Senin, 18 April 2016

NEUROSAINS DAN PENDIDIKAN (3)

(Doa bagi Emak ku atas cintanya yang luar biasa)

Manusia adalah makhluk multidimensi. Hanya dengan memahami dan menghayati kemultidimensian itu manusia bisa ditumbuhmekarkan sebagai manusia utuh.

Bila keutuhan manusia dingkari, dapat dipastikan akan terjadi anomali, manusia akan kehilangan jati diri, merana dalam sepi dan frustrasi, bisa berujung pada bunuh diri.

Anomali itulah yang terjadi dalam dunia moderen. Modernitas dibangun atas dasar kepercayaan yang sangat berlebihan pada kekuatan akal atau rasio. Karena itu zaman moderen sering disebut abad rasio. Di Eropa, mengatasi abad Pertengahan yang biasa disebut sebagai abad Kegelapan, melewati abad Pencerahan, muncullah fajar Modernitas.

Modernitas menolak keberadaan semua otoritas di luar rasio sebagai cara untuk melawan pemikiran dan keyakinan abad Pertengahan yang membuat rasio sama sekali tak berdaya dan tunduk dihadapan otoritas agama. Karena itulah modernitas lebih memercayai sains atau ilmu ketimbang iman. Sebagai akibatnya tak ada tempat bagi spiritualitas dalam modernitas.

Kondisi itulah yang menjadi akar  penderitaan mendalam manusia dan masyarakat moderen yang kehilangan jati diri dan menjadi menusia yang kesepian di tengah kemewahan materi duniawi. Manusia moderen yang sangat percaya pada sains tak memiliki kemampuan merasakan indahnya spiritualitas, menjadi manusia yang kering kerontang jiwanya. Menjadi pengembara di padang gersang jiwa, penghuni hutan beton metropolis, dan budak teknologi.

Dalam kondisi seperti inilah menjadi sangat menarik tawaran Barbara K. Given dalam bukunya Brain-Based Teaching. Given menegaskan bahwa manusia unggul bukanlah manusia yang hanya memiliki  kecakapan berpikir. Manusia unggul adalah manusia yang memiliki
kebugaran fisik, kecakapan berpikir, kecakapan emosi, kedewasaan sosial, dan kematangan spiritual.

Given menekankan pentingnya pendidikan dan pembelajaran menumbuhmekarkan kelima dimensi itu sekaligus dalam praktik dan proses pembelajaran sesuai dengan perkembangan usia pembelajar. Apabila yang mendapat perhatian hanya dimensi tertentu seperti kemampuan berpikir seperti yang dikembangkan selama ini, jangan heran bila hasilnya adalah siswa doyan tawuran, terus bertambahnya pecandu narkoba, meningkatnya pelaku pelacuran di kalangan remaja, dan berbagai perlikau anomali lainnya.

Karena kemampuan berpikir yang tidak dilengkapi dengan kecakapan emosi, dan kematangan spiritual hanya akan menjadi kemampuan teknis yang bersifat instrumental. Sehingga hanya akan digunakan untuk mencari pembenaran atas berbagai tindakan yang tidak baik dan tidak benar. Sebab kondisi itu seperti pisau tajam yang dihunuskan oleh begal jalanan. Ketajaman yang tidak diarahkan dan dikontrol oleh nurani.

Sebenarnya pendidikan kita telah berisi semua dimensi itu. Namun dalam praktik pembelajaran bahkan pada pelajaran agama, fokusnya berisi penjelasan agama yang lebih banyak bersifat kognitif intelektual. Bukan pada pengamalan praktis, dan penghayatan agama dalam kehidupan nyata, serta bagaimana difungsikan sebagai pedoman kehidupan yang mencerahkan.

Untuk pembelajar Islam misalnya, pastilah baik dan berguna bila pembelajar tahu dah hafal nama-nama Nabi dan sejarah hidupnya. Tetapi apakah menghafal nama-nama Nabi dan tahu sejarah hidupnya saja sudah cukup?

Praktik pendidikan kita hingga kini masih cenederung seperti itu. Oleh karena itu tidak mengherankan apabila para pembelajar yang nilai agamanya paling baik, boleh jadi merupakan pembelajar yang paling kurang ajar, tidak disiplin dan pembuat masalah. Sebab ia hafal banyak hal tentang agama. Namun, jangan tanyakan soal penghayatannya.

Ini ada kaitannya dengan fungsi-fungsi khusus bagian otak. Otak dan tubuh secara keseluruhan merupakan kesatuan yang tak terpisahkan. Otak bisa kendalikan tubuh, dan tubuh memberi masukan pada otak. Interaksi otak-tubuh yang menjadi kontroversi dalam jangka panjang pada masa lalu, kini semakin terjelaskan.

Dalam Biopsychology, John P. J. Pinel secara sangat rinci menjelaskan hubungan otak-tubuh bagian perbagian. Bagaimana mekanisme mata bekerja dan berfungsi, bagian mana saja dari otak yang aktif bila mata berfungsi. Terbukti, meskipun ada bagian yang sangat aktif, namun bukan hanya bagian itu yang membuat mata berfungsi normal. Otak sengguh bekerja secara holistik integratif.

Dengan bantuan alat pemindai otak yang canggih dapat dilihat sebuah aktivitas seperti melihat menjadikan bagian-bagian otak yang berkaitan langsung dengan melihat mengalami aktivitas tinggi yang bisa ditandai dengan warna merah dan kuning, dan yang ikut aktif namun dengan aktivitas sedang diberi warna hijau, bagian pendukung lain yang kurang aktif berwarna biru. 

Dengan cara ini jelas terlihat bahwa setiap aktivitas yang berbeda seperti berfikir, mendengar, mengingat, bergerak menunjukkan komposisi warna merah, kuning, hijau, dan biru yang berbeda-beda. Cara pembuktian seperti ini memberi kejelasan dan kepastian tentang cara kerja otak. Namun sekadar pemindaian belumlah menunjukkan kejelasan dan kelengkapan yang sangat rinci tentang cara kerja otak secara komprehensif.

Karena itulah cara kerja Sperry yang merumuskan secara lebih lengkap fungsi-fungsi khusus belahan otak dengan melakukan pemeriksaan terhadap otak banyak orang dan melakukan serangkaian eskperimen memberikan kepastian dan kejelasan sangat rinci. Apalagi diperkaya dengan pemindaian.

