Rabu, 23 Maret 2016

PARTAI POLITIK: MUKA JELEK, CERMIN DIREMUKKAN

Apa yang membuat rakyat masih mau datang memberikan suaranya dalam pilpres yang memenangkan Jokowi-Jusuf Kalla, dan pilkada serentak 2015? Apakah karena rakyat masih percaya pada partai politik atau tertarik pada para calon yang membawa harapan baru?

Saat kampanye pilpres muncul slogan, Jokowi, Yes! PDIP, No! Sama dengan saat SBY terpilih jadi presiden, suara pemilih Jokowi-JK melampaui suara pemilih partai yang mendukungnya. Ini adalah fakta tak terbantahkan bahwa sebagian besar rakyat Indonesia lebih percaya kepada tokoh daripada partai politik.

Sebagian rakyat sudah sangat lama merasa ragu bahkan muak terhadap partai politik. Rendahnya partisipasi pemilih pada berbagai pemilihan pada berbagai tingkat adalah salah satu indikatornya. Caci maki terhadap partai yang diungkapakan lewat berbagai cara, terutama media sosial merupakan indikator yang lain.

Sebenarnya sewaktu reformasi baru saja bergulir, rakyat mulai membangun harapan dan rasa percaya pada partai yang belum pernah berkuasa dan menjadi korban seperti PDIP, dan partai-partai baru. Partai yang terus menerus berkuasa selama Orde Baru yaitu Golkar mulai ditinggalkan.

Namun apa boleh buat. Dalam pergeseran waktu semua partai politik menunjukkan kecenderungan perilaku yang sama yaitu semakin sulit dipercaya. Partai politik lebih banyak dijadikan kendaraan untuk mencapai tujuan-tujuan sempit jangka pendek individu atau kelompok-kelompok yang ada di dalam partai politik daripada untuk memperjuangkan kepentingan rakyat. Rakyat lebih sering hanya diatasnamakan. 

Semua pengejaran kepentingan pribadi dan kelompok itu terungkap paling jelas dalam kasus-kasus korupsi yang melibatkan kader partai politik pada berbagai posisi. Seringnya terungkap korupsi berjamaah dengan semangat gotong royong yang dilakukan semua partai politik semakin menegaskan bahwa partai politik memang sangat sulit dipercaya.

Argumentasi yang coba dikedepankan partai-partai politik baru bahwa masih sedikit kader mereka yang terlibat korupsi pastilah tidak akan pernah diterima. Rakyat berpikir, baru saja berdiri, baru saja mendapat bagian remah kekuasaan, sudah ikut-ikutan korupsi. Bagaimana jika kekuasaannya lebih besar dan berlangsung lama? Ketidakpercayaan semakin meningkat karena nyaris semua janji kampanye diingkari. Sementara itu setelah berkuasa, tokoh-tokoh politik secara sangat nyata mengangkat orang-orang politik atau orang-orang dari kelompoknya dalam jabatan-jabatan strategis yang seharusnya mempersyaratkan kompetensi profesional. Namun kebanyakan orang yang diangkat itu kurang atau tidak memenuhi persyaratan dimaksud. 

Mudah ditebak mengapa orang-orang seperti itu yang diangkat. Motifnya tak lebih dari memanfaatkan kekuasaan untuk mengeruk sebanyak mungkin keuntungan. Sebagai contoh jika dibandingkan kekayaan Nazaruddin, Sutan Bathoegana dan Anas Urbaningrum, berdasarkan temuan KPK, sebelum dan sesudah masuk partai dan ikut berkuasa, sungguh berbeda. Penambahannya luar biasa dan fantastis.

Contoh lain adalah kekayaan kader Golkar yang menjadi penguasa di Provinsi Banten yaitu keluarga Atut. Sangat sulit memahami bagaimana keluarga itu mengumpulkan kekayaan yang jumlahnya sangat fantastis. KPK membuktikan, sebagian sumbernya adalah korupsi. Karena itu  kebanyakan kita percaya bahwa di Indonesia kekuasaan sama dengan korupsi. Bukan kekuasaan cenderung korupsi.

Ketidakpercayaan juga datang dari fakta bagaimana para kader partai politik dan partai politik menghalalkan segala cara untuk memenangkan pemilihan pada berbagai tingkat. Dengan cara menggunakan ijazah palsu, mempraktikkan politik uang dan intimidasi, serta berbagai bentuk kecurangan lain. 

