Selasa, 26 April 2016

CANDI DIENG, PRAMBANAN, DAN GUA PINDUL

Candi-candi Dieng dibangun di dataran tinggi. Oleh sebab itu tidak perlu besar dan tinggi. Karena relatif kecil, maka ruang kosong di tengah candi juga kecil. Pintunya pun kecil. Seringkali kita harus menunduk jika hendak masuk ke dalam melalui satu-satunya pintu kecil itu. Akibatnya cahaya yang masuk pun seadanya.

Tak ada patung di tengah ruang kosong. Paling-paling ada tempat untuk menaruh sesaji. Pada umumnya ruang kosong itu betul-betul kosong. Karena candi dibangun sepenuhnya berbahan batu berukuran besar, ruang kosong itu sungguh lembab dan gelap di ketinggian Dieng yang sangat dingin. Jika tidak mengatur nafas dengan baik, berada di dalamnya bisa membuat ngap atau sesak nafas.

Candi-candi itu dibagun untuk tempat berdoa dan melakukan upacara keagaman. Ruang kosong di tengah candi umumnya digunakan untuk bersamadi. Saat manusia memilih untuk hanya sendiri. Menikmati dan menghayati sepi. Menarik jarak, bukan saja dari dunia luar, pun  dari diri sendiri. Saat yang tepat untuk bercermin pada hati sendiri.

Inilah hakikat tapa samadi. Saat ada keberanian untuk melakukan telaah diri, mengambil jarak bahkan dari diri sendiri untuk menggalitemukan kemurnian suara nurani. Secara teknis, biasanya dilakukan dengan mengatur nafas, dan secara perlahan mengosongkan fikiran.

Mengapa harus mengosongkan fikiran? Sebab sepanjang perjalan hidup dari detik ke detik, apa saja masuk ke dalam fikiran terutama melalui indra, dan imajinasi. Setiap saat, bahkan kala lelap tidur, mata terpejam dan nyaris seluruh tubuh istirah, otak tempat fikiran diolah dan berkembang, ternyata tak pernah istirah. Seringkali tidur dirasuki, diintervensi mimpi-mimpi yang penuh teka-teki dan misteri.

Itulah sebabnya fikiran mesti dikosongkan agar ada tempat untuk kebenaran yang seringkali ditenggelamkan oleh fikiran negatif, bias pribadi, prasangka buruk, kebencian dan kedengkian, harapan kosong,  keinginan-keinginan rendah kebertubuhan dan duniawi.

Dalam ruang kosong candi, manusia tapa samadi untuk kosongkan fikiran, menggalitemukan kebenaran hakiki, dalam relung sunyi penuh ketenteraman. Menanggalkan ego, menjadi bagian tak terpisahkan dari semesta raya. Om Santi, Santi, Santi, Om.

Candi-candi Prambanan tinggi dan besar. Ruang kosong di bagian tengah candi berisi patung seperti Brahma yang ukurannya sangat besar, lebih besar dari manusia. Pintu menuju ruang kosong sangat besar sehingga cahaya matahari atau bulan bisa menerobos dengan bebas menerangi ruang kosong itu.

Karena ruang kosong itu besar dan atapnya sangat tinggi dengan patung yang sangat besar, sangat terasa betapa kita menjadi kecil bila berdiri di dalamnya. Boleh jadi salah satu tujuan membuat candi itu tinggi besar dengan ruang kosong yang besar adalah untuk mengingatkan manusia, betapa kecil dirinya dihadapan Yang Maha Besar.

Kesadaran itu tentu tidak nongol begitu saja secara otomatis. Manusia harus bersedia untuk duduk berkonsentrasi hingga ia merasa bahwa dirinya hanyalah sebutir debu yang melayang dalam tiupan angin kehidupan. Ia pejamkan mata, mendisiplinkan fikiran dan merasakan Yang Maha Memberi Kehidupan, ada bersamanya. Apalah makna manusia tanpa merasakan bahwa Yang Maha Baik adalah Pemberi Arah bagi hidupnya. OM SWASTYASTU.

Gua Pindul terletak di Gunung Kidul Jogjakarta. Gua sepanjang lebih kurang tiga ratus meter yang dilintasi sungai di bawahnya. Gua indah karena pahatan alam abad demi abad. Di bagian atas gua bergantungan batu silaktit dengan aneka bentuk yang unik, sementara dari dalam sungai nyembul batu silaknit. Semuanya merupakan proses alamiah yang tak pernah dicampuri tangan-tangan manusia yang lemah.

