Saat remaja aku senang nonton wayang
kulit semalam suntuk di Pasar Seni Jaya Ancol, TMII dan TIM. Semua temanku
heran bahkan ada yang mengatakan aku agak sinting. Kerena aku sama sekali tak
faham bahasa Jawa. Meskipun ibu ayahku berasal dari Pacitan, namun aku lahir
dan dibesarkan di Medan yang bahasa sehari-harinya adalah bahasa Melayu ala
Medan. Mereka bertanya untuk apa
menonton wayang semalam suntuk bila tidak mengerti bahasa Jawa? Aku
bilang, justru aku menikmati dan menghayati ketakmengertianku. Tak ada salahnya
kan secara sadar berada dalam ketakmengertian? Ada keasyikan yang tak
terkatakan di dalamnya. Seperti
berpetualang dalam labirin fikiran sendiri.
Aku meyakini wayang itu sepenuhnya
simbolik. Meskipun ada cerita yang jelas tokoh dan alurnya, namun makna
simboliknya lebih kental dan menonjol. Perang Baratayudha ditampilkan secara
fisik antara Pandawa lawan Kurawa. Tapi itu hanya sisi luarnya. Substansinya
adalah kebaikan melawan kejahatan. Di situ ditunjukkan kebaikan tidaklah sepenuhnya
antitesis mutlak dari kejahatan. Dalam kebaikan selalu tersimpan kejahatan, dan
dalam kejahatan selalu tersembunyi kebaikan. Dilemma kebaikan dalam kejahatan
dan kejahatan yang terajut dalam kebaikan sangat kentara di dalamnya. Renungan
dan pertanyaan-pertanyaan Arjuna tentang makna kebaikan dan kejahatan jauh
lebih penting dari perang fisik yang ditampilkan. Karena itu, cerita dan
tokoh-tokoh wayang itu merupakan simbol yang penuh makna. Salah satu tokoh yang
sangat kuingat adalah (C)akil.
(C)akil adalah tokoh pewayangan asli
Indonesia yang tidak terdapat dalam kitab Mahabarata asal India. Secara fisik
(C)akil ditandai gigi tonggos atau gaya bajaj, rahang bawah lebih ke depan atau
lebih panjang dibandingkan rahang atasnya. Ia pemberani dan selalu membawa
keris. Menariknya, (C)akil selalu terbunuh oleh kerisnya sendiri.
Tampilan fisik (C)akil pastilah besifat
simbolik. Mulutnya yang terlalu maju tampaknya hendak menunjukkan sikap yang
berlebih-lebihan, rakus, tak menyenangkan, dan memuakkan. Apalagi suaranya juga
tak sedap didengar. Kesemuanya ini pastilah bukan kebetulan. (C)akil adalah
refresentasi dari sikap yang kerap dimiliki oleh manusia. Siapa pun manusia
itu. Tak peduli dia rakyat kecil yang tak punya apa-apa, sampai petinggi negara
kayak ketua SKK Migas atau pimpinan MK, dan presiden atau ketua umum partai.
Kerakusan bisa menguasai manusia mana
pun. Terutama mereka yang memiliki kuasa. Bukankah sejak dulu diyakini bahwa
kuasa itu cenderung koruptif? Sebab, kuasa memberi peluang sangat besar untuk
digunakan secara tidak profesional dan proposional. Kuasa meniscayakan kekuatan
mengatur, memerintah, dan menghukum. Kekuatan ini tentu saja dapat
diputarbalikkan dan dimanipulasi untuk berbagai kepentingan.
Tak mengherankan jika di dalam Al Quran
ditegaskan bahwa kekuasaan berpotensi membuat sang pemilik kuasa menjadi orang
mulia atau menjadi terhina sehina-hinanya. Sejarah panjang kemanusiaan
menunjukkan bahwa kekuasaan lebih banyak membuat orang menjadi sangat terhina.
Sejak Firaun sampai Mubarak di Mesir yang mengemuka adalah keterhinaan sang
penguasa.
Selain bentuk fisik, perilaku (C)akil
juga bersifat simbolik. (C)akil memiliki kebiasaan mengganggu para satria yang
baru saja turun gunung. Gangguan itu ia lakukan untuk menunjukkan kesaktian dan
kehebatannya. Tentu perilaku ini menegaskan keangkuhan yang berlebihan. Karena
motif atau niat untuk menggangu itu sekedar mau membuktikan tidak ada yang bisa
mengalahkan (C)akil. Seringkali akhirnya (C)akil terbunuh oleh kerisnya
sendiri.
Ini menegaskan bahwa (C)akil celaka,
luluhlantak dan mati karena perilakunya sendiri. Bukan karena kejahatan atau
keirian orang lain. Juga bukan karena konspirasi untuk menghancurkannya.
Semakin jelas bahwa perilaku (C)akil
yang suka menggangu dan mati disebabkan kerisnya sendiri adalah gambaran dari
perilaku kebayakan manusia. Banyak di antara kita menghancurkan diri sendiri,
memporakporandakan reputasi yang susah payah dibangun selama bertahun-tahun
karena ketidakmapuan menjaga dan mengelola perilaku. Oleh sebab itu,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
setiap komentar yang masuk akan terkirim secara langsung ke alamat email pribadi Bapak DR. Nusa Putra, S.Fil, M.Pd