Senin, 07 Maret 2016

XJODO

Prokontra, kontroversi setiap kali ada kepala daerah hendak menutup lokalisasi pelacuran. Tak peduli lokalisasi itu legal atau tidak. Soerjadi Soedirdja dan Sutiyoso sebagai Gubernur DKI Jakarta dan Risma sebagai Walikota Surabaya pernah mengalaminya. Kini Ahok atau Basuki Tjahaja Purnama mengalaminya sebagai Gubernur DKI Jakarta ketika hendak menutup lokalisasi pelacuran Xjodo.

Para pembela lokalisasi pelacuran Xjodo tidak menerima penutupan itu dengan akasan merugikan rakyat kecil yang sudah puluhan tahun mendiami lokasi itu. Mereka bersikeras bahwa tanah negara yang telah ditempati secara ilegal selama puluhan tahun itu sudah merupakan hak rakyat.

Sejumlah orang yang memang tidak suka pada Ahok menuduh penutupan ini bersifat tebang pilih karena tempat maksiat kalangan atas tidak diganggu. Bahkan tuduhan rasis juga muncul. Katanya Ahok semakin merugikan rakyat kecil dan berpihak pada mata sipit.

Dimana pun di dunia ini, siapa pun pemimpinnya, setiap keputusannya selalu menimbulkan pro kontra. Jangankan keputusan seorang walikota atau gubernur. Bahkan keputusan seorang Nabi pun menimbulkan pro kontra. Saat Nabi Muhammad Saw menerima perjanjian Hudaybiah, Umar bin Khatab tidak terima dan protes.

Namun, pemimpin sejati meyakini keputusannya dan tetap kokoh serta konsisten pada pendiriannya, apapun resikonya. Karena pemimpin sejati pasti memiliki visi  masa depan yang tidak semua orang memahaminya.

Dalam kaitannya dengan keputusan Ahok menutup Xjodo, ada sisi lain selain keberanian dan konsistensi pemimpin dalam membuat dan menjalankan keputusan. Sisi lain itu bisa dilihat dengan menunjukkan perbedaan keputusan Ahok dengan dua gubernur sebelumnya dan Risma.

Saat Soerjadi Soedirdja membersihkan Pantai Bina Ria Ancol dari prostitusi nyaris tak ada perlawanan. Sebab tempat itu bukanlah lokalisasi permanen, dan merupakan tempat hiburan terbuka. Tidak ada penduduk yang tinggal di situ. Cara yang ditempuh adalah terus-menerus melakukan razia sampai tempat itu bebas dari praktik prostitusi.

Kramat Tunggak yang ditutup Sutiyoso adalah lokalisasi legal yang ada di bawah kuasa Pemda DKI Jakarta. Ketika Sutiyoso hendak menutupnya dan membangun Islamic Centre, tidak ada yang bisa protes, meskipun para pemilik tempat-tempat hiburan dan para pekerja seks komersial yang ada di sana sempat protes. Mereka pasti menolak karena lokalisasi itu adalah tempat usaha yang mendatangkan uang berlimpah.

Saat Risma mengumumkan hendak menutup Dolly, perlawanan sangat keras muncul, terutama dari orang-orang yang terlibat langsung dengan bisnis prostitusi. Mereka kemudian menggerakkan masyarakat yang juga mendapat keuntungan dari bisnis itu. Namun, pendukung Risma berjumlah lebih banyak. Akhirnya Dolly berhasil ditutup. Tidak ada penggusuran. Masyarakat yang tinggal di Dolly dan sekitarnya bisa tetap tinggal dan beraktivitas.

Xjodo memang berbeda. Xjodo mirip Pasar Kembang Jogja dan Saritem Bandung, lokalisasi yang bercampur baur dengan pemukiman penduduk. Tetapi Xjodo menempati lahan milik negara yang seharusnya jadi ruang terbuka hijau. Xjodo sudah sangat lama menjadi lokalisasi. Pernah digusur, namun masih saja bertahan.

