Minggu, 10 April 2016

MALAM SEMARANG

Nyaris setiap malam aku shalat Isya menjelang tidur, agar seluruh hari ditutup dengan shalat dan doa. Malam Jumat aku melakukan shalat Isya di ketinggian, lantai 12 sebuah hotel di Semarang. Malam sangat tenang dan aku larut dalam kekhusu'an. Besok malamnya aku ulangi ritual yang sama. Tetapi suasananya sama sekali berubah.

Baru saja mengangkat takbir, aku dikejutkan oleh raungan suara motor yang benar-benar memekakkan telinga. Sepanjang sholat, suara raungan motor makin meninggi dan membahana. Keluar dari knalpot  motor yang telah dimodifikasi.

Sudah pukul 23.10, aku putuskan untuk menunda tidur dan menuju lantai dasar, bertemu dengan petugas keamanan dan menanyakan mengapa ada suara raungan motor malam ini? Petugas itu menjelaskan bahwa setiap malam Sabtu anak-anak pada ngetrek atau balapan di jalan raya, tambah malam tambah rame.

Aku putuskan untuk berkeliling kota menggunakan becak dayung. Penarik becaknya berusia 56 tahun, memiliki 7 anak dan 4 cucu, beberapa bulan ke depan akan punya buyut, orang Semarang asli dan sudah 6 tahun jadi pembecak. Tadinya dia bandar judi rolet di berbagai tempat keramaian.

Ia bawa aku menyusuri jalan Pemuda. Di kiri kanan jalan terparkir puluhan mobil dan ratusan motor. Menjawab pertanyaanku penarik becak bercerita. Malam Sabtu, jalan-jalan utama di Semarang sangat ramai. Anak-anak muda berkumpul di pinggir jalan. Banyak mobil dan motor, yang paling banyak motor. Mereka tidak pernah ribut karena bukan genk tetapi klub. Genk itu cuma cari ribut, klub itu persaudaraan. Mereka pada nongkrong, ngobrol, dengar musik, dan nonton yang trek-trekkan. Anak-anak yang trek-trekkan tidak banyak. Nanti tambah malam yang trek-trekkan makin rame. Jalanan jadi ribut banget. Baru reda bila ada patroli polisi. Mereka yang trek-trekkan pada balapan sama pak polisi. Biasanya bubaran, tetapi nanti kembali lagi. Malam Minggu tidak seramai ini. Dari dulu ya malam Sabtu ramainya.

Aku perhatikan, pada tiap kelompok ada 7 sampai 12 mobil, macam-macam jenis dan merek mobil. Mereka berkumpul di sekitar mobil. Di bagian depan mobil terlihat botol minuman, tak ada bir atau sejenisnya, kebanyakan minuman berbotol plastik, teh dan berbagai jenis minuman lain. Ada suara musik tetapi tidak keras. Tidak seperti tongkrongan di Kamayoran Jakarta, sangat sedikit wanita. Pakaian wanita yang ikutan nongkrong rapih dan sopan.

Sementara klub motor lebih banyak. Tiap kelompok jumlah minimal motornya 15, di belakang motor yang diparkir mereka duduk di trotoar. Juga tak kutemukan minuman beralkohol. Mereka ngobrol dan merokok. Kebanyakan menggunakan pakaian seragam, yang paling banyak berupa kaos oblong dengan macam-macam simbol di bagian depan.

Saat kutanyakan pada penarik becak mengapa tidak ada minuman seperti bir, ia menjelaskan mereka berkumpul untuk santai-santai. Memang tidak ada yang mabuk-mabukan. Mereka kan mengendarai mobil atau motor, bisa berbahaya bila mabuk, paparnya.

Kami terus menyusuri jalan Pemuda, ada yang menarik di kaki lima toko di kanan-kiri jalan, banyak tukang pijat. Setiap mereka memasang spanduk menyebutkan layanan pijat apa saja yang tersedia. Aku hitung di sebelah kiri jalan ada sekitar tiga puluhan tukang pijat, dan di sebelah kanan ada sekitar dua puluhan. Hanya ada lima pemijat perempuan yang sudah umur. Mereka memijat di ruang terbuka beralaskan tikar. Banyak orang sedang pijatan.

Si pembecak tetap mengayuh dan membawaku ke Perempatan Johar, ia membelok ke kiri, ada suara keras musik dangdut. Kami memasuki Jalan Imam Bonjol. Di sebelah kiri ada enam warung kopi yang tertutup dengan terpal. Lampunya remang. Tujuh perempuan duduk di depan warung, hanya dua yang berusia muda. Mereka menawarkan kopi. Si pembecak bilang, mereka menawarkan kopi nanti diberi Cap Tiga Orang, jamu yang bisa bikin mabok. Mereka wanita gak benar, tegasnya.

