seperti inilah yang disidak okeh Tim Dikti dan masuk kategori program studi atau perguruan tinggi bermasalah.

Bukan hanya perguruan tinggi swasta yang melakukan praktik ini. Sejumlah perguruan tinggi negeri, bahkan yang masuk kategori terbaik melakukannya. Tentu saja praktik ini sangat merugikan mahasiswa dan masyarakat.

3. Banyaknya mahasiswa drop out (DO)

Pada sejumlah program studi terjadi angka DO yang tinggi. Kasus tingginya DO terutama terjadi pada perguruan tinggi kecil di kabupaten yang jumlah mahasiswanya memang tidak banyak. Biasanya alasan utama mahasiswa DO adalah ketiadaan biaya untuk melanjutkan studi.

4. Presentase kelulusan tepat waktu dan Rerata Indeks Prestasi Kumulatif

Untuk mendapatkan harkat dan peringkat sangat baik (4) untuk kelulusan tepat waktu adalah mencapai kelulusan tepat waktu sama atau lebih dari lima puluh persen. Sementara untuk mendapatkan nilai 4 untuk rerata indeks kumulatif jika indeks kumulatif sama dengan atau lebih besar dari 3.

Dalam pendekatan input, proses, output, tingginya persentase kelulusan tepat waktu dengan rerata indeks kumulatif tinggi merupakan indikator keberhasilan. Hal itu menunjukkan bahwa proses pembelajaran baik aspek bisnis akademik maupun bisnis administrasi sudah sangat baik. Hasil yang baik, pastilah akibat dari proses yang baik.

Berdasarkan dua indikator ini, program studi dapat dikatrgorikan menjadi:

1) Program studi sangat baik. Kelulusan tepat waktu di atas 50 persen dengan rerata indeks kumulatif 3 atau di atas tiga. Bila elemen penilaian yang lain sangat baik dan baik mereka terakreditasi A atau B. Jumlahnya tidak banyak

2) Program studi baik. Salah satu dari kedua indikator tersebut bisa mendapatkan harkat dan peringkat sangat baik (4). Jumlahnya lebih banyak dari program studi yang pertama

3) Program studi berkategori cukup. Salah satu indikator mendapat nilai baik (3), indikator yang lain mendapat nilai cukup (2). Jumlahnya lebih banyak dari program studi yang kedua

4) Program studi berkategori kurang. Salah satu indikator mendapat nilai cukup (2) yang lainnya kurang (1). Pada umumnya program studi peringkat C mengalami ini.

5) Program studi berkategori sangat kurang. Salah satu indikator mendapat nilai kurang (1) yang lainnya sangat kurang (0). Nyaris semua program studi yang tidak layak dan tidak terakrediasi masuk dalam kategri ini.

Bukan pekerjaan mudah untuk mendapatkan nilai baik dan sangat baik untuk elemen penilaian ini. Sebab penilaian cukup, kurang dan sangat kurang sangat dipengaruhi oleh standar lain seperti standar sumber daya manusia, kurikulum dan proses pembelajaran, dan pembiayaan.

5. Rendahnya prestasi mahasiswa
Prestasi mahasiswa dalam elemen penilaian ini meliputi bidang nalar, bakat, dan minat. Mendapat nilai sangat baik (4) bila tingkatnya nasional atau internasional. Sangat sedikit program studi yang bisa mendapatkan nilai sangat baik.

Masuknya elemen ini dalam penilaian karena perguruan tinggi atau program studi memang diharapkan bukan saja mengembangkan aspek akademik mahasiswa. Juga aspek-aspek lain yang mendorong mahasiswa agar menjadi kreatif, terbiasa dengan kompetisi dan berdisplin untuk mendapatkan prestasi.

6. Kurangnya pelayanan yang didapatkan mahasiswa dan rendahnya mutu layanan

Pada hampir semua program studi dan perguruan tinggi yang terakreditasi C, mahasiswa mendapatkan kesulitan akses layanan. Ada lima pelayanan yang diharapkan tersedia di perguruan tinggi yaitu Bimbingan dan Konseling, Minat dan Bakat (ekstra kurikuler), Pembinaan soft skill, Layanan beasiswa , dan Layanan Kesehatan.