Semua cara kerja ini membuktikan bahwa interaksi otak-tubuh bersifat integral dan fundamental. Oleh karena itu dalam tumbuh kembang anak harus diusahakan kesempatan yang memungkinkan memekarkan semua dimensi kemanusiaannya.

Toshinori Kato dalam Otak Ideal: Makin Berumur, Makin Brilian (2016) menegaskan bahwa otak terdiri dari banyak zona. Ia menulis, secara garis besar, otak terbagi menjadi otak kiri dan kanan. Otak kiri dan kanan masing-masing memiliki 60 zona otak.

Selanjutnya Toshiro membagi 120 zona otak menjadi 8 jenis yaitu zona otak berpikir, emosi/perasaan, komunikasi, pemahaman, motorik, pendengaran, penglihatan, dan ingatan. Buku yang ditulis Toshiro berisi latihan untuk kedelapan zona tersebut.

Zona-zona itu memang harus dirangsang dan dilatih. Bahkan rangsangan harus diberikan sejak bayi dalam kandungan. Jika tidak anak akan menghadapi banyak masalah.

Sudah terbukti dari banyak kasus, anak-anak yang sedang tumbuh kembang jika tidak mendapat kesempatan yang cukup untuk belajar bicara atau berbincang secara normal, maka bagian otaknya yang terkait dengan kemampuan berbicara tidak tumbuh normal. Dibutuhkan upaya sangat keras untuk membuatnya memiliki kemampuan berbicara  normal. Begitu juga dengan kemampuan melihat, mendengar dan merasa.

Persoalan menjadi sangat rumit bila terkait dengan emosi. Anak-anak yang tidak mendapatkan kesempatan untuk mengelola emosinya, biasanya tumbuh menjadi manusia yang sangat tidak mampu kendalikan emosinya. Sebab sistem limbik yang merupakan otak emosi tidak terlatih untuk memilah, memilih dan mengolah emosi.

Tentu saja bila ada bagian otak yang tidak berkembang dengan baik, pastilah akan membawa pengaruh bagi bagian otak lain. Dibutuhkan usaha keras berjangka panjang untuk melatih bagian-bagian otak yang kurang sempurna perkembangannya untuk mencapai tingkat kenormalan. Bahkan bagian otak yang mengalami kerusakan permanen tidak dapat dikembalikan menjadi normal.

Namun karena sifat plastisitas otak, dengan latihan yang sistematis, terstruktur, dan intens, bagian otak yang lain bisa dilatih untuk menggantikan fungsi otak yang rusak tersebut.

Konsekuensinya melalui pengasuhan dalam keluarga, pendidikan dan kehidupan masyarakat, anak-anak kita harus mendapat kesempatan untuk sekaligus menumbuhmekarkan kebugaran fisik, kecakapan berpikir, kecakapan emosi, kedewasaan sosial, dan kematangan spiritual. Untuk itu menjadi kewajiban bagi keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara untuk mengembangkan pola asuh dan pendidikan yang memastikan keseluruhan kecakapan itu berkembang dengan baik.

Problema pokok kita yang kini tampaknya semakin merumit adalah terjadinya perubahan-perubahan mendasar dalam tata kelola keluarga dan model-model komunikasi dan interaksi. Artinya aturan dan ikatan-ikatan keluarga tradisional telah sangat berubah. Perubahan-perubahan ini sangat memengaruhi pola asuh dalam keluarga. Antara lain, perubahan inilah yang membuat generasi muda menjadi sangat berbeda dengan kita. Seringkali kita sulit bahkan tidak memahami keputusan-keputusan dan tindakan mereka.

Bersamaan dengan itu masyarakat kita juga berubah dengan sangat cepat. Pengaruh penggunaan teknologi komunikasi dan semakin luasnya ruang kebebasan, serta semakin demokratisnya kehidupan melahirkan pola-pola baru interaksi, dan pergaulan. Akibatnya  melahirkan gaya hidup yang sangat berbeda dibandingkan saat kita remaja dulu. Sebagai konsekuensinya reproduksi kultural sebagai cara masyarakat ikut mengasuh anak-anak kita menjadi berbeda sama sekali.

Pertanyaannya adalah, di tengah perubahan-perubahan pola asuh dalam keluarga dan masyarakat, apa yang terjadi dengan lembaga pendidikan formal kita? Apakah juga berubah ke arah yang semakin baik, mampu merespon dan mengantisipasi atau menjadi semakin tertinggal?

Pertanyaan ini penting dikemukakan karena tumbuh kembang generasi muda tidak hanya ditentukan oleh lembaga formal pendidikan. Dalam masyarakat terbuka dan demokratis, masyarakatlah yang paling memberi corak pada tumbuh kembang generasi muda.

Bisa dibayangkan betapa sulitnya menumbuhmekarkan berbagai keterampilan manusia unggul jika terjadi kondisi yang sangat bertentangan antara apa yang disemai dalam lembaga pendidikan dengan kenyataan-kenyataan yang berkembang dalam masyarakat.

Dalam kondisi seperti inilah kecakapan emosi, kedewasaan sosial, dan kematangan spiritual lebih penting dan menentukan tinimbang kecerdasan berpikir. Maknanya keluarga dan lembaga pendidikan memiliki kewajiban utama untuk memekarkan semua kecakapan tersebut. Karena agak sulit mengharapkan masyarakat secara sadar mengembangkannya.

Pastilah tidak mudah bagi orang tua untuk menumbuhmekarkannya. Sebab tidak sedikit orang tua, bukan hanya di perkotaan, juga di desa yang kekurangan waktu untuk berkumpul dan berinteraksi dengan anak-anak. Penyebab utamanya adalah problema ekonomi. Dibutuhkan waktu lebih banyak untuk mendapatkan rezeki bagi kesejahteraan keluarga dibanding masa lalu.

Perekonomian negara kita belum juga menunjukkan tanda-tanda kestabilan yang memungkinkan meningkatnya kesejahteraan masyarakat secara umum. Biaya hidup semakin mahal. Konsekuensinya waktu bagi orang tua untuk mengumpulkan uang untuk keperlian hidup seluruh keluarga sangat panjang. Orang tua lebih lama berada di luar rumah. Dalam banyak keluarga, bahkan ayah dan ibu bekerja dan meninggalkan anak-anak dalam pengasuhan pembantu.