Aku tajamkan mata di keremangan malam. Aku lihat dengan cermat, di kanan-kiri jalan ada wanita berdiri. Dalam keremangan tampak sudah berumur. Tangannya melambai pada semua lelaki yang lewat. Kuperhatikan dan kuhitung, terdapat lima di kanan jalan, dan tujuh di kiri. Tidak jauh dari para wanita itu ada wanita muda duduk di motor yang diparkir di pinggir jalan. Jumlah mereka lebih banyak, usianya masih muda dan gayanya seperti kebanyakan ABG, menggunakan celana sangat pendek dan baju kaos ketat. Pahanya sengaja dibuka. Ada beberapa lelaki muda menghentikan motor di dekat wanita motor itu, mereka berbincang. Terdengar tawa cekikikan.

Rupanya jalanan ini diramaikan oleh wanita-wanita malam. Hotel kelas melati atau motel berjejeran di kanan-kiri jalan. Aku tanyakan pada pembecak, apakah dia kenal dengan orang yang mengurusi hotel melati? Ia menjawab kenal semua orang yang ngurusi hotel melati di sepanjang jalan ini. Aku minta dibawakan ke salah satu saja. Ia mengayuh becaknya dan menyeberangi jalan. Kami tiba di depan Hotel A. Empat lelaki berusia sekitar tiga puluhan berbadan besar duduk di pintu gerbang hotel. Si pembecak turun meninggalkan aku menuju ke tempat para lelaki itu duduk. Ia berbincang sebentar dan memintaku turun bertemu mereka. Kami bersalaman, aku tawari mereka memesan minuman dan rokok. Dua pesan kopi dan dua lainnya pesan coklat panas. Aku duduk di sebelah lelaki yang paling besar. Mereka bertanya aku menginap dimana dan berasal dari mana. Kami terlibat perbincangan tentang Hotel A. Tarifnya delapan puluh ribu sehari, tetapi paling lama digunakan hanya dua jam. Jarang sekali tamu menginap di sini.

Selama berbincang aku perhatikan, yang keluar masuk hotel menggunakan motor adalah pasangan-pasangan ABG. Dari gaya berpakaian wanita yang dibawa tampaknya bukan wanita bayaran. Si pengurus hotel yang berbaju kaos biru menjelaskan bahwa memang lebih banyak pasangan ABG yang menggunakan kamar-kamar di hotel ini daripada lelaki membawa wanita bayaran. Bila siang atau sore, beberapa wanita yang dibawa menggunakan jaket, dan celana panjang. Namun dari tas yang dibawanya dan kemeja putih yang dikenakan di dalam jaket bisa dipastikan wanita itu masih siswa SMA.

Sementara itu lelaki lain yang menggunakan kemeja tangan panjang warna hijau menjelaskan bahwa tamu yang datang ke sini lebih suka memesan wanita dari mereka daripada yang berdiri di pinggir jalan atau yang nongkrong menggunakan motor. Tarifnya memang lebih mahal yaitu empat ratus ribu rupiah, sedangkan yang mejeng di pinggir jalan, terutama yang masih muda dan menggunkan motor tarifnya tiga ratus ribu rupiah. Tamu kurang suka pada wanita pinggir jalan sebab mereka tiap malam menjajakan diri. Sedangkan yang disediakan hotel adalah anak-anak ABG yang pada umumnya bekerja dan hanya melayani bila ada yang memanggil.

Aku permisi untuk menggunakan toilet yang ternyata ada di bagian belakang hotel. Kuhitung ada 15 motor di tempat parkiran. Sesaat meninggalkan toilet, ada padangan ABG yang baru saja keluar kamar. Dilihat dari tampang dan bentuk tubuhnya, rasanya wanitanya masih SMP. Saat berpapasan denganku keduanya menunduk, tak ingin bertatapan.

Wanita yang sediakan oleh pengurus hotel bisa dibawa ke hotel tempat tamu menginap, tarifnya lima ratus ribu rupiah. Jika menginap bisa sejuta rupiah.

Lelaki bertubuh besar yang menggunakan jaket kulit coklat menjelaskan bahwa lima tahun terakhir tamu hotel ini memang berubah. Dulu kebanyakan lelaki berumur tiga puluh tahun ke atas yang membawa wanita yang mejeng di jalan. Tetapi sekarang yang lebih banyak adalah pasangan ABG. Terutama pada siang dan sore hari. Bahkan ada beberapa pasangan ABG yang sangat sering datang ke sini, sudah jadi langganan, katanya. Setelah berbincang tentang banyak hal, aku pamit karena hendak melihat yang lain.