Pada perguruan tinggi yang berkategori baik dan sangat baik, kelima layanan itu tersedia sebagai unit yang berkualitas baik atau sangat baik. Namun pada perguruan tinggi dengan akreditasi C, biasanya hanya sebagaian kecil saja yang tersedia dengan mutu sedang.

Padahal keberadaan layanan-layanan tersebut sangat penting untuk mendukung keberhasilan para mahasiswa. Juga memudahkan perguruan tinggi atau program studi untuk meningkatkan prestasi dan memecahkan masalah-masalah yang dialami mahasiswa di kampus.

7. Kurang baiknya hubungan dan kerjasama dengan lulusan atau alumni dan pengguna

Program studi yang baik melakukan pelacakan terhadap lulusan secara terencana, terstruktur dan terjadwal. Hasil pelacakan digunakan untuk memperbaiki dan meningkatkan mutu proses pembelajaran, penggalangan dana, informasi pekerjaan, dan membangun jejaraing.

Program studi juga membangun jejaring secara terstruktur dengan para alumni dengan cara mendorong alumni memiliki organisasi. Kemudian program studi memanfaatkan alumni secara optimal agar berpartisipasi bagi pengembangan program studi.

Begitu pula halnya dengan para pengguna. Hubungan yang baik dan terjaga dengan pengguna sangat membantu program studi untuk mendapatkan informasi tentang kualitas lulusan dan seberapa lama masa tunggu lulusan mendapatkan pekerjaan, dan informasi lain yang diperlukan bagi peningkatan dan pengembangan program studi.

Sebagian besar program studi yang terakreditasi C memang belum memiliki kemampuan untuk memenuhi elemen penilian ini. Ini terkait dengan lemahnya tatakelola, dan rendahnya kesadaran untuk memelihara hubungan baik dengan lulusan dan pengguna.

Banyaknya masalah pada Standar 3 ini menjadi tantangan yang tidak sederhana bagi perguruan tinggi dan program studi dengan terbit dan berlakunya Permenristekdikti 44/2015. Karena peraturan baru ini memberikan banyak tambahan dan penajaman bagi banyak standar yang harus dipenuhi oleh perguruan tinggi dan program studi.

Selain pada Standar 7 dan 3 yang dijelaskan di atas. Perguraun tinggi dan program studi juga mengalami masalah pada Standar 4 Sumber Daya Manusia terutama dosen.

Menristekdikti sebagaimana diberitakan Okezone (12.01.2016) menegaskan,

JAKARTA - Kualifikasi minimal dosen adalah S-2. Namun, saat ini masih ada 39 ribu dosen di Indonesia yang baru memiliki kualifikasi S-1 alias sarjana.

"Dalam waktu dekat, kami akan membentuk tim untuk mencari jalan keluar dari masalah ini. Jangan sampai ini menjadi masalah baru," ujar Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti), Mohammad Nasir dalam peluncuran Nomor Induk Dosen Khusus (NIDK) di Jakarta, Selasa (12/1/2016).

Dosen-dosen dengan gelar sarjana itu tidak hanya mengajar di perguruan tinggi swasta, tetapi juga di perguruan tinggi negeri seperti yang terjadi di sejumlah politeknik maupun akademi kesehatan yang berdiri sebelum tahun 2012.

Pada kesempatan lain Menristekdikti (Republika.Co, 04.09.2015) mengemukakan,

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) mengungkapkan rasio antara dosen dan mahasiswa di Perguruan Tinggi (PT) Indonesia belum sesuai.

Menurut Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Muhammad Nasir menegaskan, rasio idealnya sendiri 1:30 untuk Ilmu Eksakta. Sementara untuk Ilmu Sosial, kata dia, rasionya 1:40.