Ini situasi dilematis bagi banyak orang tua. Bila mengurangi waktu bekerja agar bisa berkumpul dengan anak-anak, penghasilan akan menurun dan mengancam kesejahteraan keluarga, terutama anak-anak. Sungguh pilihan yang tidak mudah.

Padahal menumbuhkan kecakapan emosi, kedewasaan sosial dan kematangan spiritual bukanlah pekerjaan gampang, dan tidak dapat dilakukan secara instan. Butuh perhatian, kasih sayang, kebersamaan dalam kehangatan keluarga, mengatasi persoalan keluarga bersama-sama, memberi kesempatan pada anak-anak untuk mengalami, menghadapi kenyataan hidup yang tidak selalu manis dan menyenangkan, merasakan kesedihan dan kepedihan yang disebabkan musibah, dan berbagai kejadian yang tidak terduga.

Bagaimana jadinya jika anak lebih banyak berinteraksi dengan pengasuh yang dibayar? Pastilah pengasuh itu bisa menjaga dan mengurusi anak, tetapi apakah pengasuh bisa menggantikan peran ibu yang sangat menentukan tumbuh kembang anak?

Di pedesaan keadaanya berbeda, namun boleh jadi bisa lebih parah. Anak-anak terpaksa ditinggalkan oleh ibu yang bekerja sebagai buruh tani atau pekerjaan lain. Anak-anak itu dititipkan pada tetangga atau diasuh oleh kakaknya yang masih di bawah umur. Persoalannya adalah jumlah keluarga seperti ini terus saja meningkat seiring dengan problem ekonomi yang kini sedang kita hadapi.

Sementara itu keluarga-keluarga yang semakin makmur ekonominya dalam jumlah yang tidak sedikit memberi banyak kemudahan pada anak-anak untuk menikmati teknologi mulai dari telepon genggam, gadget yang semakin canggih, dan akses yang semakin mudah untuk menikmati gaya hidup kelas menengah perkotaan, menjadi kaum urban yang serba wah.

Tentu saja dalam jumlah yang semakin meningkat banyak keluarga yang lebih memilihkan bagi anak-anaknya memasuki sekolah berbasis agama yang jumlahnya terus meningkat. Meskipun kita boleh bertanya dan mempertanyakan apakah sekolah-sekolah berbasis agama itu sungguh mengembangkan program yang memungkinkan mekarnya kedewasaan spiritual anak-anak atau hanya menggunakan agama sebagai label?

Setiap orang tua pastilah menghendaki pilihan terbaik bagi anak-anaknya. Namun sangat salah jika orang tua memilihkan sekolah yang terbaik tetapi abai mengembangkan pola asuh yang terbaik bagi anak-anaknya di rumah. Sebab anak-anak adalah amanah dari Tuhan bagi orang tua. Bukan sekolah yang diberi amanah oleh Tuhan. Merupakan kekeliruan jika para orang tua mengamanahkan anak-anak pada sekolah.

Maknanya, para orang tua harus merencanakan untuk mengembangkan sejumlah pembiasan perilaku positif agar anak-anak memiliki kebiasaan-kebiasaan positif. Mulai dari perilaku sederhana seperti membereskan tempat tidur. Mandi pagi dan sore pada waktu yang telah ditetapkan. Tidur dan bangun pada jam yang telah dirancang. Melakukan ibadah secara rutin tanpa disuruh. Mencuci piring sehabis makan. Ikut membersihkan rumah. Meski tampaknya remeh, pembiasaan ini akan membiasakan anak-anak hidup dalam kedisiplinan, dan belajar bertanggung jawab.

Membiasakan berbincang dan berdiskusi untuk mengambil keputusan seperti akan pergi kemana liburan kali ini. Orang tua harus menyediakan waktu untuk berbincang dengan anak-anak, sehingga anak-anak merasa sangat dekat. Dengan demikian bila ia menghadapi masalah apapun, orang tualah tempatnya curhat, mengadu, berbincang dan mencari solusi. Keakraban dan rasa saling percaya memang harus ditumbuhmekarkan antara orang tua dan anak. Jangan sampai anak-anak lebih percaya pada teman daripada orang tuanya.

Justru di sinilah masalah terbesarnya. Kebanyakan orang tua tidak memiliki waktu yang memadai untuk bersama anak karena berbagai kesibukan. Akhirnya anak-anak memiliki lebih banyak waktu berkumpul bersama teman-teman sebayanya. Bila anak mendapat teman sebaya yang baik tidak mengapa. Namun tidak sedikit yang akhirnya terbawa teman sebaya yang memiliki perilaku dan gaya hidup yang tidak baik.

Menggunakan pendekatan penelitian kualitatif saya melakukan penelusuran terhadap gaya hidup ABG yang masih SMP dan dituangkan dalam buku Penari Erotis dan Jablay ABG. Banyak ABG atau remaja yang masih SMP itu menjadi jablay atau cabe-cabean karena mengikuti gaya hidup teman sebaya yang lebih dulu melakukannya. Ini terjadi karena waktu berkumpul dengan teman sebaya lebih lama dibandingkan berkumpul dengan orang tua.

Meningkatnya pengguna narkoba di kalangan remaja mengikuti pola yang sama yaitu anak remaja lebih banyak waktunya berkumpul dengan teman sebaya daripada dengan orang tua, dan mendapatkan uang berlebih dari orang tua. ABG atau anak remaja memang merasa senang dan betah berkumpul bersama dengan teman sebaya. Karena itu orang tua harus tidak boleh abai untuk melakukan pengawasan.

Agar anak-anak bisa diarahkan untuk berperilaku dan bergaya hidup yang baik dan benar merupakan keniscayaan untuk menanamkan nilai-nilai keagamaan. Tentu saja penanaman yang tidak sekadar verbal dan intelektual.

Agama adalah penghayatan bukan hafalan dan bahan analisis intelektual. Karena itu agama harus menjadi pedoman hidup nyata, dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari. Misalnya anak-anak harus menyadari apa makna melakukan ibadah rutin setiap hari berkali-kali seperti shalat. Ini bukan hanya soal pendisiplinan. Lebih dari itu. Shalat adalah konsistensi atau keteguhan menjaga hubungan, komunikasi, relasi, interaksi dengan Sumber Hidup yang Maha Melihat dan Mengatur.

Dengan menjalankan shalat semoga kita terus menerus menyadari bahwa manusia tidak pernah sendirian, Allah terus menerus bersama kita, bukan selalu bersama kita. Dengan demikian kita merasa aman dan tidak mau berbuat jahat. Nilai agama memang harus dihayati secara nyata, dirasakan dalam menjalani hidup keseharian.