Alam mampu memperindah diri sendiri melalui proses yang melibatkan suhu, cuaca, dan resapan air. Gua ini pastilah gulita buta. Cahaya hanya bisa masuk dari pintu keluar dan masuk, serta sedikit lubang pada bagian atas pintu keluar. Sungai yang mengalir di bawah gua ini tidak lurus, tetapi berkelak-kelok. Banyak batu aneka bentuk yang menggantung rendah. Bila tak ada pemandu dan senter pasti membentur kepala. Di bagian tengah, sungai menyempit, tersisa sekitar lima puluh senti. Ada batu-batu tajam di kedua tepiannya. Sungguh perjalanan yang penuh resiko.

Dulu gua yang indah dan mengerikan ini adalah tempat kum-kum yaitu tapa samadi dengan cara berendam di sungai. Pastilah sangat gelap, amat dingin, meletihkan, dan mengerikan. Bisa dibayangkan betapa menyiksa. Dalam gulita buta malam, tubuh harus bertahan dalam air yang terus mengalir dan semakin dingin. Tubuh menjadi kaku dan terus melemah. Kehilangan konsentrasi sekejap saja bisa sangat berbahaya dan berisiko.

Mengapa harus lakukan tapa samadi dengan berendam di kedalaman sungai, hanya tinggal kepala di atas air? Sejak zaman kuno, setidaknya sebelum Socrates diyakini bahwa tubuh dan kebertubuhan manusia adalah tanda kejatuhan. Ruh manusia yang suci, terkotori oleh keberadaan tubuh.

Tubuh yang berakar material keduniawian, darah, daging, otot dan syaraf, terus saja menjerumuskan manusia pada tarikan dan godaan syaraf dan syahwat. Karena itulah, tubuh harus ditundukkan melalui siksaan dan penderitaan agar bisa dikendalikan oleh ruh.

Kebertubuhan dilampaui dengan cara membuatnya tak berdaya dan tak menentukan, dihempaskan pada batas kelemahannya. Dengan demikian ruh memiliki kesempatan untuk menaik meninggi, mengalami pencerahan, terbuka bagi hadirnya cahaya terang kebenaran. Cahaya memang dibutuhkan dalam malam buta gulita.

Tak mengherankan bila dalam banyak tradisi spiritual, "menyiksa tubuh", membuat tubuh merasakan derita menjadi utama dan penting. Puasa dalam banyak agama juga bermaksud mengendalikan tubuh, menundukkannya pada ruh. Karena itu jalan spiritualitas yang sangat beragam cara dan metodenya melahirkan sejumlah tradisi dan menyediakan sejumlah wahana seperti candi dan gua.

Candi-candi Dieng, Prambanan, dan Gua Pindul pada mulanya adalah wahana bagi spiritualitas. Orang datang ke situ dengan niat untuk menjadi lebih akrab dengan Sumber Kehidupan, mendapatkan karuniaNya untuk jalani hidup penuh makna dalam ikatan kuat dengan Sang Maha Kasih. Menghayati manunggaling kawulo Gusti.

Kini semua tempat-tempat itu menjadi lebih ramai dan heboh. Tak ada lagi ketenangan dan kesepian yang mampu membantu jernihkan nurani. Setiap hari, terutama pada akhir pekan dan liburan, banyak orang datang dengan niat yang sama sekali berbeda.

Semua tempat itu adalah tujuan wisata. Tempat orang berlibur, habiskan waktu dan duit untuk mencari kesenangan dan pengalaman baru yang diramaikan oleh selfi dan groufi. Candi dan gua jadi sekadar objek. Para wisatawan yang datang tak lagi peduli pada spiritualitas. Mereka berlomba bergaya dan menyusuri segala sisi tempat itu sebagai ungkapan ingin tahu dan rasa penasaran.

Candi-candi Dieng, Prambanan, dan Gua Pindul tak lebih hanya menjadi latar belakang bagi untuk berfoto ria. Tempat-tempat itu berubah menjadi mesin uang bagi penduduk sekitar dan para pengusaha pariwisata. Menjadi sekadar tempat usaha, wahana bagi transaksi.

Kini bukanlah tindakan yang kurang sopan dan luar biasa menjadikan tempat ibadah, rumah suci menjadi objek parawisata. Gereja-gereja tua di Eropa tidak sedikit yang dikunjungi banyak turis pada akhir pekan. Bukan disambangi oleh para jamaah yang seharusnya beribadah. Di berbagai tempat di dunia ini, di semua benua dan banyak negara, rumah ibadah telah lama masuk dalam bagian dari program kunjungan wisata.

Sebagai contoh, Lombok kini semakin diarahkan menjadi tujuan pariwisata religius atau spiritual. Apa perujudannya? Para turis diarahkan untuk mengunjungi masjid, pesantren dan tempat-tempat yang dikategorikan sebagai wahana spiritual.