Itu artinya bukan hanya pengelola prostitusi yang mendapat keuntungan. Pasti ada oknum aparat yang jadi beking juga mendapat keuntungan. Kapolda DKI Jakarta mengakui bahwa memang ada aparat yang membekingi. Tampaknya apa yang dialami Xjodo merupakan potret kecil tentang model bisnis prostitusi di banyak tempat di Indonesia.

Karena itu tidak mengherankan bila Xjodo dan banyak tempat prostitusi lain bisa bertahan sangat lama mesti ilegal dan melanggar hukum, seperti sengaja dibiarkan berkembang. Dan sangat tidak mudah bila hendak ditertibkan.

Tidak mudah menentukan apakah Ahok hendak memberantas pelacuran atau mau mengembalikan ruang terbuka hijau saat memutuskan membongkar Xjodo. Jika berniat memberantas pelacuran, tentu sangat tidak elok jika Xjodo dibongkar sedangkan tempat-tempat prostitusi terselubung di banyak tempat di Jakarta dibiarkan.

Banyak orang Jakarta tahu bahwa sejumlah hotel di Jakarta merupakan tempat prostitusi, meski izinnya bukan untuk itu. Juga sejumlah besar panti pijat, spa dan karaoke.

Tidak mudah untuk memberantas prostitusi. Prostitusi kelas bawah seperti Xjodo saja saat hendak ditutup ada perlawanan. Meskipun lokalisasi Xjodo ilegal dan menggunakan tanah negara. Perlawanan itu terjadi karena prostitusi melibatkan kepentingan sejumlah besar orang terkait dengan uang dan jejaring yang sangat luas. Selalu bisa dibuktikan ada oknum aparat penegak hukum yang terlibat.

Oleh karena itu, harus ada kebijakan yang jelas, tegas dan rinci tentang prostitusi. Sudah sejak lama negeri ini "mencla-mencle" soal prostitusi. Ada peraturan yang sangat tegas melarang, tetapi dalam kenyataan prostitusi merebak di mana-mana. Mulai dari tempat kos, mal, sampai prostitusi online.

Apalagi mereka yang kini menjadi pelacur, usianya semakin muda. Dalam buku Penari Erotis dan Jablay ABG, Derita Anak-anak Kita diuraikan bagaimana para remaja kita yang masih SMP sudah terjun ke praktik prostitusi.

Sebagai negara bangsa, kita seharusnya memiliki sikap yang tegas terhadap prostitusi. Jika memang melarang seharusnya secara konsisten melaksanakannya. Bila hendak mengizinkan, harus jelas bagaimana aturannya. Jangan seperti sekarang, dilarang tetapi dibiarkan berkembang. Kesannya negara bangsa ini bersikap sangat tidak jelas dan tidak pasti terhadap prostitusi. Akibatnya prostitusi berkembang sangat pesat.

Kita bisa melihat  sikap sejumlah negara terhadap prostitusi dan konteks budaya yang melatarbelakanginya. Di negara-negara Skandinavia bila ada yang tertangkap karena pelacuran, bukan hanya pelacur yang dihukum, yang menggunakan jasa pelacur tersebut juga dihukum. Namun, tidak ada larangan bagi pasangan berhubungan badan jika suka sama suka.

Di Hamburg Jerman disediakan lokalisasi dengan aturan yang sangat ketat. Anak di bawah umur tidak boleh berada di lokalisasi itu. Lokalisasi itu jaraknya sangat dekat dengan pelabuhan. Tidak sedikit negara yang membuat aturan sangat ketat terkait dengan keberadaan lokalisasi.

Arab Saudi melarang keras prostitusi. Namun kita semua tahu, tidak sedikit lelaki asal Arab Saudi dan Timur Tengah lain yang mencari wanita penghibur sampai ke daerah Puncak di Bogor. Sedangkan pada banyak negara Amerika Latin, praktik prostitusi relatif bebas.