Model penanaman nilai seperti ini sangat cocok dengan sifat alami otak. Edward de Bono dalam Mechanism of Mind (2015) menjelaskan bahwa otak merupakan sistem yang sangat kompleks. Keberfungsian dan kebermanfaatan otak tidak dapat ditumbuhkembangkan hanya dengan latihan-latihan intelektual yang besifat logis. Tetapi lebih ditentukan oleh penghadapan terhadap masalah-masalah nyata dalam kehidupan.

Nilai-nilai apapun terutama nilai agama tidak akan pernah melekat, berfungsi dan bermakna bila diajarkan secara verbal, intelektual-logis dan analitis. Harus melalui penerapan dan penghayatan. Dalam konteks inilah keteladanan dari orang dewasa yang menghidupkan nilai-nilai itu dalam keseharian menjadi sangat penting.

Aku memiliki pengalaman masa kecil yang bukan saja membekas sangat kuat sampai kini, juga mengarahkan tindakan dalam hidup sampai hari ini. Setiap kali selesai memasak sayur atau lauk seperti ikan, udang, dan daging, emak (ibu)ku memintaku mengambil mangkuk dan menaruh di mangkuk itu apa saja yang dimasak hari itu, biasanya dua mangkuk yaitu sayur dan lauk.

Aku kemudian diperintahkan mengantarkan makanan tersebut ke tetangga yang pantas untuk diberi. Padahal kami sekeluarga belum memakan sayur dan lauk itu karena baru saja matang. Setiap hari aku harus mengantarkan makanan itu ke tetangga yang berbeda. Itulah sebabnya emakku memasak lebih banyak dari yang kami butuhkan.

Kadang aku suka kesal karena makanan yang diantarkan itu adalah kesukaanku. Karena harus berbagi dengan tetangga, pastilah aku tidak bisa menikmatinya lebih banyak. Emakku seperti tidak peduli dengan kekesalanku itu. Tetap saja setiap hari aku harus antarkan makanan kepada para tetangga. Emakku juga tak pernah jelaskan mengapa harus memberi pada tetangga. Lebih mengesalkan sebab tetangga yang bersikap tidak baik pada keluargaku juga dapat jatah.

Bila hari raya kurban, emakku dengan sengaja mengajak tetangga yang mendapatkan daging kurban untuk ramai-ramai masak di rumahku. Emakku memang terkenal jago memasak. Aku heran mengapa pula harus masak ramai-ramai di rumahku. Aku dapat tugas untuk mengupas kentang dan bawan. Pastilah sampai menangis karena mengupas bawang itu membuat mata perih. Aku juga harus mempersiapkan kayu bakar beberapa hari sebelumnya. Aku pula yang harus membuang dan membakar sampah sisa masak bergotong royong itu.

Emakku sama sekali tidak pernah menjelaskan mengapa semua tindakan itu dilakukan. Emakku pernah mengurusi seorang tetangga yaitu ibu berusia tua yang sakit. Emakku bukan saja mengurusi makan dan mandinya, juga saat ibu itu buang air besar dan kecil. Suami ibu itu agak tertanggu karena stress. Aku sama sekali tidak mengerti mengapa emakku mau lakukan itu. Keluarga itu bukan saudara, hanya tetangga. Anak ibu yang sakit itu tinggal di luar kota yang jauh. Dulu anak ibu itu suka mengeluarkan ucapan-ucapan yang kurang pantas tentang keluargaku. Saat aku protes pada emak ku dan mengingatkannya tentang sikap tidak baik keluarga itu, emak ku cuma bilang, berbuat baik itu baik. Ini urusan kita dengan Tuhan. Sungguh aku sama sekali tak mengerti maksudnya. Saat itu aku masih SD.

Meski emakku tak pernah menjelaskan mengapa ia lakukan itu, akhirnya aku memahami dan menghayati apa arti keberadan kita sebagai manusia dan pentingnya peduli dan berbagi. Itulah sebanya sampai kini aku tak pernah takut menjadi tak berpunya jika rajin peduli dan berbagi. Kebaikan itu urusan kita dengan Tuhan, bukan dengan manusia. Peduli amat bersikap baik atau tidak. Berbuat baik harus tetap dilakukan.

Apa yang dipraktikkan emakku yang tidak pernah belajar psikologi pendidikan sungguh sangat melekat dalam sistem otakku sampai kini. Karena manusia, terutama anak-anak lebih memahami dan mampu mempraktikkan apa yang dia lihat dan jalani daripada apa yang dia dengarkan. Inilah sifat alami otak seperti yang dijelaskan de Bono dengan sangat canggih dalam bukunya.

Keteladanan yang diperkuat dengan pembiasaan pasti akan melahirkan kebiasaan yang sangat melekat dalam kehidupan. Oleh sebab itu sebaiknya anak-anak didorong menabung uang jajannya. Sejak awal harus diniatkan ada bagian tabungan itu, berapa pun jumlahnya, merupakan bagian dari orang lain yang pantas menerima bagian. Bukalah tabungan itu pada hari yang tepat, misalnya Hari Raya Kegamaan seperti Idul Fitri atau Natal. Si anak harus melaksanakan niatnya memberikan sebagian, jangan sebagian kecil, untuk orang lain yang sangat pantas menerimanya. Membahagiakan orang lain adalah kebahagian yang luar biasa. Lebih bermakna daripada hanya membahagiakan diri sendiri.

Itulah sekelumit cara untuk menfungsikan, menghidupkan dan memaknakan nilai-nilai keagamaan bagi anak-anak dan remaja. Sebab cara itu sangat melekat membekas dalam sistem otak mereka. Sehingga menjadi kebiasaan dan perilakunya seumur hidup.

Penanaman nilai bagi anak dan remaja dalam keluarga sangatlah penting. Ini terkait dengan fakta bahwa anak dan remaja mengalami masa tumbuh mekar yang sangat menentukan bagi hari depannya kelak.

Tentu saja lembaga pendidikan terutama persekolahan juga harus mengembangkan berbagai program, model, metode dan strategi yang beragam untuk menanamkan nilai-nilai yang bertujuan menumbuhkembangkan secara sekaligus kemampuan berpikir, kecakapan emosi, kedewasaan sosial dan kematangan spiritual. Lembaga pendidikan tidak boleh menghabiskan waktu, energi dan perhatiannya hanya untuk mengembangkan kemampuan berpikir dan keterampilan-keterampilan teknis praktis sekadar untuk bertahan hidup di dalam masyarakat.

