Ramadhan bulan suci. Kita menyambutnya
dengan gembira meski harga sembako melejit melambung sangat tinggi. Cabe rawit
melampaui seratus ribu sekilo. Tampaknya pemerintahan SBY memang payah, tak
bisa kendalikan harga. Seorang teman bilang, mana mungkin SBY bisa kendalikan
harga, kendalikan kadernya aja dia gak bisa. Buktinya banyak yang korupsi. Ya,
sudahlah. Kita coba lupakan semua kepayahan Pemerintahan dan partai SBY, kita
sambut Ramadhan dengan hikmat.
Tentu saja, kita ingin melakukan dan
mendapatkan yang terbaik selama Ramdahan. Memperbanyak ibadah dan amal shaleh
yang akan diteruskan dalam bulan-bulan berikutnya. Sebab, Ramadhan adalah garis
strat, dan finisnya adalah kematian. Karena itu semua ibadah dan amal shaleh yang
dilaksanakan selama Ramadhan harus memberi bekas dan dilanjutkan justru pasca
Ramadhan. Tetapi, tampaknya bukan hanya kita yang berusaha keras untuk
mendapatkan yang terbaik. Ada piha lain yang juga sangat berkeinginan
mendapatkan yang terbaik, yaitu untung sebesar-besarnya memanfaatkan Ramadhan.
Siapakah mereka? Ya pemilik modal, para kapitalis.
Melalui iklan terutama di televisi,
para kapitalis itu secara terus menerus membombandir kita dengan tawaran
berbagai produk yang sebagian besar tidak kita butuhkan. Mereka berusaha
merubah berbagai keinginan kita menjadi kebutuhan dengan berbagai cara. Dengan
canggih mereka memanfaatkan semua yang berbau keislaman. Mulai dari penggunaan
istilah-istilah yang berasal dari Al Quran dan Hadis, sampai menggunakan ustaz
dan ustazah menjadi bintang iklan. Sungguh, saya sama sekali tidak faham, ayat
Quran dan Hadis Nabi yang mana yang
digunakan para agamawan itu untuk membenarkan tindakannya menjadi garda depan,
juru bicara kapitalisme. Sekarang jadi sangat sulit membedakan sejumlah ustaz
dan ustazah dengan para selebriti. Banyak perilaku mereka yang persis sama. Ini
tentu saja membingungkan, bahkan mungkin menjijikkan.
Perhatikan gaya bicara, tampilan,
perilaku dan gaya mereka berpakaian, penuh kemewahan dan tampak sekali gaya
pamernya. Ada pula yang tidak malu-malu melompat-lompat seperti gaya abg
ganjen. Jika melihat semua tampilan itu kita bertanya, apa yang mereka teladani
dari Nabi Muhammad SAW. Bukankah ulama itu pewaris Nabi.
Mari kita longok sejenak kehidupan Nabi
Muhammad. Saat berada di Madinah setelah berhasil menegakkan Islam, beliau
ditawari semua kemewahan dunia. Apa pun bisa beliau lakukan, tetapi Nabi
memilih tinggal dalam kesederhanaan di pelataran masjid. Beliau sadar, sebagai
teladan beliau harus menunjukkan dan menghayati kehidupan sederhana. Bandingkan
dengan para ustaz yang telah diubah oleh para kapitalis menjadi bintang iklan.
Sementara itu perhatikan pula para
artis yang suka memamerkan aurat. Tiba-tiba tampil dengan jilbab untuk
acara-acara yang beraroma keislaman. Para artis bertukar penampilan bukan
menunjukkan bahwa mereka sudah bertobat dari pamer aurat. Mereka harus menyulap
penampilan, karena selama Ramadhan acara-acara beraroma Islamlah yang laku
dijual. Mereka lakukan itu sebagai dagangan. Tampaknya artis dan ustaz telah
dibuat sama oleh para kapitalis yaitu sekedar menjadi komoditi. Tentu saja ini
tragis, tetapi begitulah faktanya. Para artis tampak berpenampilan islami,
sebaliknya para ustaz dan ustazah tampil layaknya artis sebagai bintang iklan.
Kelihatan betul agama bagi mereka lebih merupakan dagangan, bukan ajaran yang
harus dihayati dengan dan dalam perilaku.
Para kapitalis tidak berhenti sampai di
situ. Untuk memperkenalkan dan meningkatkan penjualan produk, mereka
mensponsori aneka kuis menjelang berbuka, dan terutama saat sahur. Perhatikan
isi kuis dan peilaku para pembasa acara kuis. Apakah sesuai dengan semangat
Ramadhan? Gaya pakaian, perilaku, dan gaya para pembawa acara kuis itu sangat
tidak sesuai bahkan bertentangan dengan semangat Ramadhan. Ini menegaskan bahwa
bagi para kapitalis, apapun mereka lakukan untuk memperoleh sebanyak-banyaknya
keuntungan. Mereka sungguh menghalalkan segala cara, bukan mencarakan segala
yang halal untuk memperoleh keuntungan.
Beragam contoh di atas menunjukkan
bahwa kapitalisme, baik yang primitif maupun yang moderen, ruhnya sama saja
yaitu mendorong manusia ke arah materalisme-duniawi, konsumerisme dan
hedonisme. Karena itu, apapun alasannya kapitalisme itu merusak dan musuh
keimanan. Tragisnya, kapitalisme tampaknya memang berhasil dalam misinya
mendorong manusia menjadi konsumeris. Perhatikanlah saat akhir Ramadhan. Di
mana orang ramai berkumpul? Di masjid atau di pasar dan mal.
Adakah aturan dan anjuran agar orang
membeli segala yang baru saat puasa berakhir dan lebaran datang? Bukankah
anjurannya adalah berbagi dengan orang yang tak berpunya? Berbagi secara
empatis dengan penuh iman dan ikhlas. Tampaknya bagi banyak orang, Ramadahan
berhasil membuat mereka merasakan lapar dan haus. Namun, belum berhasil
mengikis egoisme dalam lubuk hati mereka. Ramadham baru sekedar ritual
melepaskan diri dari kewajiban agama. Tak heran selepas Ramadhan suasananya
tetap saja aku masih seperti yang dulu. Tak ada perubahan yang signifikan.
Sementara itu para kapitalis mengeruk keuntungan memanfaatkan Ramadhan.
Saya baru saja membaca tulisan bapak mengenai ramadhan dan kapitalisme. Saya pun merasa tulisan ini sangat bagus.
BalasHapusSudah lama saya berpikir seperti apa yang bapak tuliskan. Namun karena saya adalah seorang non-muslim, saya tidak cukup berani untuk mengungkapkannya kepada teman-teman saya yang muslim. Salah-salah nanti dituduh membenci bulan Ramadhan. Ketidakmampuan untuk mengungkapkan ini membuat saya lumayan sedih.
Lebih sedihnya lagi, banyak teman-teman saya yang muslim malah 'dengan sukarela' tenggelam dalam tipuan kapitalisme ini. Saya harap tulisan bapak ini dapat bermanfaat bagi teman-teman saya yang beragama muslim.