Semua keputusan tentang prostitusi pasti memunculkan prokontra dan akibat-akibat yang mengikutinya. Sebab persoalan prostitusi tidak bisa hanya didekati dan dicarikan solusinya dengan pendekatan agama dan moral. Karena prostitusi merupakan masalah sosial yang kompleks.

Dulu prostitusi terkait dengan kemiskinan sebagai upaya untuk memertahankan hidup. Kini prostitusi juga berkaitan dengan upaya memertahankan gaya hidup. Bukan merupakan kejutan bila yang melakukan praktik prostitusi atau menjadi pelacur bukan hanya mereka yang berasal dari kelas sosial ekonomi kelas bawah, juga dari kelas sosial ekonomi tengah dan atas.

Berdasarkan kenyataan-kenyataan ini, Xjodo hanyalah puncak gunung es masalah prostitusi. Dalam konteks ini, sangat disayangkan bahwa prostitusi yang merupakan masalah sosial yang kompleks dijadikan isu politik dan bahan pertengkaran di ruang publik hanya untuk kepentingan pilkada. Sehingga fokus masalahnya melebar ke segala arah, sedangkan persoalan pokok prostitusinya sama sekali tidak tersentuh.

Meskipun para petinggi menyatakan telah memersiapkan sejumlah program untuk para pekerja seks komersial yang kehilangan pekerjaan. Namun, kita sama sekali tidak mendapatkan informasi yang lengkap, langkah-langkah nyata apa yang telah dilakukan untuk mewujudkan program itu.

Penutupan lokalisasi Xjodo bukanlah penutupan lokalisasi yang pertama, tetapi merupakan penutupan yang kesekian kali. Pertanyaan mendasar adalah apakah prostitusi benar-benar hilang atau hanya pindah tempat? Berapa banyak para pekerja seks yang sungguh-sungguh berhenti dan bekerja sesuai dengan keterampilan yang diterimanya? Mengapa lokalisasi ditutup, tetapi lokasi prostitusi semakin meluas dan sama sekali tidak dapat lagi dikontrol? Mengapa yang menjadi pekerja seks bahkan terus saja bertambah dengan usia yang semakin remaja?

Pelacuran seperti korupsi. Meski upaya keras untuk menindaknya terus dilakukan, pelakunya tidak tambah berkurang. Apakah koruptor di Indonesia sungguh-sungguh berkurang dengan keberadaan KPK yang rajin menangkapi dan menghukum koruptor? Jika jawabannya tidak, sebagaimana penutupan lokalisasi prostitusi tidak menurunkan jumlah pekerja seks, maka penutupan lokalisasi prostitusi bukanlah solusi yang tepat untuk memerangi prostitusi.

Boleh jadi penutupan lokalisasi prostitusi mirip sakit jantung akut yang diobati dengan menempelkan koyok di dada. Memberi kenyamanan sebentar karena rasa sakitnya agak berkurang. Rasa sakitnya memang berkurang, namun tidak pernah benar-benar menyembuhkan penyakit.

Karena itu terasa geli melihat kelompok-kelompok yang mengatasnamakan agama tertentu dengan kekerasan mencoba memerangi prostitusi dengan cara mengobrak-abrik lokalisasi prostitusi. Biasanya lokalisasi prostitusi kelas bawah.

Entah kenapa prostisusi kelas atas tidak pernah mereka ganggu. Mereka fikir dengan cara itu prostitusi bisa dihabisi. Sungguh cara yang sangat tidak cerdas memerangi kemaksiatan. Cara yang menunjukkan kedangkalan berfikir dan dangat reaksioner.

Jangan pernah lupakan prostitusi itu nyaris sama tuanya dengan keberadaan manusia di bumi. Semua kebudayaan, barat atau timur, mengenal pelacuran atau prostitusi dengan modus yang sangat beragam. Semua agama dan ajaran moral melarang dan mengecam pelacuran. Namun, pelacuran tetap ada, bertahan, dan terus berkembang.