Nasir mengungkapkan, banyak Program Studi (Prodi) yang belum bisa mencapai rasio itu. Bahkan, lanjut dia, sebagian besar rasionya di atas angka itu.  Ia menerangkan, terdapat PT yang memiliki jauh dari rasio ideal, yakni 1:80 dan 1:100.

“Untuk itu masalah ini harus kami bicarakan dengan PT-PT Indonesia,” ujar Nasir usai Pelantikan Pejabat Eselon 2 di Gedung D Kemenristekdikti, Jakarta, Jumat (4/9). Ia juga mengatakan, pihaknya juga telah memetakan temuan PT atau Prodi yang kekurangan dosen. Dengan demikian, tambah dia, ini bisa menjadi jalan keluar dalam permasalahan ini.

Menurut Nasir, sebanyak 1469 Prodi di PT Negeri mengalami kekurangan dosen. Sedangkan, tambah dia, prodi di PT Swasta yang mengalamin kondisi itu berkisar 4597. Dengan kata lain, sebanyak 6066 prodi di PT-PT yang berada di bawah naungan Kemenristekdikti masih membutuhkan dosen lebih banyak lagi.

Nasir juga menyebutkan jumlah prodi yang berada di situasi yang sama pada lembaga-lembaga lain. Menurut dia, 2583 prodi di lembaga lain mengalami kekurangan dosen. Artinya, tegas dia, 8649 prodi di PTN, PTS dan lembaga lain masih memerlukan pasokan dosen.“Itu jumlah total, baik di bawah naungan pihaknya maupun bukan,” tutupnya.

Meskipun di perguruan tinggi dan program studi sumber daya manusia yang terlibat bukan hanya dosen, ada tenaga kependidikan dan administrasi. Namun, dosen memiliki kedudukan yang sangat penting dan menentukan. Apa yang dikemukakan Menristekdikti di atas menunjuktegaskan bahwa masalah kekurangan dosen merupakan masalah yang berskala besar dan sangat menentukan keberadaan, kebertahanan dan kemanjuan perguruan tinggi dan program studi.

Masalah di atas yaitu kekurangan dosen dan tidak memenuhi kualifikasi merupakan masalah utama dan umum terkait dosen. Masih terdapat sejumlah masalah terkait dosen yang membuat banyak perguruan tinggi dan program studi terakreditasi C, bahkan tidak terakreditasi. Sejumlah masalah tersebut diuraikan berikut ini.

1. Lemahnya tatakelola dosen

Termasuk dalam tatakelola adalah tersedianya pedoman dan pelaksanaan secara konsisten pedoman dimaksud. Pedoman itu berisi aturan tentang seleksi, rekrutmen, penempatan, penugasan, dan penghargaan serta sanksi bagi dosen. Juga tentang pemantauan, evaluasi, dan rekam jejak kinerja dosen. Evaluasi kinerja tentu saja dalam pembelajaran, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat.

Tatakelola ini sangat penting untuk mengatur, memastikan, dan memantau agar dosen bekerja dengan baik dan menampilkan kinerja yang baik dan bermutu. Sebagian besar perguruan tinggi dan program studi yang terakreditasi C kurang memerhatikan tatakelola ini.

2. Dosen kurang memerhatikan karier terkait dengan jabatan akademik

Kewenangan dosen sangat tergantung pada jabatan akademik yang disandangnya. Bila para dosen memiliki jabatan akademik yang rendah tentu saja ia tidak dapat bekerja dengan maksimal karena tidak dapat dilibatkan pada pekerjaan pokok seperti mengajar secara mandiri dan menjadi pembimbing. Namun kenyataannya banyak dosen yang memiliki jabatan akademik yang kurang memadai karena tidak memenuhi syarat untuk naik jabatan.

3. Beban kerja yang kurang sesuai

Pada program studi yang kekurangan dosen sebagaimana dijelaskan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi di atas, dosen harus mengajar banyak kelas dan mata kuliah. Beban kerja mereka sangat berlebih. Akibatnya mereka terkendala untuk melakukan penelitian, pengabdian kepada masyarakat, dan kegiatan pengembangan diri lainnya.

