Jumat, 25 Maret 2016

INI (M)EDAN, BUNG!

Ke Medan lagi. Terakhir beberapa hari setelah Idul Fitri tahun lalu. Saat itu aku menulis tentang kesemrawutan di jalan raya. Kacau betul. Bagi para pendatang, bahkan bagiku yang pernah menetap sampai tamat SMP, kesemrawutan lalu lintas Medan benar-benar masuk kategori mengerikan.

Kali ini aku bertugas di sebuah hotel yang terletak di Jalan Gatot Subroto yang sudah dekat dengan Kota Binjai. Saat ada kabar tanteku meninggal, aku harus melakukan perjalanan agak jauh ke Jalan Halat. Dari wilayah pinggiran yang satu ke wilayah pinggiran lain. Melewati banyak bagian utama perkotaan sampai daerah pinggiran. Aku berangkat sekitar pukul 8.30.

Sepanjang jalan aku perhatikan pinggiran jalan dan bangunan yang berjejer dengan berbagai hiasan, merek atau nama toko, dan beragam spanduk yang terpasang terutama di persimpangan jalan. Kemana pun mata memandang, sampah terlihat di mana-mana. Tumpukan-tumpukan sampah sangat banyak di pinggir jalan. Tumpukan-tumpukan sampah itu banyak yang tidak ditempatkan dalam wadah tertentu. Karena itu tumpukan itu mudah terserak kembali.

Spanduk terpasang sangat tidak teratur. Banyak spanduk saling menutupi. Spanduk-spanduk lama, yang berisi informasi yang sudah lewat, masih terpasang. Spanduk terpasang di banyak tempat, seperti pagar kuburan dipasangi spanduk dengan jumlah yang banyak.

Di wilayah yang semakin jauh dari pusat kota, kondisinya bertambah tidak teratur. Kesan semrawut itu semakin terlihat karena toko, warung pinggir jalan, memasang spanduk ukuran besar untuk mempromosikan apa yang mereka jual. Warna-warni spanduk, ukuran  dan cara memasangnya sungguh lebih terasa mengganggu pemandangan. Semakin terasa tidak nyaman dan semrawut karena sampah yang berserakan semakin banyak.

Supir yang membawaku berasal dari Nias dan sudah tinggal di Medan sejak 1980an bercerita saat kutanya. Ia menyebut sejumlah tempat yang joroknya bukan main. Di Simpang Limun, Pulo Brayan, Glulugur, Petisah, Sei Sikambing, Denai, Padang Bulan, Sukaramai, dan sejumlah tempat lain.

Karena begitu banyak tempat yang ia sebutkan, aku bertanya, apakah tidak ada wilayah yang bersih? Ia dengan yakin dan tegas menyatakan, rasanya tak ada. Sikit kali tempat yang betul-betul bersih, di sekitar gubernuran yang agak bersih, urainya. Beda sama Tebing Tinggi. Di sana bersih. Tukang sapunya sudah bekerja setelah subuh, tegasnya. Ia supir yang sering membawa para pelancong ke Danau Toba atau Berastagi, jadi bisa membuat perbandingan. Ia tambahkan penjelasan, sejak dulu Medan memang jorok. Susah di sini. Pemerintahnya tidak peduli, masyarakatnya susah diatur. Sungai-sungai kotor semua. Makanya kemarin banjir besar. Banyak tempat yang tak pernah banjir, kemarin kena banjir. Banjirnya merata.

Aku merasa perlu untuk membuktikan penjelasan sang supir. Aku minta agar dia menempuh jalan lain untuk kembali ke hotel. Aku minta supaya dia melewati gubernuran. Aku ingin melihat seberapa bersih gubernuran.

Aku ikut mengebumikan tanteku. Aku sangat kaget saat mendekati kuburan. Ilalangnya lebih tinggi dari aku. Nyaris seluruh bagian perkuburan kondisinya seperti itu. Dibutuhkan usaha keras untuk sampai ke kuburan. Kuburan itu berisi jenazah suami tanteku. Digali lagi dan tenteku dikebumikan di kuburan itu.

Rupanya sebelum kami datang, sejumlah anak muda sudah membersihkan jalan yang akan ditempuh dari ilalang, tetapi hanya sedikit ilalang yang dibersihkan. Jadi jalan ke kuburan membutuhkan kehati-hatian karena ilalangnya tinggi, besar dan tajam. Beberapa keponakan yang kutanya menjelaskan bahwa kuburan ini agak bersih jika menjelang bulan puasa. Banyak orang membersihkan, mengharapkan dapat duit dari yang berziarah. Mereka bilang, Pemerintah Kota Medan mana peduli sama kuburan ni.