Beragam penyakit berbahaya telah membunuh banyak orang karena penyakit kelamin yang disebabkan pelacuran, dari dulu hingga kini. Tetapi semua itu sama sekali tidak membuat pelacuran hilang. Bahkan berkurang pun tidak. Mengapa segitunya?

Pelacuran berakar dari dalam diri manusia. Dorongan yang berakar sangat dalam dari dalam diri setiap manusia untuk memperturutkan nafsu seks yang memang tertanam secara kodrati. Sejatinya seks adalah cara untuk memastikan kebertahanan dan keberlangsungan manusia di bumi. Melalui seks Adam menurunkan Qabil dan Habil. Karena dorongan seks pula Qabil dan Habil saling bunuh. Dorongan untuk mendapatkan perempuan yang paling menarik, membuat dua saudara kandung itu berseteru.

Seks sejatinya suci dan indah. Seks adalah anugerah Tuhan yang harus sangat disyukuri. Karena seks bukan saja merupakan cara yang telah ditentukan untuk keberlangsungan manusia, memastikan manusia memiliki anak dan cucu yang melanjutkan karya-karya mulia manusia. Seks mempersatukan manusia yang saling mencintai dalam indah dan nikmatnya makna kebersamaan yang paling nyata karena dirasakan secara fisk dan psikis. Melibatkan seluruh kemanusiaan, daging, tulang, syaraf dan rasa yang sulit diurai dalam kata-kata.

Karena itulah dalam semua budaya dan agama, ditentukan tatacara bagaimana seks itu bisa diperoleh. Melalui pernikahan yang sakral, yang dilakukan atas nama Tuhan. Tetapi sudah merupakan fakta bahwa manusia adalah makhluk yang memiliki kecenderungan sangat kuat melanggar larangan, sebagaimana dicontohkan oleh manusia pertama Adam.

Bukankah sesaat setelah melanggar aturan, memakan buah terlarang, Adam dan Hawa menjadi sadar akan keberadaan tubuh dan diri sendiri dan keberadaan orang lain? Mereka sama-sama kaget dan secara spontan menutupi tubuhnya.  Boleh jadi saat itu daya tarik tubuh tiba-tiba nyembul sangat kuat bagi keduanya.

Seks memang berasal dari keberanian manusia melanggar aturan yang ditetapkan Tuhan. Karena itu seks harus dijaga dan dikontrol dengan ikatan pernikahan. Agar tidak menjadi pelanggaran aturan terus menerus. Namun, inilah manusia. Terlalu berani dan terlalu asyik melanggar aturan.

Pelacuran adalah seks yang melanggar aturan, aturan moral dan agama. Agama dan moral tidak berkehendak membunuh dorongan seks. Karena agama faham tentang fungsi seks bagi kebertahanan dan keberlangsungan manusia. Agama dan moral merumuskan aturan agar seks dinikmati dengan cara yang halal.

Namun, daya tarik seks tidak pernah mudah untuk dikendalikan dan dijinakkan. Seks bisa lebih liar dari kuda hutan yang paling liar. Pelacuran adalah ungkapan dan tindakan keliaran itu.

Seks sebagaimana makan, adalah kebutuhan normal manusia yang seyogyanya harus dipenuhi. Persoalannya, seperti makanan, ada yang halal dan haram, ada yang sehat dan tidak sehat. Seks pun begitu.

Karena itu jangan pernah meyederhanakan pelacuran menjadi masalah pelanggaran moral yang bisa diperangi dengan menutup lokalisasi atau memberi hukuman yang sangat keras bagi para pelakunya. Pelacuran sangat erat terkait dengan pola asuh dalam keluarga, kebiasan yang  dikembangkan dalam masyarakat, dan kehendak keras untuk melakukan kontrol terhadap manusia. Keseluruhannya bukanlah persoalan sederhana.