Cara-cara curang inilah yang kemudian menghasilkan para kepala daerah yang bermasalah. Selain masalah korupsi yang paling populer, juga ada masalah pelanggaran etika, dan narkoba. Bupati Ogan Ilir yang merupakan kader utama Golkar yang kecokot saat pesta sabu adalah contoh tak terbantahkan hasil dari praktik bermasalah memenangkan pemilihan.

Di Riau, tiga gubernur yang semuanya kader Golkar menjadi terdakwa kasus korupsi. Sebenarnya sangat mengherankan mereka bisa memenangkan pemilihan. Sebab dalam jabatan sebelumnya dugaan korupsi itu sudah tercium. 

Partai politik juga tampaknya tak peduli dengan perilaku kadernya yang nyata-nyata sudah melanggar hukum. Lihatlah bagaimana Nurdin Khalid yang pernah menjadi terdakwa kasus korupsi bisa memiliki jabatan penting dalam kepengurusan Golkar di bawah komado Aburizal Bakrie. Sementara itu Setya Novanto yang membuat heboh karena dugaan pencatutan nama Presiden dan Wakil Presiden, serta dinyatakan bersalah oleh Majelis Kehormatan Dewan, diangkat menjadi ketua Fraksi Golkar di DPR RI. Ada pula bupati yang telah jadi tersangka kasus korupsi tetap diusung menjadi bupati pada pemilihan berikutnya. Semua ini menunjukkan pelanggaran kepantasan dan etika dilakukan secara terang-terangan. Rupanya urat malunya sudah pada putus.

Faktor lain yang membuat masyarakat semakin tidak percaya dan muak pada partai politik adalah tindakan mereka mempertontonkan sikap negatif, saling menyerang seperti yang ditunjukkan para tokoh utama dan senior seperti Golkar dan PPP. Mereka berlomba saling membuka aib lawan-lawannya kepada publik. Dengan demikian masyarakat mendapat kesan, sangat sulit mencari orang yang jujur dan bersih dalam partai politik. Tragisnya aib itu justru dibuka oleh orang-orang partai politik sendiri.

Dalam situasi ketidakpercayaan yang terus meningkat terhadap partai politik, muncullah tokoh-tokoh dari berbagai tempat. Jokowi di Solo, Ahok di Belitung, Risma di Surabaya, Ridwan Kamil di Bandung dan sejumlah tokoh di berbagai tempat lain. Pada umumnya di tingkat dua, kotamadya atau kabupaten.

Berbagai pilkada yang melibatkan tokoh-tokoh ini menunjukkan bahwa mereka mendapat dukungan dalam jumlah yang fantastis dari masyarakat. Kecintaan masyarakat tampak paling jelas pada dukungan terhadap tawaran-tawaran program yang mereka sodorkan dan pada umumnya berhasil.

Para pemimpin lokal ini menonjolkan cara-cara baru dalam memimpin, berkomunikasi dengan rakyat, dan memahami aspirasi masyarakat. Mereka tidak punya kaitan apapun dengan rezim otoriter Orde Baru. Karena itu merupakan generasi baru pemimpin Indonesia.

Bila mereka sangat berbeda dengan SBY, Megawati, Amien Rais, Prabowo, Aburizal Bakrie, Wiranto, Surya Paloh, Jusuf Kalla, dan banyak tokoh lain, karena mereka tidak pernah terkontaminasi oleh Orde Baru. Rezim otoriter yang anti kritik dan sangat tidak suka perbedaan. 

Mereka tidak memiliki masalah dan catatan buruk pada masa lalu. Oleh sebab itu mereka dapat melangkah, menyonsong hari depan dengan langkah ringan dan terarah. Mereka memiliki kebebasan bertindak untuk memberantas korupsi atau melawan para mafia minyak, dan macam-macam mafia lain, karena mereka tidak pernah berhubungan dengan mereka. Mereka adalah generasi yang berkembang dalam era kebebasan.

Sangat menarik melihat hubungan mereka dengan partai politik. Mereka adalah kader partai politik. Karena itu bekerja dengan nalar partai politik. Namun, mereka memiliki otonomi berhadapan dengan partai politik dan berani mengambil jarak serta berbeda pendapat, bahkan dengan ketua umum dan dewan pengurus pusat.