Untuk bisa bertahan hidup dan tumbuh sebagai manusia secara bermakna dalam hidup, tidak cukup hanya memiliki keterampilan-keterampilan teknis. Keberhasilan hidup lebih ditentukan oleh dimilikinya sejumlah sifat dan sikap yang melekat dalam diri setiap orang.

Beberapa pengalaman selama mengelola anak jalanan di Jabodetabek, Surabaya, dan Makasar menegaskan pentingnya membentuk sifat dan sikap yang bisa menentukan keberhasilan hidup. Kami tidak pernah menentukan secara sepihak menu pendidikan dan pelatihan yang akan dihidangkan untuk anak-anak jalanan. Merupakan prosedur tetap di Yayasan Nanda Dian Nusantara untuk melakukan dialog dengan orang tua dan anak-anak yang akan terlibat dalam program pendidikan dan pelatihan.

Biasanya diskusi sangat hangat dan heboh. Sebab setiap anak dan orang tua mengajukan beragam pilihan seperti menjahit, membuat kue kering, sablon, reparasi alat elektronik, reparasi motor, dan banyak lagi. Namun pada akhirnya, para orang tua dan nyaris semua anak perempuan pasti meminta lebih dulu diajari shalat dan membaca Al Qur'an. Mengapa ada permintaan seperti itu?

Semua mereka memiliki pengalaman yang nyaris sama. Suami dan anak-anak mereka bisa bertambah penghasilannya karena bermacam sebab. Setiap kali penghasilan bertambah, suami dan anak-anak mereka malah jadi "ngaco" atau bertambah "ngaco". Bentuk " ngaco" itu sangat beragam. Mulai dari lebih sering mabok sampai  "main perempuan", tidak sedikit yang segera berjudi.

Karena itulah para ibu itu mengharuskan akan mengizinkan anaknya mengikuti semua program keterampilan bila anak-anaknya lebih dahulu diajari shalat dan membaca Al Qur'an. Biasanya mereka meminta diajari shalat dan baca Al Qur'an juga.

Ketika kami menangani anak-anak pelacur di Bongkaran Tanah Abang, para ibu anak-anak itu yang seluruhnya pelacur, bersedia anak-anaknya dimasukkan ke pesantren atau dipulangkan ke kampung halaman agar tidak dikotori oleh lingkungan Bongkaran Tanah Abang yang kumuh secara fisik dan psikis. Secara sederhana para ibu itu menegaskan,  gak maulah anak-anak jadi kayak aku!

Rasanya kekhawatiran para ibu dari pemukiman kumuh yang anak-anaknya besar di jalanan juga meliputi kita semua. Rasa khawatir itu tampaknya bersifat universal atau berlaku umum. Tidak khusus dialami orang dari kalangan bawah yang tidak terpelajar. Karena hakikinya merupakan kekhawatiran atas tumbuh kembang manusia, siapa pun manusia itu dan apa pun kelas sosialnya.

Lihatlah dalam kenyataan hidup keseharian. Bukankah yang melakukan kejahatan korupsi adalah orang-orang terpelajar dan terhormat yang tinggal di perumahan mewah serta memiliki harta yang berlebih? Mengapa mereka bisa jadi koruptor padahal segalanya serba berlebih? Fakta ini menegaskan bahwa pendidikan yang tinggi dan keberpunyaan bukan jaminan orang menjadi baik dan berhasil dalam hidup. Dalam konteks inilah pentingnya membuat program yang memastikan bahwa nilai-nilai mulia menjadi penghayatan hidup semua orang, tanpa terkecuali. Lembaga pendidikan pastilah sangat bertanggung jawab bagi penanaman nilai-nilai mulia ini.

Bila lembaga pendidikan hanya dimaksudkan agar generasi muda bisa mengerjakan soal-soal matematika, fisika, bahasa Indonesia, bahasa Inggris dan agama dengan ketepatan dan kecepatan yang tinggi dan akurat, sebaiknya bubarkan saja lembaga pendidikan dan diganti bimbingan tes. Pasti lebih murah dan efektif.

Lembaga pendidikan kita didirikan tidak sekadar berfungsi agar generasi muda sukses menempuh Ujian Nasional. Tetapi sukses menempuh hidup.

Semua dokumen resmi mulai dari Undang-undang Dasar 1945 dan semua amandemennya, Undang-undang dan Peraturan lain tentang pendidikan menegaskan bahwa tujuan pendidikan kita bukanlah mampu menjawab soal-soal Ujian Nasional. Karena itu menjadi sangat aneh dan menggelikan ketika sebagian besar energi dan perhatian kita sebagai bangsa tercurah pada Ujian Nasional. Seakan-akan muara proses pendidikan dan penentu keberhasilan negara bangsa ini ditentukan oleh Ujian Nasional. Sungguh negara bangsa yang aneh!

Pendidikan sebagaimana dihayati oleh Ki Hadjar Dewantara dan semua pendiri negara bangsa serta tokoh-tokoh pendidikan nasional sejak dulu hingga kini adalah wahana untuk membentuk manusia Indonesia yang berbudi luhur, bukan sekadar cerdas dan terampil. Bila kini kita menggunakan istilah pendidikan karakter ditambah Revolusi Mental, hakikinya sama dan sebangun dengan yang dihayati para pendiri negara bangsa ini. Sebab manusia terutama dinilai dari budi pekertinya, bukan hanya dari kecerdasan dan keterampilannya.

Para koruptor, bandar narkoba, teroris, dan mucikari pelacur terutama pelacur kelas atas pasti cerdas dan terampil. Kecerdasan dan keterampilan mereka tentulah di atas rata-rata. Jika tidak bagaimana mungkin mereka sangat sulit ditangkap. Bahkan sudah ditangkap dan dijebloskan ke penjara masih bisa mengendalikan teror dan narkoba dari dalam penjara. Maknanya, jika ukuran keberhasilan pendidikan kita adalah kecerdasan dan keterampilan, maka pendidikan formal kita kalah jauh dibandingkan pendidikan para teroris, gembong narkoba dan para agen atau mucikari pelacur.

Mengapa teroris, gembong narkoba, dan mucikari tidak dihormati bahkan dikategorikan sebagai penjahat? Karena mereka tidak memiliki budi pekerti, tidak memiliki nurani, meski mereka cerdas dan terampil.