Meski pelacuran terdapat di banyak negara, apakah modus dan sikap masyarakat terhadapnya sama? Mengapa ada negara yang melegalkannya dengan aturan yang ketat? Mengapa pula ada yang seperti negara kita, resminya melarang, tetapi dalam kenyataan pelacuran sangat berkembang?

Ada pula sejumlah negara di Timur Tengah seperti Saudi Arabia yang tegas melarang pelacuran. Tetapi apakah di negara itu sungguh tidak ada pelacuran, dan apakah para lelaki kemudian tidak menikmati pelacuran? Apakah Arab Saudi dan negara yang melarang pelacuran berani jujur mengumumkan kejahatan seks yang terjadi di negara itu? Kejahatan seks mulai dari pelecehan seksual sampai pemerkosaan.

Keberagaman modus di banyak negara itu menunjukkan bagaimana persepsi tentang pelacuran dibangun dan bagaimana menyikapinya. Persepsi tentang pelacuran itu pastilah pertama sekali ditumbuhkan dalam lingkungan keluarga, kemudian dalam masyarakat terutama melalui pendidikan. Tentu saja dalam konteks pendidikan moral dan seks.

Ada masyarakat yang tebiasa membincangkan seks sejak dini pada anak-anak sesuai dengan perkembangan umur anak. Akibatnya seks terbuka untuk dibicarakan dan didiskusikan. Anak-anak diharapkan memahaminya dengan baik dan mampu memilah, memilih dan mengolah segala sesuatu tentang seks.

Sebaliknya tidak sedikit masyarakat yang menghayati tabu atau terlarang membicarakan seks dengan anak-anak. Akibatnya anak-anak mencari informasi dari teman-temannya dan sumber lain seperti internet. Apa yang mereka dapatkan tidak diseleksi dan sangat potensial memengaruhi secara negatif.

Model pola-pola asuh yang dijelaskan di atas, sedikit atau banyak memengaruhi persepsi masyarakat, terutama remaja tentang seks. Pada gilirannya akan memengaruhi pemahaman dan persepsi mereka tentang pelacur dan pelacuran.

Ada beragam tradisi yang berkembang dalam masyarakat. Di sejumlah daerah, pelacuran dinyatakan sebagai tindakan yang sangat dibenci, terlarang dan mempermalukan keluarga serta komunitas. Dengan demikian ada sikap sangat keras dan tegas bila ada anggota masyarakat yang memiliki hubungan dengan pelacuran. Bila ada wanita yang karena alasan kemiskinan menjadi pelacur, masyarakat menghukum bukan hanya si wanita itu, juga keluarga besarnya. Sikap keras ini membuat siapa pun tidak memilih menjadi pelacur meski sangat miskin. Jika terpaksa memilih menjadi pelacur, si wanita harus pergi sangat jauh dari tempat tinggalnya, bahkan sampai menyeberang ke pulau lain.

Sebaliknya ada daerah yang sudah sejak lama, secara turun temurun dengan alasan kemiskinan, para orang tua mendorong anak gadisnya menikah dalam usia anak-anak. Biasanya tidak lama menikah langsung bercerai dan si anak wanita dijual menjadi pelacur.

Ada kebanggan jika penghasilan si anak bisa meningkatkan perekonomian orang tua yang ditunjukkan dengan rumah dan kendaraan yang bagus. Para orang tua berlomba mendorong anak wanitanya menjadi pelacur.

Ada pula orang tua yang aktif mencarikan pasangan bagi anaknya untuk kawin kontrak. Di daerah Puncak praktik ini dilakukan secara terbuka oleh sebagian anggota masyarakat. Artinya diketahui masyarakat banyak. Tentu saja bukan hanya di daerah Puncak pola  seperti ini berkembang. Jadi, ada masyarakat tertentu yang menghayati bahwa pelacuran itu adalah profesi yang tidak perlu diributkan.

