Senja beringsut merayapi sore. Langit
mulai gelap. Masih tersisa gerimis. Dari kejauhan terdengar azan maghrib.
Sungguh cuaca kurang bersahabat. Lembab dan dingin. Sesekali terdengar suara
binatang malam. Di tenda putri suasana agak mencekam. Seorang mahasiswi
berteriak-teriak. Sejumlah mahasiswi memegang dan memijat kakinya, sementara
yang lain memegangi kedua lengannya. Ia terbaring di tandu. Badannya tampak
kaku. Matanya terpejam dan ia terus berteriak. Beberapa mahasiswi membacakan Al
Quran dan seorang mahasiswi membimbingnya agar melafazkan pujian pada Allah. Di
dalam tenda yang dipenuhi mahasiswi ini, suasana sungguh terasa tegang.
Wajah-wajah takut dan khawatir. Mereka membaca Al Quran dengan suara keras. Di
empat tenda yang lain, para mahasiswa dan mahasiswi juga membaca Al Quran
setelah sholat maghrib berjamaah.
Mahasiswi yang berteriak-teriak itu diyakini sedang kesurupan atau
kerasukan. Ia mengalami ini untuk kedua kalinya. Kemarin sore ia juga mengalami
kerasukan. Di tenda terdekat, dua orang mahasiswi mengalami hal yang sama
dengan intensitas lebih ringan.
Aku baru saja tiba saat mahasiswi itu
berteriak kencang. Aku pegang telapak tangannya dan ku tekan dengan keras
beberapa titik tertentu sambil ku bacakan beberapa ayat Al Quran di dalam hati.
Alhamdullillah. Ia berteriak mengucapkan Alllahu Akbar dan berangsur sadar.
Bisa membuka mata dan mulai dapat diajak berkomunikasi. Seorang mahasiswa
senior nyamper dan bilang, bapak orang pinter juga ya. Saya kira tadinya bapak
hanya orang pintar. Aku hanya senyum dan meninggalkan tenda untuk shalat
maghrib.
Ini bukan pengalaman pertamaku
menghadapi orang kesurupan yang sangat berbeda dengan orang kesirupan. Pasca
tsunami Aceh, bersama sejumlah teman, aku bertugas di pengungsian di Meulaboh.
Setiap hari, setelah azan ashar, kami harus mengurusi orang kesurupan atau
kerasukan. Banyak keanehan memang jika orang sedang kerasukan. Seorang wanita
berusia sekitar enam belas tahun dengan tubuh kecil, bisa mendorong sampai
jatuh enam pria bertubuh besar, termasuk aku yang mencoba memegang tangannya.
Ada pula seorang ibu yang berbicara dengan suara seorang pria yang tenyata
adalah suara suaminya. Suara itu memberi tahu keberadaan dirinya. Benarnya
saja, ketika kami mendatangi tempat yang dimaksudkan oleh suara itu, kami
menemukan mayat suami wanita itu yang sudah hancur karena telah lama tenggelam
di laut.
Kerasukan adalah fenomena yang sangat
kuno. Terdapat dalam semua kebudayaan di seluruh dunia. Cerita rakyat dan
beragan naskah sangat kuno mencatat kerasukan dengan beragam penjelasan dan
tafsir yang berbeda. Kerasukan memang diselimuti misteri dan bersifat mitis.
Praktik-praktik ritual religi kuno diwarnai dengan sangat kental oleh fenomena
kerasukan. Kerasukan juga menjadi tindakan kunci bagi pengobatan. Kerasukan
dalam budaya mitis tradisional memang dikaitkan dengan hal-hal ghaib dan
spiritual. Karena itu pendekatan mitis lebih mengemuka daripada penjelasan
logis.