Selesai pemakaman aku kembali ke hotel. Supir menempuh jalan lain. Ia sengaja melewati banyak jalan pemukiman, dan kami muncul di jalan tepat di sebelah Taman Makam Pahlawan di Jalan Sisingamangaraja. Kemudian menyusuri jalan yang panjang itu, melewati Marindal, Kantor Polda Sumut, menempuh banyak jalan kecil, dan nongol di Jalan Jamin Ginting, lokasi jatuhnya dua pesawat terbang. Jalanan yang ditempuh terbilang jauh dan sampai di depan Istana Raja Deli. Sungguh sepanjang jalan yang sangat panjang itu keadannya sama saja. Kesemrawutan di jalanan, sampah di pinggiran jalan, dan spanduk yang dipasang sesukanya. Sungguh terlihat tidak elok.

Kemudian kami menyusuri jalan menuju gubernuran. Memang di sekitar kantor gubernur, pinggiran jalannya terlihat lebih bersih dan rapih dibandingkan tempat lain. Semua tertata dengan baik. Namun hanya di sekitar gubernuran saja terdapat suasana bersih, teratur dan nyaman. Tidak jauh dari gubernuran, bahkan di depan mal-mal utama keadaannya kembali kurang nyaman. Taman-taman di pinggir jalan, di depan mal terlihat kurang terawat. Di Jalan Gajah Mada, kejorokan itu terlihat lagi, begitupun di Jalan Gatot Subroto.

Rabu, 23.03.2015, aku harus pulang dengan pesawat pukul 14.20. Aku minta sang supir datang ke hotel pagi-pagi untuk membawaku keliling ke tempat yang telah dikatakannya yaitu Pulo Brayan, Glugur, Lapangan Merdeka, Sambu, Mandala, Denai, Sukaramai, Kota Matsum dan banyak tempat lain yang menuju ke arah Lubuk Pakam, lokasi Kuala Namu.

Luar biasa, tiga jam lebih berkeliling Kota Medan, apa yang dikatakan supir bahwa Medan adalah kota yang jorok terbukti. Sungguh susah mencari daerah yang bersih. Di beberapa tempat ada perbaikan trotoar atau parit. Bahan-bahannya tertumpuk begitu saja di pinggir jalan. Tidak ada pembatas agar para pelintas jalan berhati-hati.

Kejorokan lingkungan dan kesemrawutan lalu lintas merupakan pemandangan sehari-hari kota ini. Namun tampaknya penduduk terbiasa dengan kondisi ini.

Mewujudkan kebersihan dan keteraturan sebuah kota bukanlah pekerjaan gampang. Dibutuhkan kesungguhan, komitmen, dan konsistensi Pemerintah Kota, dan kemauan keras masyarakat untuk melaksanakan kebiasaan-kebiasaan baik yang membuat keduanya dapat terujud.

Jika pemerintah memiliki kesungguhan, tetapi masyarakat tidak peduli, maka kebersihan dan keteraturan kota tak akan pernah terujud. Kesungguhan dan konsistensi Pemerintah Kota untuk menegakkan aturan merupakan kunci untuk mewujudkan kebersihan dan keteraturan kota.

Kita bisa belajar secara kritis dari Singapura, Beijing, dan negara-negara Eropa. Pemerintahan Kota di tempat-tempat yang disebutkan itu bersikap tegas menegakkan hukum untuk menjaga kebersihan dan keteraturan kota. Sikap tegas ini pada mulanya tidak diterima oleh sebagian anggota masyarakat. Namun, karena Pemerintahan Kota konsisten dan tegas, lama-kelamaan perilaku bersih dan teratur menjadi kebiasaan masyarakat.

Kebanyakan manusia meman harus dipaksa agar mau mengikuti aturan. Kemudian konsistensi untuk mengikuti peraturan itu menjadi pembiasaan yang jika dilanggar pasti terkena sanksi. Dalam perjalanan waktu, pembiasaan itu menjadi kebiasaan. Awalnya orang melaksanakan aturan karena takut pada hukuman. Pada akhirnya akan menjadi kebiasaan yang mudah dilaksanakan. Bahkan pada tingkat tertentu menjadi kebutuhan, orang merasa tidak betah melihat dan berada di tempat yang kotor.

Namun, bagi segelintir orang, penegakan hukum yang konsisten sulit menumbuhkan kebiasaan positif. Itulah sebabnya bila sedang berada di Batam, kita akan saksikan ada saja warga Singapura yang tidak dapat menjaga kebersihan seperti di negaranya. Karena di Batam, aturan yang ada tentang sampah dan kebersihan tidak berjalan. Orang seperti inilah pastilah baru sebatas mengikuti aturan karena takut pada hukuman. Belum menumbuhkan kebiasaan positif.

Pastilah tidak mudah menegakkan aturan. Bukan hanya di Medan. Juga di banyak tempat di Indonesia. Namun fakta ini tidak dapat dijadikan alasan untuk membiarkan sebuah kota tetap menjadi jorok, tidak teratur, dan tidak nyaman.

BILA MEDAN TIDAK TERUS BERUSAHA UNTUK MENEGAKKAN ATURAN TERKAIT KEBERSIHAN, BOLEH JADI BISA MEMBUAT ORANG, TERUTAMA PENDATANG, BISA JADI EDAN.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

setiap komentar yang masuk akan terkirim secara langsung ke alamat email pribadi Bapak DR. Nusa Putra, S.Fil, M.Pd