Pada sejumlah kasus karena tatakelola yang kurang baik, dosen pada program studi tertentu mendapat beban kerja yang kurang dari kewajiban yang seharusnya.  Meski jumlahnya tidak banyak, tentu saja keadaan ini dapat merugikan program studi dan pengembangan karir dosen.

4. Ketidaksesuian keahlian dosen dengan mata kuliah yang diampunya

Dalam jumlah yang banyak pada program studi terakreditasi C, dan dalam jumlah yang lebih sedikit pada program studi yang terakreditasi B, ketidaksesuian ini terjadi. Bisa dipastikan penyebab umumnya adalah kurangnya jumlah dosen. Di beberapa program studi hal ini terjadi karena dosen yang sesuai sedang mengikuti studi lanjut. Penggantinya bukan dosen yang sesuai dengan mata kuliah yang diajarkan.

5. Ketidakdisiplinan dosen

Ketidakdisiplinan ini sangat banyak bentuknya, mulai dari tidak membuat rencana pembelajaran sampai pada  ketidakhadiran memberi kuliah. Meskipun dalam borang disebutkan dosen berdisplin, namun saat visitasi, dokumen pendukung kedisiplinan tidak dapat ditunjukkan. Ketidakdisiplinan itu diperkuat oleh pengakuan mahasiswa yang diwawancara. Melalui wawancara kepada mahasiswa ditemukan ketidakdisiplinan lain terkait dengan tugas yang terlambat atau tidak dikembalikan.

6. Kurangnya aktivitas pengembangan diri

Sebagian besar dosen pada program studi terakreditasi C hanya mengajar. Jarang atau tidak pernah mengikuti kegiatan ilmiah seperti seminar, dan lokakarya. Mereka juga tidak berprestasi seperti berusaha mendapatkan hibah penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Sangat sulit menemukan karya ilmiah yang mereka hasilkan.

7. Jumlah dosen tidak tetap masih banyak

Oleh karena kurangnya dosen tetap, pada sejumlah besar program studi terutama yang terakreditasi C jumlah dosen tetap lebih banyak dari yang diperbolehkan oleh aturan. Seringkali dosen tidak tetap itu mengajar tidak sesuai dengan keahliannya.

8. Kurangya dukungan terhadap pengembangan kemampuan dosen

Pada sebagian besar program studi yang terakreditasi C, upaya untuk meningkatkan kemampuan dosen melalui tugas belajar atau mengikutsertakan dosen dalam berbagai kegiatan akademik yang bertujuan meningkatkan kemampuan dosen sangat jarang dilakukan. Akibatnya dosen mengalami hambatan untuk pengembangan karir dalam jabatan akademik.

Selain masalah-masalah dosen di atas, perguruan tinggi dan progrm studi juga menghadapi masalah terkait dengan tenaga kependidikan yang terdiri dari pustakawan, laboran, teknisi, operator, programer, dan tenaga administrasi. Persoalan utama adalah jumlah yang kurang dan kualifikasi yang rendah.

Pastilah masalah sumber daya manusia, terutama dosen, akan menghadapi tantangan baru yang lebih serius tatkala Permenristekditi 44/2015 dilaksanakan. Sebab terdapat berbagai ketentuan baru terkait dengan dosen.

Masalah lain yang juga menyulitkan perguruan tinggi dan program studi terkait dengan Standar 5 Kurikulum, Pembelajaran, dan Suasana Akademik. Permenristekdikti 44/2015 menegaskan dan menguraikan beragam kebaruan terkait dengan standar pembelajaran. Terutama penjabaran lebih rinci tentang KKNI. Tentu saja beragam kebaruan ini akan memperhadapkan perguruan tinggi dan program studi pada tantangan yang tidak mudah.

Sejumlah masalah yang dihadapi program studi terkait dengan Standar 5 menggunakan instrumen yang sekarang digunakan dirinci di bawah ini.