Perumusan KKNI oleh Pemerintah merupakan pengakuan betapa pentingnya budi pekerti atau karakter. Sejumlah buku seperti Kecerdasan Emosi dari Goleman, Emotional Alchemy karya Tarra Bennett-Goleman, The Sipritual Brain dari Mario Beauregard dan Denyse O' Leary menegaskan itu. Oleh karena buku-buku itu berbasis penelitian, maka penegasan itu sangat sulit dibantah. Persoalannya adalah apakah KKNI sungguh diterapkan dengan benar? Sampai saat ini para praktisi pendidikan pada semua tingkat, berkutat dengan keterampilan teknis untuk merumuskan capaian pembelajaran dan capaian pembelajaran lulusan. Sementara terkait dengan budi pekerti dan karakter sebagai fokus utama, tampaknya kurang mendapat perhatian dan jarang sekali muncul dalam rencana pembelajaran yang dibuat.

Budi pekerti atau karakter tampaknya lebih baik  ditumbuhkembangkan dengan banyak cara, bukan dengan cara tunggal. Karena itu tidak usahlah membuang energi meributkan apakah dituangkan dalam mata pelajaran atau mata kuliah mandiri dan khusus, atau diintegrasikan dalam mata pelajaran atau mata kuliah yang ada mengikuti pola "mata ajar melintasi kurikulum".

Penting pula untuk mempertimbangkan jangan sampai para pembelajar diberi terlalu banyak beban karena semua hal penting seperti budi pekerti atau pendidikan karakter harus masuk kurikukum. Masuk kurikulum tidak selalu berarti sebagai mata pelajaran atau mata ajar baru yang khusus dan mandiri. Pola mata ajar melintasi kurikulum merupakan cara yang efektif dan bermakna.

Contoh materi ajar melintasi kurikulum adalah pembelajaran bahasa. Bahasa apa saja, Indonesia, Jawa,  Sunda, Madura, Inggris, Perancis, dan semua bahasa. Dalam pelajaran bahasa apa pun pembelajar tidak hanya diajarkan tata bahasa yang merupakan aturan normatif tentang bahasa.

Lebih penting dari itu adalah memampukan pembelajar menggunakan bahasa dalam komunikasi yang nyata dalam kehidupan sehari-hari. Penggunaan bahasa sebagai alat komunikasi pastilah bagian terpenting dalam pembelajaran bahasa apa pun. Untuk apa para pembelajar hafal dan paham tata bahasa, jika ia tidak dapat menggunakan bahasa tersebut untuk berkomunikasi?

Penggunaan bahasa untuk berkomunikasi mempersyaratkan banyak aspek atau dimensi. Sebagai contoh, seorang dosen bahasa asing yang menjadi pengajar di sebuah perguruan tinggi di Indonesia menerima telepon dari mahasiswa. Di tengan pembicaraan tiba-tiba ia mengatakan, mohon maaf ya, saya mau keluar sedikit.

Si mahasiswa bingung, apa yang terjadi? Mau keluar sedikit? Lagi ngapain tu dosen? Mencret? Sedang apa dia kiranya? Komunikasi pasti terganggu. Bisa karena tidak paham atau salah paham. Padahal yang dimaksud dosen orang asing itu adalah keluar sebentar. Dia belum bisa membedakan sedikit dan sebentar. Sederhana memang, tetapi bisa menimbulkan tafsir yang rumit. Ini baru aspek pemilihan kata atau diksi.
Seorang teman asal Australia pernah bertanya. Padang itu binatang apa? Ia bertanya begitu karena pernah makan sate ayam dan sate kambing. Jadi saat melihat ada bacaan Sata Padang, ia langsung berpikir bahwa Padang itu binatang sebagaimana kambing atau ayam. Kejadian ini menunjukkan bahasa tidak pernah terbatas hanya pada tata bahasa.

Dalam berkomunikasi konteks menjadi penting. Konteks tidak hanya mengurusi dengan siapa kita berkomunikasi, siapa dia, berapa umurnya, apa latar belakang sosial, ekonomi dan pendidikannya, untuk keperluan apa komunikasi ini dilakukan, dimana komunikasi itu berlangsung, kapan waktunya? Melampaui itu semua. Konteks mengharuskan kita mengenal budaya yang melahirkan bahasa itu, aturan-aturan sopan-santun dalam membangun hubungan dan interaksi dalam budaya tersebut, dan juga penghormatan dengan sesama yang menjadi aturan universal di seluruh dunia, tetapi yang perujudannya tidak sama dalam semua budaya. Keseluruhan konteks ini adalah bagian penting dari budi pekerti atau karakter.

Maknanya melalui mata ajar bahasa, bahasa apa pun, pendidik bisa dan harus menanamkan nilai-nilai positif dalam hidup yang merupakan bagian penting dari budi pekerti atau karakter. Sudah pasti cara yang sama berlaku dan bisa diterapkan untuk semua mata ajar lain seperti matematika, IPA, dan IPS. 

Untuk itu, para pendidik ditantang untuk mengembangkan kreativitasnya bagi pengembangan pembelajaran dengan pola mata ajar melintasi kurikulum. Pola ini membuat mata ajar tidak kering dan terbatas mengajari keterampilan teknis. Secara bertujuan dan sistematis juga memekarkan budi pekerti atau karakter.

Dalam pelaksanaan proses pembelajaran, para pendidik harus memilih metode dan strategi yang berorientasi pada pembelajar dan memberikan kesempatan keterlibatan aktif para pembelajar. Dengan demikian metode ceramah harus sangat minimal digunakan. Karena ceramah hanya memberi pemahaman intelektual yang seringkali dangkal, seadanya, dan tidak analitis. Perhadapkan para pembelajar dengan sejumlah masalah agar dia terlibat dan menghayati. Cara ini lebih efektif dan bermakna untuk membangun pemahaman dan penanaman nilai melalui mengalami dan menghayati secara langsung.

Dalam buku Thinking: The New Science of Decision-Making, Problem-Solving and Prediction (2013) dengan editor John Brockman dijelaskan bahwa penghadapan pada masalah nyata melalui mengalami sungguh sangat berguna bagi penghayatan nilai dan membangun pemahaman yang komprehensif serta mendalam. Sebab penghadapan pada masalah nyata dan mengalami, mengaktifkan semua zona otak. Otak bekerja optimal untuk merespon, menganalisis dan merasakan. Bukan hanya menganalisis secara terjarak dan kering, yang hanya menghasilkan pemahaman terbatas dan minimal.