Kerasukan selalu dikaitkan dengan
kepercayaan atau keyakinan tertentu. Inilah sisi ghaib dan mitis dari
kerasukan. Artinya, kerasukan diyakini tidak pernah hanya bersifat
fisik-material. Ada sisi mitis-spiritual di dalamnya. Terkait dengan keyakinan
ini, sejak zaman kuno difahami kerasukan memiliki dua sisi, yaitu sisi hitam dan
putih. Masyarakat tradisional sangat memahami mana kerasukan hitam dan
kerasukan putih. Kerasukan hitam dikaitkan dengan kekuatan jahat seperti iblis
atau tokoh-tokoh jahat. Sedangkan kerasukan putih dikaitkan dengan kekuatan
spiritual atau Sang Maha Agung.
Baik agama bumi dan agama langit yang
menjadikan wahyu Illahi sebagai basis ajaran, mengakui adanya dua model
kerasukan ini. Saat menerima wahyu Illahi, para nabi merasakan pengalaman
spiritual luar biasa yang meninggalkan pengaruh dahsyat secara psikis dan
fisik. Wiiliam James seorang psikolog besar sampai menulis satu buku tebal
untuk menjelaskan pengalaman spiritual
ini. Sejumlah filsuf menyebut pengalaman ini sebagai sisi transenden dari
manusia yaitu kemampuan manusia mengatasi dimensi kemanusiaannya untuk memasuki
wilayah spiritual tingkat tinggi, bersatu dengan semesta.
Dalam sejarah Islam paling tidak ada
dua cerita besar tentang Al Hallaj dan Syech Siti Jenar yang harus dihukum
karena mengaku telah bersatu dengan Tuhan. Sejumlah filsuf Islam mengakui
kemungkinan manusia mengalami peristiwa seperti yang dialami Al Hallaj dan
Syech Siti Jenar. Ada aroma pemikiran Plotinus di situ. Para spiritualis besar
atau tokoh dan penghayat sufi seperti Rumi dan Attar, dalam syair-syair yang
cerlang menggambarkan dengan indah pertemuan antara makhluk dan Khaliq, dan
'kemabukan' yang diakibatkannya. Kini di Indonesia syair-syair seperti itu
dipopulerkan oleh grup musik Debu. Dengan cara yang lebih puitis, ungkapan
tentang keakraban makhluk dan Khaliq terdapat dalam puisi-puisi Amir Hamzah
(Tuhan, mangsa aku dalam cakarMu, bertukar tangkap dengan lepas).
Kerasukan dalam dua dimensinya yaitu
putih dan hitam, tampaknya bekaitan dengan dimensi bukan-manusia. Dimensi
bukan-manusia ini diakui bahkan disadari dan dihayati oleh orang beragama,
tentu dengan penjelasan yang tidak selalu sama. Masyarakat tradisional seperti
suku Baduy dan Dayak menerima dan merasakan kehadiran dimensi bukan-manusia
dalam hidup sehari-hari, dan fenomena kerasukan dihayati sebagai bagian integral
dalam hidup.
Fenomena kerasukan menjadi problematis
dalam khazanah pemikiran dan ilmu pengetahuan moderen atau modernitas.
Pemikiran moderen berdiri di atas paradigma positivisme. Positivisme menegaskan
hanya pernyataan yang rasional atau masuk akal, dan bisa diuji secara empiris
atau berdasarkan bukti-bukti yang bisa dicerap pengindraan yang disebut sebagai
pernyataan yang bermakna. Sedangkan pernyataan yang tidak memenuhi salah satu
syarat tersebut ditegaskan sebagai pernyataan tidak bermakna. Paradigma inilah
yang melahirkan saintisme yaitu keyakinan yang menegaskan hanya ilmu yang dapat
dipercaya, memiliki kebenaran dan kepastian. Itulah sebabnya fenomena kerasukan
tidak lagi didekati dan dijelaskan dengan cara lama. Kerasukan dipandang melulu
sebagai peristiwa biologis dan psikologis.