Ahok menyatakan keluar dari Gerindra saat Gerindra ngotot pemilihan kepala daerah harus dilakukan oleh DPRD, bukan pemilihan langsung oleh rakyat. Sementara itu Ridwan Kamil menyatakan sikap menentang secara terbuka terhadap PKS karena PKS mengikuti langkah-langkah Gerindra. Risma sering berbeda pendapat dengan PDIP dan Megawati. 

Tampaknya para tokoh ini lebih memilih berpihak pada rakyat yang mendukung dan memilihnya bila partai politik membuat kebijakan yang bertentangan dengan aspirasi rakyat. Mereka tidak mau tunduk pada kebijakan partai yang tidak sejalan dengan aspirasi rakyat, apapun resikonya.

Mungkin, ditinjau dari sudut pandang partai politik mereka terlihat tidak patuh, bahkan dinyatakan sebagai pembangkang. Paling tidak hal itu sangat nyata terlihat saat Ahok memilih keluar dari Gerindra kerena tidak sependapat dengan kebijakan Gerindra. Namun, rakyat tetap mendukung. Rupanya Ahok dan pemimpin muda ini lebih memilih tetap mengikuti aspirasi rakyat.

Kelihatannya partai politik tidak senang dengan perlawanan ini. Ketidaksenangan partai politik inilah yang merupakan salah satu alasan mengapa Ahok tidak disukai, bahkan terus diserang oleh sejumlah orang partai politik.

Apalagi saat Ahok melaksanakan e-budgeting yang membuat pengaturan keuangan menjadi transparan. Sejumlah partai politik tidak suka dan berseturu dengan Ahok. Lucunya, partai politik mencoba mengalihkan masalah pada cara komunikasi Ahok. Partai politik pura-pura tidak tahu atau tidak mau tahu bahwa rakyat memahami apa pokok persoalannya.

E-budgeting membuat anggota DPRD tidak bisa lagi bermain-main dengan anggaran yang selama ini memang sering "dimainkan". Bukti adanya "permainan" anggaran itu adalah dijadikannya sejumlah anggota DPRD DKI Jakarta sebagai tersangka kasus korupsi dana APBD. "Permainan" anggaran APBD tidak hanya terjadi di DKI Jakarta.  Juga di banyak daerah lain dan di DPR RI. Tidak sedikit anggota DPR menjadi tersangka dan terdakwa dalam kasus korupsi APBN.

Kini saat Ahok membuat keputusan untuk maju dari jalur independen, sejumlah partai politik bereaksi berlebihan dengan cara hendak menaikkan jumlah dukungan bagi calon independen. Tragis memang, partai politik tampaknya tidak punya kader yang disukai rakyat. 

Sementara itu mereka tidak bisa menerima ada tokoh yang mendapat dukungan rakyat.Itulah sebenarnya motif serangan hebat terhadap Ahok. Sejumlah tokoh partai politik, dibantu kelompok-kelompok kepentingan yang tidak jelas pendiriannya kecualai mengambil keuntungan dari kekuasaan, ramai-ramai menyerang Ahok yang sejauh ini mendapat dukungan kuat dari masyarakat.

Mestinya partai-partai politik berkaca diri, mengapa mereka semakin tidak disukai. Mereka harus berani mengakui berbagai kelemahan yang tak terbantahkan yang membuat rakyat semakin muak terhadap mereka. Kemudian secara bertahap, sistematis dan terukur memperbaiki diri. Bukannya mengembangkan wacana yang intinya adalah menyerang orang lain secara membabi buta.

Tampaknya sejumlah partai politik menggunakan strategi paling buruk yang pernah ada yaitu muka jelek, cermin diremukkan. Strategi yang menunjukkan bukan saja ketidakcerdasan, juga kekonyolan. Jika partai politik terus bersikap seperti ini, maka rakyat akan semakin tidak percaya dan muak pada mereka. Seharusnya mereka sadar betul,

RAKYAT TIDAK BUTUH PARTAI POLITIK, PARTAI POLITIKLAH YANG MEMBUTUHKAN RAKYAT!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

setiap komentar yang masuk akan terkirim secara langsung ke alamat email pribadi Bapak DR. Nusa Putra, S.Fil, M.Pd