Minggu, 28 Juli 2013

RAMADHAN, KAPITALISME DAN KITA



Ramadhan bulan suci. Kita menyambutnya dengan gembira meski harga sembako melejit melambung sangat tinggi. Cabe rawit melampaui seratus ribu sekilo. Tampaknya pemerintahan SBY memang payah, tak bisa kendalikan harga. Seorang teman bilang, mana mungkin SBY bisa kendalikan harga, kendalikan kadernya aja dia gak bisa. Buktinya banyak yang korupsi. Ya, sudahlah. Kita coba lupakan semua kepayahan Pemerintahan dan partai SBY, kita sambut Ramadhan dengan hikmat.

Tentu saja, kita ingin melakukan dan mendapatkan yang terbaik selama Ramdahan. Memperbanyak ibadah dan amal shaleh yang akan diteruskan dalam bulan-bulan berikutnya. Sebab, Ramadhan adalah garis strat, dan finisnya adalah kematian. Karena itu semua ibadah dan amal shaleh yang dilaksanakan selama Ramadhan harus memberi bekas dan dilanjutkan justru pasca Ramadhan. Tetapi, tampaknya bukan hanya kita yang berusaha keras untuk mendapatkan yang terbaik. Ada piha lain yang juga sangat berkeinginan mendapatkan yang terbaik, yaitu untung sebesar-besarnya memanfaatkan Ramadhan. Siapakah mereka? Ya pemilik modal, para kapitalis.

Melalui iklan terutama di televisi, para kapitalis itu secara terus menerus membombandir kita dengan tawaran berbagai produk yang sebagian besar tidak kita butuhkan. Mereka berusaha merubah berbagai keinginan kita menjadi kebutuhan dengan berbagai cara. Dengan canggih mereka memanfaatkan semua yang berbau keislaman. Mulai dari penggunaan istilah-istilah yang berasal dari Al Quran dan Hadis, sampai menggunakan ustaz dan ustazah menjadi bintang iklan. Sungguh, saya sama sekali tidak faham, ayat Quran  dan Hadis Nabi yang mana yang digunakan para agamawan itu untuk membenarkan tindakannya menjadi garda depan, juru bicara kapitalisme. Sekarang jadi sangat sulit membedakan sejumlah ustaz dan ustazah dengan para selebriti. Banyak perilaku mereka yang persis sama. Ini tentu saja membingungkan, bahkan mungkin menjijikkan.

Perhatikan gaya bicara, tampilan, perilaku dan gaya mereka berpakaian, penuh kemewahan dan tampak sekali gaya pamernya. Ada pula yang tidak malu-malu melompat-lompat seperti gaya abg ganjen. Jika melihat semua tampilan itu kita bertanya, apa yang mereka teladani dari Nabi Muhammad SAW. Bukankah ulama itu pewaris Nabi.

Mari kita longok sejenak kehidupan Nabi Muhammad. Saat berada di Madinah setelah berhasil menegakkan Islam, beliau ditawari semua kemewahan dunia. Apa pun bisa beliau lakukan, tetapi Nabi memilih tinggal dalam kesederhanaan di pelataran masjid. Beliau sadar, sebagai teladan beliau harus menunjukkan dan menghayati kehidupan sederhana. Bandingkan dengan para ustaz yang telah diubah oleh para kapitalis menjadi bintang iklan.

Sementara itu perhatikan pula para artis yang suka memamerkan aurat. Tiba-tiba tampil dengan jilbab untuk acara-acara yang beraroma keislaman. Para artis bertukar penampilan bukan menunjukkan bahwa mereka sudah bertobat dari pamer aurat. Mereka harus menyulap penampilan, karena selama Ramadhan acara-acara beraroma Islamlah yang laku dijual. Mereka lakukan itu sebagai dagangan. Tampaknya artis dan ustaz telah dibuat sama oleh para kapitalis yaitu sekedar menjadi komoditi. Tentu saja ini tragis, tetapi begitulah faktanya. Para artis tampak berpenampilan islami, sebaliknya para ustaz dan ustazah tampil layaknya artis sebagai bintang iklan. Kelihatan betul agama bagi mereka lebih merupakan dagangan, bukan ajaran yang harus dihayati dengan dan dalam perilaku.

Para kapitalis tidak berhenti sampai di situ. Untuk memperkenalkan dan meningkatkan penjualan produk, mereka mensponsori aneka kuis menjelang berbuka, dan terutama saat sahur. Perhatikan isi kuis dan peilaku para pembasa acara kuis. Apakah sesuai dengan semangat Ramadhan? Gaya pakaian, perilaku, dan gaya para pembawa acara kuis itu sangat tidak sesuai bahkan bertentangan dengan semangat Ramadhan. Ini menegaskan bahwa bagi para kapitalis, apapun mereka lakukan untuk memperoleh sebanyak-banyaknya keuntungan. Mereka sungguh menghalalkan segala cara, bukan mencarakan segala yang halal untuk memperoleh keuntungan.

Beragam contoh di atas menunjukkan bahwa kapitalisme, baik yang primitif maupun yang moderen, ruhnya sama saja yaitu mendorong manusia ke arah materalisme-duniawi, konsumerisme dan hedonisme. Karena itu, apapun alasannya kapitalisme itu merusak dan musuh keimanan. Tragisnya, kapitalisme tampaknya memang berhasil dalam misinya mendorong manusia menjadi konsumeris. Perhatikanlah saat akhir Ramadhan. Di mana orang ramai berkumpul? Di masjid atau di pasar dan mal.

Adakah aturan dan anjuran agar orang membeli segala yang baru saat puasa berakhir dan lebaran datang? Bukankah anjurannya adalah berbagi dengan orang yang tak berpunya? Berbagi secara empatis dengan penuh iman dan ikhlas. Tampaknya bagi banyak orang, Ramadahan berhasil membuat mereka merasakan lapar dan haus. Namun, belum berhasil mengikis egoisme dalam lubuk hati mereka. Ramadham baru sekedar ritual melepaskan diri dari kewajiban agama. Tak heran selepas Ramadhan suasananya tetap saja aku masih seperti yang dulu. Tak ada perubahan yang signifikan. Sementara itu para kapitalis mengeruk keuntungan memanfaatkan Ramadhan.

BAGI KAPITALISME RAMADHAN TAK LEBIH HANYALAH SEBUAH KESEMPATAN UNTUK MENGERUK KEUNTUNGAN SEBESAR-BESARNYA DAN MEREKA MENGHALALKAN SEGALA CARA UNTUK MELAKUKAN ITU.

1 komentar:

  1. Saya baru saja membaca tulisan bapak mengenai ramadhan dan kapitalisme. Saya pun merasa tulisan ini sangat bagus.

    Sudah lama saya berpikir seperti apa yang bapak tuliskan. Namun karena saya adalah seorang non-muslim, saya tidak cukup berani untuk mengungkapkannya kepada teman-teman saya yang muslim. Salah-salah nanti dituduh membenci bulan Ramadhan. Ketidakmampuan untuk mengungkapkan ini membuat saya lumayan sedih.

    Lebih sedihnya lagi, banyak teman-teman saya yang muslim malah 'dengan sukarela' tenggelam dalam tipuan kapitalisme ini. Saya harap tulisan bapak ini dapat bermanfaat bagi teman-teman saya yang beragama muslim.

    BalasHapus

setiap komentar yang masuk akan terkirim secara langsung ke alamat email pribadi Bapak DR. Nusa Putra, S.Fil, M.Pd