Kerasukan atau kesurupan lebih
dikaitkan dengan jenis kepribadian tertentu, kondisi-kondisi tertentu dan
pengaruhnya pada proses-proses biologis dan kimiawi di dalam otak manusia. Tak
ada tempat bagi dimensi bukan-manusia di dalam penjelasannya. Konsekuensinya,
kesurupan bisa diatasi dengan teknik-teknik relaksasi dan obat-obat yang dapat
mempengaruhi kimia otak. Bukankah ekstasi dan sejenisnya adalah produk dari
ilmu pengetahuan dan teknologi modern yang dapat membantu pemakainya memasuki
kondisi menyenangkan melalui perangsangan kimiawi otak? Jika obat untuk
memengaruhi kimiawi otak untuk merasakan semacam 'kerasukan' bisa dibuat,
mengapa pula obat untuk mengatasi kerasukan tidak bisa diproduksi?
Tidak sedikit orang sangat percaya pada kehebatan ilmu
pengetahuan moderen. Mereka diam-diam, mungkin tanpa sepenuhnya sadar menjadi
penganut saintisme. Seringkali dengan akibat meremehkan dan menentang
penjelasan tardisional dan informasi kitab suci. Tidak mengherankan ada
segelintir orang yang tidak faham betul karakter ilmu pengetahuan moderen,
menyebut penjelasan agama sudah ketinggalan zaman dan harus disesuaikan dengan
bukti-bukti baru yang ditawarkan ilmu pengetahuan moderen. Tragis memang.
Ilmu pengetahuan moderen sebenarnya
menyimpan banyak kontradiksi internal dan ketidakmampuan menjelaskan banyak
hal. Rasanya, kita tak akan pernah lupa kontradiksi di dalam ilmu yang paling
pasti yaitu fisika yang akhirnya menghasilkan ketidakpastian Heisenberg.
Ketidakpastian Heisenberg memunculkan pandangan miring dalam ilmu. Kini orang
bisa katakan, yang paling pasti dari ilmu pasti adalah ketidakpastiannya. Tidak
berhenti sampai di situ. Fisika kontemporer pasca Einstein menghadapi masalah
besar. Pasca Einstein tak ada lagi teori besar dalam fisika. Di awal era 80an
muncullah teori superstring. Teori ini diharapkan dapat menjelaskan banyak
persoalan ruang waktu yang belum dapat dijelaskan oleh teori Einstein dengan
memuaskan. Edwrad Witten, fisikawan paling cerdas pasca Einstein percaya teori
ini merupakan teori paling baik dan hebat bagi fisika masa depan. Namun, sangat
disayangkan pada akhirnya teori ini lebih mirip puisi daripada teori. Salah
satu sebabnya adalah kesulitan membuktikannya secara empiris.
Kondisi yang sama terdapat dalam
neurosains. Neurosains telah berhasil membongkar banyak misteri yang
menyelimuti penjelasan tentang otak manusia. Kini kita mengerti cara kerja,
sifat alamiah dan beragam fungsi dari berbagai bagian atau lobus di dalam otak.
Sekarang kita tidak hanya mengenal kecerdasan intelektual. Ternyata ada
kecerdasan majemuk yang berbasis pada beragam fungsi bagian-bagian otak.
Belahan kanan dan kiri otak ternyata memiliki susunan dan fungsi yang berbeda
dan spesifik. Teori dua belahan otak kini berkembang menjadi teori kuadran otak
yang membagi otak menjadi belahan kiri dan kanan atas, serta belahan kiri dan
kanan bawah yang memiliki fungsi yang makin spesifik. Sekarang kita juga
mengerti di dalam otak terdapat bagian yang mengatur emosi yang biasa disebut
sistem limbik, dan bagian otak berfikir yang dikenal sebagai neokorteks. Otak
ternyata sebuah sistem yang terintegrasi, dan dapat berfugsi maksimal jika
semua bagian di dalam otak terlibat secara aktif. Nyaris, semua hal tentang
otak tampaknya bisa dijelaskan.