Tampaknya perubahan ini merupakan keniscayaan dalam sebuah dunia yang menjadikan keuntungan materi sebagai tujuan yang harus dikejardapatkan. Bahkan wisata spiritual telah menjadi bisnis yang semakin menggairahkan dan melibatkan lebih banyak orang.

Bagi sebagian orang, kondisi ini mungkin dirasakan sebagai ketragisan yang melukai nurani. Namun, bagi sebagian orang yang lain dianggap sebagai kenormalan bahkan keharusan. Cermatilah kecenderungan yang semakin mengemuka kini. Di tengah banyak orang miskin tak mampu sekolahkan anaknya, bahkan tak bisa menyediakan makanan layak bagi dirinya sendiri, ribuan orang pergi berulang-ulang umroh ke Mekkah. Tidak sedikit rumah ibadah dibangun dengan kemewahmegahan yang sangat berlebih di tengah masyarakat yang merasakan kemiskinan akut. Apakah ini pantas? Apakah ini benar, baik, dan layak?

Apakah makna spiritualitas memang telah berubah bergeser? Apakah spiritualitas memang harus terus berubah merespon tuntutan dan tantangan zaman? Apakah spiritualitas sangat tergantung pada cara fikir individu dan masyarakat yang terus berubah dari waktu ke waktu?

Di Barat dan banyak tempat lain misalnya, sudah sejak lama muncul dan menguat kesadaran bahwa spiritualitas dihayati sebagai urusan dan pengalaman pribadi. Siapa pun, bahkan negara, tak boleh ikut campur menentukan. Sebab hakikinya spiritualitas adalah soal keyakinan yang hanya diketahui dan dirasakan oleh si individu. Spiritualitas dimaknai sebagai penghayatan akan keberadaan dan relasi serta interaksi si individu dengan Yang Maha Menentukan. Oleh sebab itu sama sekali tidak dapat dimasuki dan dicampuri oleh siapa pun.

Dalam cara fikir ini, semua wahana spiritual yaitu rumah ibadah, apapun bentuk dan namanya sudah dianggap menjadi tak lagi penting. Mengapa bisa berpendapat seperti itu? Karena diyakini bahwa Sang Maha Ada tak terikat dan tunduk pada ruang-waktu. Artinya, wahana spiritualitas dalam ujud rumah ibadah bukanlah satu-satunya tempat dan pertanda keberadaan Yang Maha Melihat dan Mendengar. Ia ada dimana saja, dan kapan saja. Juga di antara orang-orang miskin yang menderita, bersama dan menyaksikan perilaku para koruptor.

Sebagai akibatnya wahana spiritualitas bukanlah tanda dan ukuran satu-satunya untuk menentukan penghayatan spiritualitas manusia. Wahana spiritualitas lebih dihayati sebagai salah satu perujudan dimensi sosial manusia. Karena itu mengubah wahana spiritualitas sebagai objek wisata, sejatinya tidak menunjukkan bahwa nilai spiritualitas itu terdegradasi atau direndahkan.

Jangan dikira keyakinan seperti ini adalah pandangan yang baru muncul dalam zaman moderen. Jalaludin Rumi (1207-1273), salah seorang sufi penyair Islam yang terkenal, yang telah menulis jauh sebelum zaman moderen,  menuangkan pandangan ini dalam puisinya yang banyak dibaca orang sejak dulu,

DIA TIDAK DI TEMPAT LAIN

Salib dan ummat Kristen, ujung ke ujung, sudah kuuji.
Dia tidak di Salib.
Aku pergi ke kuil Hindu, ke pagoda kuno.
Tidak ada tanda apa pun di dalamnya.
Menuju ke pegunungan Herat aku melangkah,
dan ke Kandahar Aku memandang.
Dia tidak di dataran tinggi
maupun dataran rendah. Dengan tegas,
aku pergi ke puncak gunung Kaf (yang menakjubkan).
Di sana cuma ada tempat tinggal
(legenda) burung Anqa.
Aku pergi ke Ka’bah di Mekkah.
Dia tidak ada di sana.
Aku menanyakannya kepada Avicenna (lbnu Sina) sang filosuf
Dia ada di luar jangkauan Avicenna …
Aku melihat ke dalam hatiku sendiri.
Di situlah, tempatnya, aku melihat dirinya.
Dia tidak di tempat lain.

Ungkapan Rumi di atas menegaskan bahwa spiritualitas memang tidak bisa dibatasi oleh tempat dan sistem ajaran. Spiritualitas sejatinya berpusat dan berkembang dalam hati.

SPIRITUALITAS ADALAH DENYUT HATI YANG MEWUJUD JADI TINDAKAN, BUKAN HANYA SOAL TEMPAT DAN KONDISI.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

setiap komentar yang masuk akan terkirim secara langsung ke alamat email pribadi Bapak DR. Nusa Putra, S.Fil, M.Pd