Rabu, 09 Oktober 2013

(C)AKIL



Saat remaja aku senang nonton wayang kulit semalam suntuk di Pasar Seni Jaya Ancol, TMII dan TIM. Semua temanku heran bahkan ada yang mengatakan aku agak sinting. Kerena aku sama sekali tak faham bahasa Jawa. Meskipun ibu ayahku berasal dari Pacitan, namun aku lahir dan dibesarkan di Medan yang bahasa sehari-harinya adalah bahasa Melayu ala Medan. Mereka bertanya untuk apa  menonton wayang semalam suntuk bila tidak mengerti bahasa Jawa? Aku bilang, justru aku menikmati dan menghayati ketakmengertianku. Tak ada salahnya kan secara sadar berada dalam ketakmengertian? Ada keasyikan yang tak terkatakan di dalamnya.  Seperti berpetualang dalam labirin fikiran sendiri.

Aku meyakini wayang itu sepenuhnya simbolik. Meskipun ada cerita yang jelas tokoh dan alurnya, namun makna simboliknya lebih kental dan menonjol. Perang Baratayudha ditampilkan secara fisik antara Pandawa lawan Kurawa. Tapi itu hanya sisi luarnya. Substansinya adalah kebaikan melawan kejahatan. Di situ ditunjukkan kebaikan tidaklah sepenuhnya antitesis mutlak dari kejahatan. Dalam kebaikan selalu tersimpan kejahatan, dan dalam kejahatan selalu tersembunyi kebaikan. Dilemma kebaikan dalam kejahatan dan kejahatan yang terajut dalam kebaikan sangat kentara di dalamnya. Renungan dan pertanyaan-pertanyaan Arjuna tentang makna kebaikan dan kejahatan jauh lebih penting dari perang fisik yang ditampilkan. Karena itu, cerita dan tokoh-tokoh wayang itu merupakan simbol yang penuh makna. Salah satu tokoh yang sangat kuingat adalah (C)akil.

(C)akil adalah tokoh pewayangan asli Indonesia yang tidak terdapat dalam kitab Mahabarata asal India. Secara fisik (C)akil ditandai gigi tonggos atau gaya bajaj, rahang bawah lebih ke depan atau lebih panjang dibandingkan rahang atasnya. Ia pemberani dan selalu membawa keris. Menariknya, (C)akil selalu terbunuh oleh kerisnya sendiri.

Tampilan fisik (C)akil pastilah besifat simbolik. Mulutnya yang terlalu maju tampaknya hendak menunjukkan sikap yang berlebih-lebihan, rakus, tak menyenangkan, dan memuakkan. Apalagi suaranya juga tak sedap didengar. Kesemuanya ini pastilah bukan kebetulan. (C)akil adalah refresentasi dari sikap yang kerap dimiliki oleh manusia. Siapa pun manusia itu. Tak peduli dia rakyat kecil yang tak punya apa-apa, sampai petinggi negara kayak ketua SKK Migas atau pimpinan MK, dan presiden atau ketua umum partai.

Kerakusan bisa menguasai manusia mana pun. Terutama mereka yang memiliki kuasa. Bukankah sejak dulu diyakini bahwa kuasa itu cenderung koruptif? Sebab, kuasa memberi peluang sangat besar untuk digunakan secara tidak profesional dan proposional. Kuasa meniscayakan kekuatan mengatur, memerintah, dan menghukum. Kekuatan ini tentu saja dapat diputarbalikkan dan dimanipulasi untuk berbagai kepentingan.

Tak mengherankan jika di dalam Al Quran ditegaskan bahwa kekuasaan berpotensi membuat sang pemilik kuasa menjadi orang mulia atau menjadi terhina sehina-hinanya. Sejarah panjang kemanusiaan menunjukkan bahwa kekuasaan lebih banyak membuat orang menjadi sangat terhina. Sejak Firaun sampai Mubarak di Mesir yang mengemuka adalah keterhinaan sang penguasa.

Selain bentuk fisik, perilaku (C)akil juga bersifat simbolik. (C)akil memiliki kebiasaan mengganggu para satria yang baru saja turun gunung. Gangguan itu ia lakukan untuk menunjukkan kesaktian dan kehebatannya. Tentu perilaku ini menegaskan keangkuhan yang berlebihan. Karena motif atau niat untuk menggangu itu sekedar mau membuktikan tidak ada yang bisa mengalahkan (C)akil. Seringkali akhirnya (C)akil terbunuh oleh kerisnya sendiri.

Ini menegaskan bahwa (C)akil celaka, luluhlantak dan mati karena perilakunya sendiri. Bukan karena kejahatan atau keirian orang lain. Juga bukan karena konspirasi untuk menghancurkannya.

Semakin jelas bahwa perilaku (C)akil yang suka menggangu dan mati disebabkan kerisnya sendiri adalah gambaran dari perilaku kebayakan manusia. Banyak di antara kita menghancurkan diri sendiri, memporakporandakan reputasi yang susah payah dibangun selama bertahun-tahun karena ketidakmapuan menjaga dan mengelola perilaku. Oleh sebab itu,

(C)AKIL ADALAH SIMBOL DARI KEBANYAKAN MANUSIA YANG RAKUS, ANGKUH DAN TAK MAMPU MENGELOLA PERILAKU YANG BERUJUNG PADA KEHANCURAN.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

setiap komentar yang masuk akan terkirim secara langsung ke alamat email pribadi Bapak DR. Nusa Putra, S.Fil, M.Pd