Ternyata, tidak! Para ahli semakin
menyadari bahwa otak bisa berfungsi karena adanya kesadaran. Sejumlah pemenang
hadiah Nobel dari berbagai disiplin ilmu yaitu fisika, biologi, kimia,
kedokteran dan neurosains mencoba kerja bareng untuk menjelaskan apa hakitakat
kesadaran. Sejauh ini mereka gagal. Inilah fakta tentang ilmu pengetahuan
moderen, kemampuannya menjelaskan sangat terbatas. Jika mampu memberi
penjelasan, penjelasannya tidak selalu tuntas. Kebenaran ilmu memang relatif,
tentatif, dan probabilistik.
Secara filosofis dan metodologis Popper
secara kritis dan sangat keras telah menelanjangi positivisme dan saintisme.
Popper menunjukkan banyak kontradiksi dalam paradigma ilmu penegetahuan
moderen. Kuhn bahkan menegaskan paradigma keilmuan selalu mengalami anomali,
yaitu ketidakmampuan dan atau kegagalan menjelaskan sebuah fenomena atau
kejadian. Bila terjadi anomali maka dibutuhkan revolusi untuk melahirkan
paradigma keilmuan baru yang mampu memberikan penjelasan yang lebih baik dan
lebih lengkap. Kondisi ini dinamis, artinya akan ada anomali baru dan revolusi
lanjutan. Dibutuhkannya revolusi paradigma menunjuktegaskan bahwa ilmu selalu
menyimpan kelemahan dan berujung anomali. Lakatos dan Feyerabend melanjutkan
kritik Kuhn terhadap paradigma dan cara kerja ilmu. Mereka sampai pada
pandangan APA SAJA BOLEH. Sebuah pandangan anarkisme dalam ilmu. Artinya, cara
kerja apa pun sah di dalam ilmu. Pandangan ini seperti sebuah ironi dalam
konteks keilmuan moderen yang sangat menekankan pentingnya cara kerja yang
sistematis, terukur, dan akurat.
Sudah dapat dipastikan pandangan
postmoderen merasuki paradigma ilmu APA SAJA BOLEH. Bagi penganjur dan perumus
postmoderen diyakini bahwa mitos dan logos adalah sama dan sebangun. Dalam
mitos ada logos, dan dalam logos ada mitos. Keduanya memiliki kelebihan dan
kelemahan. Pandangan postmoderen ini merupakan anti tesis terhadap pandangan
moderen yang hanya menghargai logos dan tidak memberi tempat pada mitos.
Era moderen memang telah berakhir,
saintisme juga sudah babak belur dan tak lagi populer. Karena itu fenomena
kerasukan tidak dapat lagi dilihat semata dengan kaca mata ilmu pengetahuan
moderen. Begitulah aku menghayati kerasukan. Aku lahir dan dibesarkan di
Indonesia sebagai seorang Muslim. Aku mengalami empat kali kuliah dan pernah
belajar metode penelitian serta Hak Azasi Manusia di Eropa. Tetapi aku tak
pernah silau dengan ilmu pengetahuan moderen. Aku pun tak pernah percaya pada
saintisme.
Ketika menghadapi mahasiswi kerasukan,
aku menghargai kearifan tradisional, menghayati apa yang dikatakan agamaku
tentang fakta bukan manusia, dan menghargai solusi yang ditawarkan ilmu
pengetahuan moderen. Mengapa kulakukan itu? Karena akau meyakini,
BETAPA PUN HEBATNYA MANUSIA,
PENGETAHUAN DAN ILMUNYA SANGAT SEDIKIT.
Hening malam Cibubur memberi kebahagian
luar biasa bagiku. Peristiwa kerasukan itu seperti menjawil kesadaran
kemanusiaanku betapa terbatasnya manusia. Aku jadi teringat pada bacaan masa
remaja yaitu komik Kho Ping Ho. Dalam sebuah episodenya seorang pendekar yang
baru saja mengalahkan penjahat yang sombong berucap, di atas langit, masih ada
langit..............
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
setiap komentar yang masuk akan terkirim secara langsung ke alamat email pribadi Bapak DR. Nusa Putra, S.Fil, M.Pd