1. Kompetensi lulusan dirumuskan dengan kurang lengkap dan jelas

Kurikulum harus berisi kompetensi lulusan yang dirumuskan dengan lengkap dan jelas. Lengkap bermakna ada kompetensi utama, pendukung dan lainnya. Ada kaitan antara kompetensi utama dan pendukung. Kejelasan rumusan terlihat dari isi kompetensi yang terurai dan terukur. Banyak program studi yang terakreditasi C tidak atau kurang lengkap dan jelas menguraikan kompetensi lulusan. Biasanya uraiannya sangat umum, tidak menggambarkan spesifikasi kompetensi utama.

2. Kurang sesuai dengan visi dan misi

Visi adalah rumusan yang menunjukkan arah dan tujuan yang hendak dicapai pada masa depan sebagai antisipasi perguruan tinggi dan program studi terhadap tuntutan dan tantangan perkembangan masyarakat. Seringkali rumusan visi sangat visioner dan berorientasi masa depan, namun kurikulum yang dirumuskan kurang sesuai dengan rumusan visi tersebut.

3. Struktur kurikulum kurang baik

Setidaknya ada tiga indikator yang menunjukkan struktur kurikulum kurang baik. Pertama, ketidaksesuian mata kuliah, baik isi maupun urutannya dengan standar kompetensi lulusan. Kedua, beberapa program studi tidak merumuskan standar kompetensi. Ketiga, kecil bahkan tidak ada mata kuliah yang memberikan bobot pada tugas atau praktik untuk mendapatkan nilai akhir. Artinya mata kuliah sepenuhnya bersifat kognitif akademik.

4. Minimnya rencana atau rancangan kuliah dalam bentuk silabus dan Satuan Acara Perkuliahan (SAP)

Kurikulum harus dijabarkan menjadi rinci dalam bentuk silabus dan SAP. Dengan demikian ada pedoman dan pegangan yang pasti dan terukur bagi mahasiswa dan dosen untuk melaksanakan proses pembelajaran. Silabus dan SAP digunakan juga untuk memastikan bahwa proses pembelajaran berjalan dengan tersistem, terjadwal, terstruktur dan terukur. Namun, banyak program studi yang tidak memiliki silabus dan SAP, memiliki hanya untuk sejumlah kecil mata kuliah, atau memiliki dalam bentuk selembar kertas yang berisi topik kuliah satu semester.

5. Minimnya praktikum

Pada program studi apapun praktikum merupakan bagian penting dalam kurikulm yang harus dilaksanakan dalam proses pembelajaran. Namun, banyak program studi yang belum melaksanakannya atau melaksanakannya secara seadanya. Ada yang sudah memiliki modul praktikum, namun belum dilaksanakan. Ada pula yang mengusahakan praktikum memanfaatkan laboratorium pada perguruan tinggi lain.

6. Peninjauan kurikulum belum baik

Kurikulum harus ditinjau setidaknya lima tahun sekali agar perubahan ilmu, teknologi, tuntutan dan kebutuhan masyarakat dapat diantisipasi dan menjadi masukan bagi perubahan kurikulum. Dengan demikian program studi dapat memberikan "menu" yang mutakhir dan tidak basi kepada para mahsiswa. Banyak program studi yang tidak melakukan keharusan ini ini atau melakukannya dengan cara yang tidak memenuhi syarat peninjauan dan perubahan kurikulum. Misalnya tidak melibatkan para pemangku kepentingan, pengguna dan ahli sesuai bidangnya.

7. Pelaksanaan proses pembelajaran belum memenuhi syarat yang baik

Proses pembelajaran semestinya memperhatikan syarat akademik dan administrasi. Syarat administrasi tetkait dengan pencatatan kehadiran dosen dan mahasiswa. Bila disen dan mahasiswa tidak memenuhi jumlah minimal kehadiran ada konsekuensi pada nilai dan penyelesaia kuliah. Sementara itu syarat akademik terdiri dari ketersediaan materi kuliah, mutu mengajar dosen, kedisiplinan dosen, penggunaan keberagaman pendekatan, metode, dan strategi pembelajaran, dan pemanfaatan media pembelajaran.

