Rabu, 23 Maret 2016

HIDUP TAK PERNAH BISA KITA GENGGAM

Bila kematian datang, ia datang dengan cara yang tak pernah bisa kita duga. Sebab kematian adalah rahasia Allah yang tak permah diketahui kapan datangnya dan dengan cara apa.

Aku mendapat tugas ke Aceh dalam rangka pelatihan. Entah kenapa aku minta pindah ke Medan. Sebenarnya Aceh dan Medan adalah kampung halamanku. Meski lahir di daerah sekitar Medan, namun ayahku adalah campuran Aceh-Pacitan. Jadi ke Aceh atau Medan, tetaplah bermakna pulang kampung bagiku.

Sampai di Medan aku fokus pada acara pelatihan. Aku telah menyusun rencana, Selasa 22 Maret 2016 setelah maghrib akan berkeliling ke rumah keluarga di Medan yang jaraknya tidaklah terlalu jauh dari hotel tempatku menginap.

Selasa pagi sekitar pukul delapan tiga puluh, istriku menelepon dari Jakarta, beritanya makcik atau tanteku meninggal di rumah sakit Pirngadi Medan. Aku sangat kaget. Rencana kunjunganku Selasa sore antara lain adalah ke rumah makcikku itu.

Setelah pamitan pada koordinator acara pelatihan, aku meluncur ke rumah almarhumah macikku. Saat aku tiba jenazahnya baru saja sampai di rumah. Semua saudara terheran-heran mengapa aku sudah sampai padahal kabar baru saja dikirimkan. Aku memang tidak mengabarkan jika sedang tugas di Medan.

Aku berada di tempat duka sampai pemakaman selesai. Kemudian kembali lagi ke hotel untuk melanjutkan pekerjaan.

Faktanya kita hidup, menjalani hidup dan menyusun banyak rencana. Seringkali kita merasa bisa mengatur hidup karena banyak rencana yang disusun bisa diwujudkan. Janganlah karena berbagai keberhasilan mewujudkan rencana, kita merasa sebagai pihak yang menentukan. Merasa bahwa hidup bisa kita kendalikan dan atur semaunya. Merasa dan yakin hidup ada dalam genggaman.

Percayalah, itu keyakinan yang sangat salah. Keyakinan kayak gitu hanya ilusi. Keyakinan bahwa kita bisa sepenuhnya mengatur hidup adalah akar dari kemarahan, kecewa dan frustrasi saat ada hambatan atau musibah yang menghadang kita. Kita merasa sangat marah kala rencana yang disusun terganggu atau bahkan tidak berjalan, atau berjalan tetapi melenceng dari rencana semula.

Inilah hidup manusia. Manusia hakikinya tidak pernah bisa mengetahui apa yang akan terjadi pada kenantian. Baik kenantian yang dekat apalagi yang jauh. Saat memejamkan mata untuk tidur, kita tidak pernah tahu apakah masih akan bangun besok pagi, atau terus tertidur dan dikuburkan para tetangga.

Kala asyik menikmati makan siang, kita tak pernah tahu apakah akan menjadi kenyang atau malah sakit perut, buang-buang air, muntah-muntah dan masuk rumah sakit karena ternyata ada yang tidak beres dalam makanan yang dengan nikmat kita santap.

Seringkali kita dibuat kaget, karena seorang teman segar bugar saat pergi kerja pada pagi hari, dan meninggal di kantor sewaktu rapat. Sama sekali tak ada tanda-tanda ia sakit.

Jika manusia berbicara tentang kenantian, persis seperti mendiskusikan kematian, apakah berupa prediksi, prakiraan atau ramalan, hakikinya merupakan sebuah upaya untuk menyusun semacam tebak-tebakan yang sama sekali tak memiliki kepastian. Meskipun dibuat dengan dukungan perhitungan matematika dan statistik, dan data yang sangat banyak. Kenantian seperti kematian tetap saja merupakan misteri, teka-teki tak bertepi.

Sejatinya hidup adalah perjalanan meninggalkan kekinian, melalui kenantian menuju kematian. Dalam melalui kenantian itu kita tak pernah tahu, kapan kematian itu tiba-tiba menyergap.

Saat memutuskan pergi ke Medan aku hanya berpikir tentang menjalankan tugas, dan kesempatan untuk mengurusi makam ayahku, serta bertemu dengan sejumlah saudara. Bahwa kemudian  dikejutkan oleh meninggalnya makcikku, aku sama sekali tidak pernah memikirkan, meramalkan, memperhitungkan dan memprediksinya.

Setahun yang lalu, tepatnya 27 Maret 2015 sekitar pukul sepuluh pagi ayahku meninggal, malam sebelumnya 26 Maret 2015 sekitar pukul dua puluh kakak sepupuku meninggal. Saat itu sangat sulit mencari tiket pesawat ke Medan karena ada upacara Ceng Beng, sembahyang leluhur yang dilakukan orang-orang Tionghoa. Hanya aku yang sampai ke Medan dan ikut menguburkan ayahku. Dua kakakku tidak mendapat tiket pesawat.

Kini bertepatan aku sedang tugas di Medan, makcikku meninggal. Sungguh kita sama sekali tidak dapat berbuat apapun menghadapi kenyataan seperti ini.

Aku memaknani keadaan ini dengan positif. Aku merasa beruntung karena berada di Medan saat makcikku wafat. Aku bisa ikut meyelenggarakan fardhu kifayah dan berkumpul dengan keluarga besar. Sama sekali di luar rencana dan dugaanku.

Kini macikku telah jelas akhir hidupnya sebagaimana emakku, ayahku, uwakku, kakak iparku, dan banyak anggota keluarga yang telah mendahului. Menghadapi kenantian dan kematian yang pasti menyambangi, aku hanya bisa terus berbuat baik sebisa dan sekuat tenaga.

Manusia boleh dan bisa membuat rencana apapun untuk menghadapi kenantian. Namun, ia tak pernah tahu, apa yang terjadi pada kenantian itu. Hidup terus berlanjut untuk sementara waktu, atau kematian menyambangi. Inilah nasib dan kuasa terbatas manusia. Karena

HIDUP TAK PERNAH BISA KITA GENGGAM.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

setiap komentar yang masuk akan terkirim secara langsung ke alamat email pribadi Bapak DR. Nusa Putra, S.Fil, M.Pd