Kami melanjutkan perjalanan. Di sepanjang jalan, kanan-kiri, wanita mejeng baik yang berdiri maupun yang duduk di motor semakin banyak. Mulai tidak terlihat dekat stasiun kereta api. Melewati stasiun kereta api, ada karaoke yang dihiasi lampu warna-warni dan tidak berhenti berkelip. Malam jadi kelihatan terang dan meriah. Banyak mobil terparkir di depan karaoke.

Setelah itu jalan remang dan sepi. Inilah suasana malam yang sesungguhnya, remang, teduh dan hening. Seorang lelaki mengayuh sepeda, ada dua keranjang besar di bagian belakang yang diikatkan pada kiri-kanan boncengan. Ia berhenti di tiap tempat sampah, menggunakan senter untuk mencari apapun yang masih bisa dijual. Pemulung malam bersepeda. Dari mulutnya terdengar lantunan lagu dangdut Rhoma Irama. Cara yang mudah dan murah menghibur diri, bernyanyi sepanjang jalan.

Kami sampai di Tugu Muda, sepertiga bundaran digunakan klub mobil BMW. BMW yang terparkir tergolong berusia tua. Di sebelahnya terparkir puluhan motor. Di seberang jalan ada kumpulan vespa yang telah dimodifikasi dengan tiga roda. Sungguh sangat banyak orang berkumpul. Aku turun dari becak dan jalan berkeliling mencermati semua yang berkumpul.

Banyak minuman ringan botol atau kaleng yang ditaruh dekat mereka yang berkumpul. Tak kutemukan minuman beralkohol. Apakah memang tidak ada atau minuman beralkohol disembunyikan? Banyak wanita cantik dan berpakaian rapih kumpul bersama para pemilik BMW.

Aku menyeberang jalan dan duduk dekat anak muda yang tampak kumuh yaitu mereka yang menggunakan vespa modifikasi. Aku ngobrol dengan mereka, berbincang tentang vespa yang unik. Mereka bersemangat menjelaskan. Saat kutanyakan tentang apa yang diminum, mengapa tidak ada minuman beralkohol, mereka menjelaskan ngumpul malam Sabtu mau senang-senang, ngobrol-ngobrol untuk persaudaraan, tidak ada alkohol. Kalau mau sedikit mabok bukan di sini tempatnya.

Kami melanjutkan lagi perjalanan, di Jalan Pandanaran suasananya sama saja. Banyak mobil dan motor berkumpul. Nyaris sepanjang jalan, kanan dan kiri jalan dipenuhi mobil dan motor. Rupanya ada yang berulang tahun di salah satu klub mobil. Lelaki yang berulang tahum dikerjain teman-temannya. Ia disiram tepung sampai seluruh tubuhnya memutih, setelah itu muncul tiga wanita berpakaian rapih membawakan kue ulang tahun. Lelaki yang memutih karena tepung itu meniup lilin, teman-temannya bernyanyi.

Kami jalan lagi dan sampai di Simpang Lima. Di sini suasana sangat berbeda. Di bundaran yang lebih luas dibandingkan Tugu Muda, ada lima sepeda yang dihias lampu warna-warni dan tiga becak yang dimodifikasi dan juga diberi lampu, berkeliling di bundaran.

Banyak pasangan duduk asyik di bangku yang disediakan dan di bawah pohon. Banyak mobil dan motor terparkir, tetapi bukan klub seperti di tempat lain. Para pemilik motor dan mobil sedang makan di warung makan yang jumlahnya sangat banyak. Tidak ada orang nongkrong di sekitar mobil dan motor seperti di tempat lain. Dari Simpang Lima kami menuju Jalan Pahlawan.

Rupanya yang paling heboh di Jalan Pahlawan. Di depan kantor gubernur terdapat lebih dari dua ratus motor diparkir. Banyak anak muda ngumpul dan asyik ngobrol. Mereka menonton sejumlah orang lagi ngetrek, suara raungan motor sungguh memekakkan telinga. Semakin lama yang ngetrek makin banyak. Tragis rasanya, karena diujung jalan ini ada MAPOLDA. Apakah memang sengaja dibiarkan, atau dianggap masih dalam batas toleransi sehingga anak-anak muda itu bebas memacu motornya sekencang mungkin?

Aku turun lagi dari becak dan berbincang dengan sejumlah anggota klub motor. Pada umumnya mereka siswa SMA, datang ke sini dengan jumlah 37 motor. Satu motor berdua dan beberapa bertiga. Setiap malam Sabtu mereka berkeliling kota Semarang dengan berkonvoi, menjelang tengah malam nongkrong istirahat dan melihat trek-trekkan. Ada dua orang anggota klub ini yang suka trek-trekkan, yang lain hanya menonton. Meski berasal dari klub yang berbeda, mereka saling kenal. Tidak pernah ada keributan karena tidak ada yang mabok. Setiap klub menjaga agar jangan sampai ada anggotanya yang menggunakan alkohol jika ingin berkumpul bersama seperti ini.