Sampai saat ini masih sangat banyak program studi yang belum dapat memenuhi persyaratan ini dengan baik. Kualifikasi dosen dan terbatasnya sarana dan prasaran menjadi kendala utama.

8. Mekanisme penyusunan materi kuliah belum memenuhi syarat

Materi kuliah seharusnya tidak disusun oleh seorang dosen, tetapi oleh kelompok dosen dalam satu bidang ilmu. Agar materi kuliah itu bermutu dan bermakna harus pula mendapat masukan dari dosen lain di luar kelompok yang membuat, dan lulusan, serta pengguna lulusan.

Dalam jumlah yang masih sangat banyak, program studi belum melaksanakan mekanisme standar ini. Ada sejumlah program studi yang telah melibatkan kelompok, namun belum melibatkan pengguna lulusan.

9. Mutu soal ujian belum baik

Mutu soal ujian yang bermutu bisa diukur dengan banyak cara. Mengukur kecocokannya dengan silabus dan SAP yang telah disusun termasuk di dalamnya kecocokan dengan kompetensi yang hendak dicapai mata kuliah, kesesuaian dengan spesifikasi mata kuliah, tingkat kesulitan, kategori ranah belajar yang telah ditetapkan, dan bentuk soal yang sesuai.

Tidak sedikit program studi yang sangat terbatas bentuk soal ujiannya, dan tingkat kecocokannya dengan silabus dan SAP masih rendah.

10. Tatakelola Pembimbingan Akademik (PA) belum baik

Tatakelola Pembimbingan Akademik mengurusi pengaturan, pelaksanaan, dan pengawasan agar dapat berjalan dengan baik dan memberikan manfaat bagi mahasiswa. Sampai saat ini sejumlah besar program studi, terutama yang terakreditasi C belum dapat memberikan layanan PA seperti yang diharapkan karena jumlah rata-rata mahasiswa yang dilayani lebih dari 20. Ini terjadi karena jumlah dosen yang kurang. Akibatnya dalam pelaksanaan bimbingan menjadi tidak efektif. Karena jumlah pertemuan antara PA dengan mahasiswa sangat terbatas. Pada beberapa program studi, buku panduan PA juga belum dibuat.

11. Pembimbingan Tugas Akhir belum memadai
Sejumlah masalah terkait pembimbingan yang masih dialami oleh sejumlah program studi adalah:

a. Tidak memiliki buku panduan, memiliki buku panduan yang tidak lengkap, memiliki buku panduan yang baik tetapi kurang disosialisasikan

b. Jumlah mahasiswa yang dibimbing oleh seorang dosen sangat banyak

c. Jumlah rata-rata pertemuan dengan mahasiswa untuk pembimbingan belum memadai

d. Kualifikasi dosen pembimbing masih ada yang belum memenuhi syarat yaitu S2. Ada yang sudah S2 tetapi tidak sesuai dengan keahliannya

e. Akibatnya waktu penyelesaian tugas akhir mahasiswa menjadi sangat lama.

12. Perbaikan sistem pembelajaran kurang mendapat perhatian

Perbaikan sistem pembelajaran paling tidak dilakukan untuk memutakhirkan materi perkuliahan, memperbarui dan memperkaya metode pembelajaran, memvariasikan cara-cara evaluasi, dan meningkatkan penggunaan teknologi pembelajaran.

Terdapat keberagaman kategori program studi jika dilihat dari upayanya untuk memperbaiki sistem pembelajaran, terutama yang terakreditasi C. Terdapat program studi yang sama sekali tidak melakukan dalam jangka sangat panjang. Kebanyakan hanya melakukan perbaikan terhadap materi perkuliahan. Meningkatkan teknologi pembelajaran paling jarang dilakukan karena keterbatasan dana. Cara-cara evaluasi tidak dilakukan karena soal ujian sudah tersedia dan dianggap cukup baik untuk terus digunakan.