Tidak sedikit lembaga pendidikan pada berbagai tingkat mencoba melaksanakan sejumlah program yang melibatkan pembelajar secara aktif, mengalami dan menghayati. Namun, sangat disayangkan dalam pelaksanaannya masih meniru gaya lama yang kurang memberi makna mendalam bagi para pembelajar.

Banyak sekolah yang melaksanakan acara kunjungan ke panti asuhan. Pastilah tujuannya baik dan bermanfaat, agar para pembelajar belajar berbagi dan mengenal lebih dalam saudara-saudaranya yang tidak seberuntung dia. Namun, caranya tidak dirancang agar pembelajar sungguh-sungguh terlibat dan mengalami.

Biasanya para pembelajar menggunakan bus yang dipasangi spanduk besar menuju panti asuhan. Semua siswa sudah mengumpulkan apa saja yang berguna untuk berbagi. Bahkan mereka berlatih menari dan membaca puisi untuk dipertontonkan di panti asuhan. Sesampai di panti asuhan, para pembelajar duduk terpisah dari anak panti. Terdapat juga sekolah yang merancang agar para pembelajar duduk bersama anak panti. Kemudian ada acara seremonial, pidato-pidato dan sambutan-sambutan. Diikuti pemberian bantuan secara simbolis oleh beberapa siswa pada anak panti, kemudian disajikan hiburan berupa pembacaan puisi dan menari yang ditampilkan para pelajar. Setelah ramah tamah, makan bersama para pembelajar kembali ke bus dan pulang.

Sungguh sangat formal dan kurang memberi kesempatan bagi pembelajar untuk menghayati lebih dalam kebersamaannya dengan anak-anak panti. Pastilah selama acara berlangsung para pembelajar dan guru sibuk berfoto ria dan segera muncul di media sosial sebagai bukti betapa pedulinya para pembelajar pada anak yatim. Apakah cara seperti ini sungguh bermakna dan membekas dalam sistem otak para pembelajar?

Bandingkan dengan kegiatan yang bertujuan sama, tetapi berbeda cara seperti dijelaskan di bawah ini. Sekolah melibatkan orang tua pembelajar dan sejumlah tokoh masyarakat bersama-sama dengan pembelajar mengidentifikasi keluarga dan anak-anak miskin, yatim, piatu, dan yatim piatu di sekitar sekolah dan rumah para pembelajar. Setelah ditemukan disusunlah program satu semester untuk membantu keluarga miskin, terutama anak-anaknya agar tetap bisa belajar di sekolah. Ada bantuan modal untuk orang tuanya. Para pembelajar secara rutin dijadwalkan berkunjung ke tempat tinggal keluarga miskin itu, berinteraksi dengan anak-anak yang dibantu. Membantu mengajarkan pelajaran yang sulit dan mengerjakan pekerjaan rumah, melakukan ibadah shalat berjamaah dan makan bersama.

Memang tidak sebanyak anak di panti asuhan yang bisa dibantu. Tetapi fokus dan berjangka panjang. Tidak ada biaya untuk menyewa bus, membuat spanduk dan membeli nasi kotak serta cemilan. Semua uang itu bisa digunakan untuk membantu keluarga miskin. Interaksi jangka panjang antara anak-anak miskin dengan para pembelajar dapat mengasah empati para pelajar. Mereka bukan saja memahami apa itu kemiskinan. Lebih dari itu, mereka tahu betapa kemiskinan itu sangat menyengsarakan. Inilah contoh bagaimana program penanaman nilai yang mengaktifkan seluruh bagian otak dan seluruh kemanusiaan si pembelajar.

Kehadirannya ke tempat tinggal keluarga miskin bisa digunakan untuk memahami banyak mata pelajaran. Juga memberi kesempatan baginya untuk mengasah kemampuannya mengamati, berkomunikasi, memahami masalah dan memikirkan berbagai solusi sesuai dengan tingkat usianya. Dalam petatah petitih kita cara ini dikenal dengan ungkapan "sekali mendayung perahu, 17 pulau reklamasi bisa dikunjungi".

Proses pendidikan pastilah akan sangat baik bila pola asuh keluarga memiliki kesamaan atau kesejajaran dengan proses pendidikan di sekolah. Para pembelajar akan merasa nyaman karena keduanya saling memperkuat, tidak ada pertentangan. Pembelajar akan merasa betah dalam situasi ini dan akan lebih bersemangat untuk terus belajar di rumah dan di sekolah. Penciptaan rasa aman dan nyaman memang harus diusahakan oleh orang tua dan guru. Meski tidak mudah, namun harus terus diusahakan.

Mengapa rasa aman dan nyaman sangat dibutuhkan dalam proses tumbuh kembang para pembelajar? Eric Jansen dalam Rahasia Otak Cemerlang menegaskan bahwa otak sangat dipengaruhi oleh musuh utama dalam belajar yaitu ancaman, tekanan yang berlebihan, kecemasan, dan perasaan tak berdaya.

Bila terjadi ketidaksesuaian antara apa yang didapat dan dirasakan oleh pembelajar di rumah dan di sekolah, boleh jadi dia merasa kurang nyaman. Terasa ada semacam ancaman dan tekanan yang membuatnya cemas dan tak berdaya. Pastilah dalam jangka panjang akan sangat mengganggunya. Ia susah berkonsentrasi dan kurang bergairah. Dalam kaitan inilah perlunya orang tua dan sekolah membangun komunikasi, relasi dan interaksi yang positif.

Tentu saja komunikasi, relasi dan interaksi positif tidak terbatas antara keluarga dalam hal ini orang tua dengan sekolah sebagai lembaga pendidikan. Juga harus terjadi dengan masyarakat. Tampaknya dalam konteks Indonesia masa kini, problem terbesar yang sangat mengganggu proses dan pencapaian tujuan sekolah sebagai lembaga pendidikan adalah kondisi dan perkembangan masyarakat.

Sekolah sebagai sebuah lembaga pendidikan hanyalah sebuah titik dalam jejaring yang luas dan rumit. Kondisi, perkembangan keluarga dan masyarakat sangat menentukan apa yang bisa dilakukan dan dicapai oleh sekolah. Karena keluarga dan masyarakat adalah penentu. Jangan pernah berpikir bahwa keberhasilan dan kegagalan sekolah sepenuhnya ditentukan secara mandiri oleh sekolah.