Lokalisasi yang telah ditutup seperti Dolly dan Xjodo, dan yang masih buka yaitu Pasar Kembang Jogja merupakan lokalisasi yang bercampur baur dengan kediaman penduduk. Rumah bordil tempat para pelacur beroperasi diapit rumah penduduk dan rumah ibadah. Penduduk sama sekali tidak terganggu dengan keberadaan para pelacur itu. Mereka berinteraksi dan bergaul dengan para pelacur seperti dengan tetangga lain. Mereka juga mengambil keuntungan dengan berjualan. Artinya masyarakat menerima keberadaan pelacur dan bisnis pelacuran.

Pastilah penerimaan masyarakat terhadap pelacuran dan adanya tradisi mendorong anak wanita menjadi pelacur semakin menyulitkan upaya-upaya memerangi dan memberantas pelacuran. Semua ini menegaskan bahwa masalah pelacuran tidak pernah sederhana.

Karena itu jangan disederhanakan. Jangan pernah menyederhanakan masalah pelacur dan pelacuran hanya sebagai masalah moral atau pelanggaran norma agama. Sebab sejatinya masalah pelacuran lebih kompleks dari itu.

Jangan pernah dilupakan bahwa pelacuran bisa bertahan dan berkembang karena ada pemakainya atau konsumennya yaitu para lelaki hati belang. Jika lelaki hati belang ini tidak ada, otomatis pelacuran hilang.

Keberadaan lelaki hati belang inilah yang kemudian mendorong para pengusaha dan cukong menjadikan pelacur sebagai komoditi. Berkembanglah bisnis pelacuran. Saat menjadi bisnis, maka semua nalar bisnis, sebagaimana bisnis apapun, digunakan untuk mengelola pelacuran. Berlakulah hukum-hukum ekonomi di sini. Mengusahakan keuntungan sebesar-besarnya dengan menghalalkan segala cara pastilah berlaku dalam bisnis pelacuran ini.

Di Indonesia, karena bisnis pelacuran ini adalah bisnis ilegal, maka muncul dengan berbagai modus dengan izin resmi usaha hiburan seperti karaoke dan spa, klub dan diskotik. Namun dalam kenyataannya sebagian besar bisnis hiburan itu berisi sepenuhnya bisnis pelacuran.

Karena pada dasarnya ilegal sebagaimana Xjodo, maka bukan kejutan bila ada oknum aparat yang bertindak sebagai pembeking atau pelindung. Oleh sebab itu patut diduga bisnis pelacuran yang mahal, mewah dan menyediakan macam-macam menu, Ahok bilang lantai 7 Alaxis itu surga dunia, pasti dibekingi orang kuat. Karena yang datang ke situ bisa dipastikan orang-orang banyak duit, dan bisa jadi orang-orang penting dan kuat juga.

Pola seperti dijelaskan di ataslah yang menjadikan bisnis pelacuran di negara ini semakin marak. Akarnya adalah sikap mendua negara ini terhadap pelacuran. Jadi Ahok tidak sepenuhnya benar saat mengatakan lantai 7 Alexis adalah surga dunia. Di banyak tempat di Jakarta bahkan di Indonesia banyak surga dunia seperti Alexis. Tragisnya, tidak seperti surga dunia kelas bawah Xjodo yang sudah rata dengan tanah. Surga dunia kelas menengah dan atas tampaknya tidak tersentuh sama sekali.

Jika dibandingkan dengan negara yang melegalkan pelacuran, negara kita termasuk kategori darurat pelacuran. Sekarang ini banyak tempat dijadikan lokasi prostitusi dan banyak kalangan mulai dari anak sekolah, bahkan yang masih SMP, sampai wanita yang memiliki kerja yang bergaji tinggi terjun dalam bisnis pelacuran.

Di negara yang melegalkan pelacuran ada regulasi atau aturan yang sangat ketat dan dijalankan dengan konsisten. Peraturan itu mengatur tempat, siapa yang boleh terlibat sampai pajak yang sangat tinggi. Dengan demikian bisnis prostitusi bisa dikontrol dengan sangat ketat dan negara mendapat penghasilan dari pajak yang sangat tinggi.