13. Kebijakan dan aturan terkait suasana akademik kurang mendapat perhatian

Suasana akademik dibangun dengan memerhatikan otonomi keilmuan, kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan kemitraan dosen-mahasiswa. Program studi terakreditasi C jarang sekali dapat melaksanakan kebijakan dan aturan menyangkut upaya membangun suasana akademik ini. Para dosen jarang sekali memiliki waktu untuk membangun kemitraan di luar perkuliahan.

14. Interaksi akademik tidak memadai

Termasuk dalam interaksi akademik adalah kegiatan akademik selain perkuliahan dan tugas-tugas khusus. Di dalamnya termasuk seminar, lokakarya, bedah buku dan interaksi akademik dosen-mahasiswa di luar perkuliahan.

Tidak sedikit program studi terutama yang terakreditasi C belum mampu secara baik menjalankan interkasi akademik ini. Bahkan pada beberapa program studi, untuk waktu yang panjang tidak mengadakan kegiatan akademik selain perkuliahan.

15. Pengembangan perilaku kecendikiawanan

Sebagai bagian dari perujudan tridharma perguruan tinggi, perguruan tinggi khususnya program studi harus mengembangkan perilaku kecendekiawanan yang antara lain berbentuk kegiatan penanggulangan kemiskinan, pelestarian lingkungan, peningkatan kesejahteraan masyarakat, penanggulanagn masalah ekonomi, politik, sosial, budaya, dan lingkungan.

Harus diakui belum semua program studi secara teratur dan terjadwal mengembangkan kegiatan-kegiatan yang disebutkan di atas. Kegiatan masih terpusat pada proses pembelajaran.

16. Ketersediaan sarana dan prasarana penunjang kegiatan interaksi akademik masih kurang

Masih sangat banyak program studi yang belum memiliki kemamouan untuk memenuhi ketersediaan sarana dan prasarana untuk mendukung kegiatan interaksi akademik. Tampaknya dana dan daya yang dimiliki sudah digunakan untuk kegiatan utama yaitu perkuliahan.

Khusus untuk Standar 5 Kurikulum, Pembelajaran dan Suasana Akademik keadaannya sama dengan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Permenristekdikti 44/2015 sangat banyak menyodorkan pembaruan yang mengharuskan perguruan tinggi dan program studi bekerja sangat keras untuk memenuhinya.

Pengintegrasian KKNI dan pemerinciannya dalam Permenristekdikti 44/2015 mengharuskan perguruan tinggi dan program studi untuk melaksanakannya. Bagi program studi yang telah terakreditasi A dan sebagian yang terakreditasi B keharusan ini tidak akan menimbulkan masalah. Tidak demikian halnya dengan sejumlah program studi yang terakreditasi B dan yang terakreditasi C. Keharusan ini akan menjadi masalah dan tantangan yang sangat serius.

Selain masalah yang telah di urai di atas, setidaknya masih terdapat dua masalah lagi yang perlu mendapat perhatian terkait dengan pelaksanaan Permenristekdikti 44/2015. Pertama, pemenuhan Standar 6 Pembiayaan, Sarana dan Prasarana serta Sistem Informasi. Banyak kebaruan yang terdapat dalam Permenristekdikti 44/2015 terkait dengan standar ini. Kedua, banyaknya perguruan tinggi dan program studi bermasalah.

Jumlah perguruan tinggi dan program studi bermasalah sempat menjadi kontroversi. Namun merupakan fakta tak terbantahkan bahwa perguruan tinggi dan program studi bermasalah memang tidak sedikit jumlahnya.