Salah seorang menjelaskan, mereka berkumpul bersama malam Sabtu, sebab malam Minggu yang punya pacar pada janjian dengan pacarnya. Malam Sabtu untuk teman, malam Minggu bersama pacar. Rata-rata mereka sudah dua tahun ikutan klub motor ini. Kegiatannya banyak, misalnya berwisata bersama, dan nonton bola bareng. Malam Sabtu memang diwajibkan berkumpul, jalan-jalan keliling kota dan nongkrong sampai pagi.

Karena sudah dini hari aku minta pada si pembecak pulang saja ke hotel. Di jalan ada kejutan kecil, dua wanita dengan dua motor mendekati becak. Menegur dengan logat Jawa yang kental menawarkan jasa untuk bersenang-senang. Usianya tampaknya sekitar dua puluhan. Aku dan tukang becak memanfaatkan kehadiran mereka untuk bertanya macam-macam. Becak terus meluncur, keduanya mungkin mengambil kesimpulan bahwa godaannya tidak berhasil kemudian ngacir. Si pembecak bercerita. Biasanya di tempat ini banyak wanita bermotor yang berani nyamperin lelaki yang lewat, terutama lelaki yang berjalan kaki, naik motor atau naik becak. Tumben malam ini sepi, tegasnya.

Malam adalah kesempatan bagi tubuh untuk jeda dan jiwa untuk istirah. Rehabilitasi fisik melalui pembaruan sel-sel terjadi saat kita menikmati lelap tidur pada malam hari. Juga ada kesempatan untuk membersihkan toksin pikiran melakui mimpi yang tak mudah dipahami. Malam mestinya teduh, hening dan temaram.

Entah kenapa, perkotaan selalu menghidupkan malam. Malam yang mestinya teduh dan hening dengan sengaja diubah menjadi gaduh dan bising. Ketemaraman diubah menjadi benderang lampu warna-warni yang tak berhenti berkerlap-kerlip.

Malam bukan saja dibuat genit, bahkan liar. Malam yang sejuk dicipta menjadi penuh keringat. Suara keras penuh hantakan di ruang-ruang diskotik, dan raungan mesin motor di jalanan. Trotoar jalanan disulap menjadi pusat kuliner yang dipenuhi orang yang makan apa saja, justru menjelang tidur.

Boleh jadi di perkotaan, dua belas jam siang dirasakan sangat kurang untuk aktivitas yang padat bertumpuk. Karena itu malam harus dihidupkan, dibuat menjadi menggairahkan. Hiburan, apapun bentuknya, menjadi keniscayaan. Mereka yang penat letih dibebani pekerjaan harus melemaskan otot, mengendorkan syaraf, dan memberikan kenikmatan bagi tubuh yang terasa nyeri oleh beban pekerjaan.

Kota tak pernah tidur, bagi mereka yang letih jiwanya. Wisata malam menjadi kebutuhan bagi mereka yang tak bisa memejamkan mata dan merasakan nikmat dan indahnya tidur. Insomnia atawa susah dan tak bisa tidur adalah anomali, penyakit yang menyerang banyak orang di dunia moderen. Bagi mereka wisata dan hiburan malam adalah keniscayaan. Itulah sebabnya mengapa diskotik, karaoke, klub, panti pijat, spa, dan wanita jalanan terus bertumbuh dan bertambah.

Di perkotaan, malam tak pernah hening dan teduh. Kegelisahan dan kesepian mereka yang dibebani pekerjaan dan disiksa insomnia sungguh dimanfaatkan untuk membuat malam penuh gairah. Di sinilah kapitalis mengambil kesempatan.

Mereka tak mau membiarkan malam menjadi "gelas kosong yang senyap", mereka dengan sengaja membuat layanan 24 jam, 7 hari, terus menerus tanpa henti. "Gelas-gelas harus diisi anggur merah kegairahan". Malam berubah menjadi "semangat yang membakar".

Mereka yang berpunya memenuhi karaoke, diskotik, spa dan klub mahal. Sementara yang pas-pasan boleh nikmati apapun di jalan dan pinggir jalan.

PERKOTAAN SUNGGUH ANOMALI NYATA BAGI KEMANUSIAAN.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

setiap komentar yang masuk akan terkirim secara langsung ke alamat email pribadi Bapak DR. Nusa Putra, S.Fil, M.Pd