Sedangkan di Indonesia yang katanya negara ramah, bermoral, dan kehidupan agamanya bagus terjadi keadaan yang sebaliknya. Resminya pelacuran dalam segala bentuk dan modusnya dilarang. Pelarangan itu antara lain karena semua organisasi dan banyak tokoh agama yang menentang pelacuran. Tetapi faktanya pelacuran tumbuh kembang bagai hujan di musim jamur. Jika menggunakan istilah agama bolehlah dikatakan Indonesia itu negara munafik terkait dengan pelacuran.

Kemunafikan itu bisa dibuktikan dengan cara seperti ini, apa jawaban terhadap pertanyaan berikut. Dengan ditutupnya Xjodo, di Jakarta tidak ada lagi lokalisasi pelacuran. Tetapi apakah tidak ada pelacur dan pelacuran?

Ternyata pelacur dan pelacuran ada, bertahan, dan terus berkembang. Hotel Alexis yang disebut Ahok hanyalah sebuah titik pelacuran di Jakarta. Pergilah ke semua tempat di Indonesia, termasuk yang menyebut dirinya dengan istilah dan simbol agama, apakah tempat itu bersih dari pelacuran?

Senyatanya pelacuran itu ada dengan berbagai modus. Di daerah yang menggunakan aturan agama yang ketat bahkan ada nikah kontrak agar pelaku praktik prostitusi tidak bisa ditangkap dan dihukum. Padahal tak lebih dan tak kurang cara yang ditempuh itu adalah salah satu modus pelacuran, di samping banyak modus lain.

Dalam konteks masalah yang kompleks seperti inilah terasa geli dan menyedihkan saat menyaksikan sejumlah agamawan hanya teriak-teriak di mimbar dan televisi menyerukan perangi pelacuran. Mengutip ayat-ayat suci tentang pelacuran sebagai bentuk kemaksiatan dan hukuman Tuhan terhadap pelakunya.

Sadarkah mereka teriakan kerasnya diperlakukan dalam semangat anjing menggonggong kafilah berbisnis? Seperti teriakan di padang gurun?

Menghadapi pelacuran sebagai masalah sosial yang kompleks teriakan model itu sangat tidak bermakna. Dibutuhkan aksi nyata, bukan dengan cara menyalahkan para pelacur dan membiarkan para lelaki hati belang terus memperturutkan nafsu seksnya yang liar.

Mengatasi masalah pelacuran tidak akan pernah berhasil dengan menutup lokalisasi pelacuran seperti Xjodo. Rencana Pemerintah untuk menutup semua lokalisasi untuk memerangi pelacuran, tak lebih seperti menempelkan koyok di pinggang untuk mengatasi gagal ginjal.

Dibutuhkan perumusan strategi kebudayaan yang komprehensif untuk mengatasi pelacuran. Strategi kebudayaan yang merancang dengan tepat bagaimana manusia Indonesia dimekarkan dalam konteks sosial budaya yang menjunjung tinggi penghargaan terhadap sesama manusia, dan pentingnya menjadikan moralitas sebagai bagian yang melekat dalam metabolisme hidup setiap orang. Tentulah ini bukan pekerjaan sederhana. Pekerjaan ini juga tidak bisa dikerjakan dengan cara instan.

Pemerintahan JKW-JK sebenarnya sudah memiliki rumusannya yaitu Revolusi Mental. Namun, tampaknya sejauh ini Revolusi Mental lebih terasa sebagai slogan daripada sebagai program yang terstruktur dan terukur.

Dibutuhkan kerja sangat keras untuk mewujudnyatakan Revolusi Mental untuk mengubah sisi buruk bangsa ini. Termasuk pelacuran.

PELACURAN TAK AKAN PERNAH BISA DIATASI TUNTAS HANYA DENGAN MENUTUP LOKALISASI.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

setiap komentar yang masuk akan terkirim secara langsung ke alamat email pribadi Bapak DR. Nusa Putra, S.Fil, M.Pd