Sebagai contoh nyata, di dalam keluarga ditanamkan nilai-nilai positif yang membentuk budi pekerti atau karakter. Memperkuat penanaman nilai itu, sekolah juga mengembangkan berbagai program untuk terus menumbuhmekarkannya. Semuanya seakan dihancurkan oleh apa yang terpapar di dalam masyarakat baik melalui perilaku yang ditunjukkan sebagian anggota masyarakat di semua ruang publik yang mempertontonkan tindakan dan sikap negatif, juga dipertontonkan para tokoh dan pemimipin lewat perilaku koruptif dan penggunaan narkoba, maupun melalui media terutama televisi yang mendahulukan tontonan tidak bermutu dan tidak mendidik, lewat sinetron yang berisi kedengkian dan berita yang penuh fitnah. Pastilah kondisi penuh pertentangan ini akan sangat membingungkan anak-anak dan remaja kita yang sedang tumbuh kembang dan menjadi pembelajar di berbagai lembaga pendidikan.

Pertanyaannya adalah, apakah apa yang diberikan dan ditanamkan keluarga dan sekolah bisa bertahan, berkembang menghadapi kondisi masyarakat yang tidak positif ini. Apakah kemampuan memilah, memilih dan mengolah anak-anak dan remaja kita sudah memadai untuk menyikapi buruknya kondisi masyarakat itu?

Menyalahkan dan menyerang sekolah ketika terjadi tawuran pelajar dan kekerasan yang dilakukan pelajar adalah tindakan reaktif dan salah sasaran. Tentu saja sekolah ikut bertanggung jawab. Tetapi yang juga harus bertanggung jawab adalah keluarga, dan yang paling bertanggun jawab adalah masyarakat dan negara, terutama Pemerintah sebagai penyelenggara negara.

Dalam soal cepatnya pertumbuhan keterlibatan remaja mengonsumsi narkoba, berapa kekuatan sekolah untuk mengatasinya dibandingkan kekuatan keluarga, masyarakat dan negara? Apakah sekolah juga keluarga dapat berbuat banyak jika penegak hukum belum berhasil memberantas peredarannya? Apakah sekolah memiliki kewenagan dan kekuatan sangat besar untuk mencegah remaja kita menjadi cabe-cabean?

Ingatlah selalu, sekolah bukan pabrik. Pabrik dapat terus berjalan, berfungsi dan berproduksi tanpa memerhatikan budaya dimana pabrik itu berdiri. Pabrik cukup memerhatikan faktor-faktor ekonomi untuk kebertahanan dan keberlanjutannya. Sekolah itu sangat berbeda dari pabrik. Sekolah adalah lembaga kebudayaan, bukan lembaga ekonomi. Sekolah mengemban amanah untuk memekarkan manusia, memanusiakan manusia. Bukan sekadar memproduksi tenaga kerja untuk keperluan perkembangan industri.

Karena itu nilai-nilai budaya yang melekat dalam masyarakat, kondisi dan perkembangan masyarakat, kondisi dan sikap serta perhatian negara sangat menentukan kebertahanan, keberlangsungan, dan kemajuan sekolah sebagai lembaga pendidikan. Sudah pasti kondisi dan sikap keluarga juga sangat menentukan. Dalam konteks inilah gagasan Anis Bawedan tentang Ekosistem Pendidikan menjadi sangat penting dan bermakna. Bahwa hakikinya pendidikan adalah jejaring yang melibatkan seluruh komponen negara bangsa.

Oleh karena itu terasa aneh, menggelikan dan sangat absurd tatkala sejumlah orang yang mengaku tokoh pendidikan, ahli pendidikan, pengamat pendidikan dan praktisi pendidikan membandingkan pendidikan Indonesia dengan pendidikan Filandia, dan mengecam habis pendidikan Indonesia yang disebut buruk dan tak bermutu. Mengapa absurd? Karena membandingkan pendidikan Finlandia dengan Indonesia seperti membandingkan F.C. Barcelona dengan PS Bantul.

Aku beruntung karena pernah mukim di negara-negara Skandinavia termasuk Finlandia. Justru karena pernah belajar di sana, aku sangat bangga dengan Indonesia dan pendidikan Indonesia. Mengapa?

Finlandia adalah negara sangat kecil. Luas wilayahnya sekitar 338.424 km2, dengan penduduk sekitar 5.477.359 jiwa. Termasuk salah satu negara terkaya di dunia dengan indeks gini atau tingkat kesenjangan yang rendah (25,9). Masyarakatnya maju, moderen, dan sangat terpelajar. Pemerintahannya bersih, sangat peduli pada kesejahteraan rakyat. Kepedulian itu terlihat dalam berbagai kebijakan yang bisa dirasakan dalam kehidupan sehari-hari.

Jika kita membandingkan luas wilayah, jumlah penduduk dan kekayaan kedua negara akan sangat terlihat, betapa absurd, aneh dan menggelikan membandingkan Indonesia dan Finlandia, terutama dalam bidang pendidikan.

Mari kita bandingkan sejarah kemerdekaan kedua negara. Finlandia menjadi Kadipaten Agung Finlandia, daerah otonomi dalam Kekaisaran Rusia 29 Maret 1809. Melakukan Deklarasi Kemerdekaan dari RSFS Rusia 6 Desember 1917, dan diakui 4 Januari 1918. Kira-kira apa bentuk, posisi, dan keberadaan Indonesia pada tahun 1918? Kita baru merdeka 17.8.1945.

Perbedaan paling mendasar adalah nilai-nilai budaya yang melekat dan dikembangkan dalam kedua negara. Mengapa perbedaan budaya ini sangat penting dikedepankan, karena pendidikan berkutat, bekerja, hidup, bertahan dan berkembang dalam dan bagi kebudayaan. Itulah sebabnya sekolah sebagai lembaga pendidikan harus diperlakukan sebagai lembaga budaya, yang sangat menentukan strategi kebudayaan kita sebagai negara bangsa.

SEKOLAH ADALAH LEMBAGA KEBUDAYAAN YANG MEMANUSIAKAN MANUSIA, BUKAN PABRIK YANG MEMPRODUKSI TENAGA KERJA.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

setiap komentar yang masuk akan terkirim secara langsung ke alamat email pribadi Bapak DR. Nusa Putra, S.Fil, M.Pd