Di BAN PT perguruan tinggi dan program studi bermasalah tidak dilayani sampai masalahnya selesai. Bahkan jika sedang dalam proses muncul masalah, prosesnya ditunda sampai masalahnya selesai. BAN PT menetapkan perguruan tinggi dan program studi bermasalah berdasarkan sejumlah pertimbangan yaitu:

1. Ada surat dari lingkungan Kemristekdikti dan/atau Kopertis yang menyatakan perguruan tinggi atau program studi sedang bermasalah. Masalah yang dihadapi perguruan tinggi atau program studi sangat beragam yaitu menyelenggarakan kelas jauh, konflik, proses pembelajaran tidak memenuhi syarat, dugaan menjual ijazah, dan sejumlah masalah administratif

2. Informasi dari PD DIKTI yang menyatakan perguruan tinggi atau program studi nonaktif, dosen tetap kurang dari enam.

3. Informasi dari berbagai sumber yang harus diverifikasi seperti laporan masyarakat dan media massa.

Tentu saja harus ada langkah-langkah nyata untuk membantu perguruan tinggi dan program studi bermasalah agar bisa keluar dari masalah dan bisa fokus untuk menghadapi tantangan baru terkait dengan pelaksanaan Permenristekdikti 44/2015,

Kemenristekdikti tampaknya telah menyiapkan sejumlah kebijakan, program dan kegiatan untuk mengantisipasi tantangan yang akan ditimbulkan oleh pelaksanaan Permenristrkdikti 44/2015. Semoga program-program tersebut dapat membantu perguruan tinggi dan progrm studi mrnghadapi tantangan yang tidak mudah dan tidak sederhana.

Sebagai solusi yang tampaknya juga mungkin dilaksanakan berikut disarankan sejumlah program yang dapat dilaksanakan dengan semangat gotong royong antara perguruan tinggi. Akan menjadi lebih bagus bila Pemerintah ikut serta untuk melaksanakannya.

Program tersebut adalah Pola Asuh Dua Arah. Perguruan tinggi dan program studi yang telah mendapat akreditasi A dalam satu wilayah seperti Universitas Gajah Mada, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Universitas Negeri Yogyakarta, Universitas Islam Indonesia, Universitas Sanata Dharma, dan Universitas Atma Jaya Yogyakarta diminta membina perguruan tinggi dan program studi terutama yang terkreditasi C. Ragam pola asuh itu sangat banyak yaitu:

1. Bimbingan berjangka (3-6 bulan) oleh Asesor dari program studi peringkat A ke program studi peringkat C dalam satu wilayah.

2. Cangkok Pimpinan program studi (3-6 bulan) dari program studi peringkat A untuk membantu pembenahan dan penyelenggaraan tata kelola di program studi peringkat C dalam satu wilayah.

3. Cangkok Dosen (1 semester) dari program studi peringkat A dalam team teaching di program studi peringkat C dalam satu wilayah.

4. Kewajiban Dosen Lektor Kepala dan Guru Besar dari program studi peringkat A untuk mengajak Dosen Muda dari program studi peringkat C dalam satu wilayah sebagai mitra penelitian (1 : 3)

5. Magang Pimpinan program studi (3-6 bulan) dari program studi peringkat C di Prodi peringkat C dalam satu wilayah.

6. Magang Dosen (1 semester) dari program studi peringkat C dalam team teaching di program studi peringkat A dalam satu wilayah.

7. Pembentukan kelas binaan di program studi peringkat A untuk mata kuliah strategis bagi Mahasiswa terpilih dari program studi peringkat C dalam satu wilayah.

Program Pola Asuh ini bisa dilaksanakan sebagai bentuk CSR dari perguruan tinggi dan program studi peringkat A untuk program studi peringkat C. Sebab tantangan yang kini dihadapi pendidikan tinggi adalah tantangan bagi kita semua yang terus mengupayakan yang terbaik bagi negara bangsa ini.

PERMENRISTEKDIKTI 44/2015 MEMPERHADAPKAN PENDIDIKAN TINGGI PADA TANTANGAN BARU DAN TIDAK MUDAH, DALAM SEMANGAT KEBERSAMAAN PASTI BISA DILAMPAUI,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

setiap komentar yang masuk akan terkirim secara langsung ke alamat email pribadi Bapak DR. Nusa Putra, S.Fil, M.Pd