Malam luruh di Cibubur. Angin sepoi.
Dedaunan menari pelan. Tak ada bulan. Udara sejuk setelah hujan. Di lapangan
terbuka, di atas rumput yang sejuk, kami duduk berkumpul dalam hening malam.
Sungguh ini saat teduh. Berkumpul dalam sebuah keluarga besar. Dua orang dosen
dan ratusan mahasiswa dari semua angkatan. Sebuah keluarga yang dibangun bukan
atas ikatan darah, tetapi oleh ikatan keyakinan.
Seorang mahasiswa baru melontarkan
tanya, kita kan tidak punya ikatan darah, mengapa bisa menjadi sebuah keluarga?
Ya, keluarga memang bisa dibangun atas
ikatan darah. Ada ayah dan ibu yang diikat oleh pernikahan dan anak sebagai
buah cinta. Tetapi, keluarga juga bisa didirikan atas ikatan keyakinan.
Keyakinan bahwa kita adalah para pendidik yang ikut bertanggung jawab untuk
menyiapkan hari depan cerah, dan harapan gemilang bagi anak bangsa. Dan cinta
adalah ruh penting dalam seluruh prosesnya.
Hakikinya para pendidik tidak sekedar
mengusahakan agar anak didik menjadi cerdas dan kritis. Lebih dari itu, para
pendidik bertanggung jawab mendorong, mengupayakan, dan mengondisikan anak
didik menjadi manusia yang manusiawi, yaitu manusia yang menyadari makna
keberadaannya sebagai makhluk yang mampu menentukan dan menetapkan makna
hidupnya di hadapan sesama dan Sang Pencipta. Dengan demikian apa pun ilmu yang
dipalajari anak didik, ia mampu mengejawantahkannya menjadi tindakan-tindakan
yang bermakna bagi hidupnya dan sesamanya.
Konsekuensinya, para pendidik tidak
cukup mengambil peran sebagai pentransfer ilmu. Peran ini adalah peran minimal
yang harus dilakukan, namun tentu saja belum mencukupi. Para pendidik harus
melapaui itu. Ia harus menjadi motivator, fasilitator, dan generator yang
mendorong para peserta didik mengalami transformasi kemanusiaan. Dari sekedar
manusia biologis menjadi manusia multidimensi yang mengembangkan kecerdasan
majemuk sebagai manusia dewasa yang fungsional dan bermakna. Kebermaknaan
menjadi sangat penting, karena kebermaknaan itulah yang membedakan kualitas
manusia dibandingkan binatang, bahkan sesama manusia.
Sebagai contoh sederhana. Ketika anak
didik belajar matematika, ia harus memahami dan dan dapat mengoperasikan semua
konsep matematika sesuai dengan tingkat usianya. Tidak cukup sampai di situ.
Pemahaman dan kebisaannya dalam matematika itu harus fungsional. Artinya,
berguna dalam hidup sehari-harinya. Dalam berbagai aktivitas seperti bemain dan
bertransaksi. Namun, itupun belum memadai. Sang anak didik juga harus mampu
memasuki tahapan yang lebih tinggi yaitu apa makna matematika dalam hidupnya.
Matematika yang mengajarkan penalaran yang teratur dan terstruktur, mestinya
dapat membantunya mengembangkan cara hidup yang menunjukkan kedisiplinan
berfikir, dan kejujuran. Dengan demikian, matematika telah memberi makna bagi keberadaannya
sebagai manusia terdidik.
Dalam konteks Pendidikan IPS, yang
calon pendidiknya berkumpul dikehingan
malam ini, tidaklah memadai jika mereka hanya mampu menguraijelaskan apa itu
toleransi. Mereka harus mempraktikkan toleransi itu dalam seluruh proses
pemelajaran dan membangun interaksi dengan anak didik. Toleransi menjadi
bermakna dengan cara ini.
Semua ini meniscayakan bahwa para
pendidik tidak cukup hanya cakap dalam menjelaskan konsep-konsep mata pelajaran
yang menjadi tanggung jawabnya. Ia juga harus menjadi model, dan sumber
keteladanan. Terutama bagi kebermaknaan ilmu yang diajarkannya. Dalam cara
fikir seperti ini, pendidik diharuskan memiliki keterampilan untuk membangun
hubungan empatis yang dilandasi kasih sayang dengan anak didik. Inilah alasan
utama mengapa sang pendidik dan anak didik terikat dalam hubungan kekeluargaan
yang tidak didasarkan pada ikatan darah. Tetapi pada ikatan keyakinan dan
kesamaan dalam mencapai tujuan.
Karena itu, para pendidik harus
mewakafkan dirinya. Dalam arti bersemangat dan fokus. Ikhlas dan bertanggung
jawab. Memberikan yang terbaik bagi anak didiknya. Hakikinya, pendidk adalah
orang tua sosiologis dan psikologis bagi para anak didiknya. Para pendidik
harus mengusahakan yang terbaik bagi anak didiknya. Anak didik adalah bagian
dari diri dan kehidupannya. Ia harus mengupayakan dan rela anak didik
melampauinya, lebih hebat dari dirinya. Salah satu indikator keberhasilan
adalah bila anak didik lebih hebat dari gurunya. Inilah kebahagiaan utama
seorang pendidik.
Itulah sebabnya, para pendidik sejati
tidak pernah dan tidak akan pernah melakukan kejahatan kemanusiaan. Pendidik
yang menjual belikan gelar akademik, menggunakan otoritasnya untuk sekedar
mencari keuntungan materi dan duniawi memanfaatkan pendidikan, adalah
perusak-penghancur kebudayaan, dan penjahat kemanusiaan. Mereka adalah dajjali.
Anak cucu dan anggota keluarga besar dajjal. Karena sejatinya,
PENDIDIK SEJATI BERTANGGUNG JAWAB MENJADIKAN ANAK DIDIK MANUSIA YANG MANUSIAWI DALAM INTERAKSI EMPATIS YANG DILANDASI RASA CINTA
BalasHapusApakah di tempat saya belajar terdapat seorang pendidik sejati??
bagaimana cara kita melihat seorang pendidik sejati dan bertanggung jawab??
Tapi yang saya lihat kebanyakan para pendidik hanya melaksanakan tugas dan kewajibannya. Dan juga semata-mata hanya untuk mendapatkan kebutuhan material saja. sepertinya sangat sulit menemukan pendidik sejati yang bertanggung jawab. Lalu, bagaimana cara menumbuhkan sikap pendidik sejati agar mereka menjadi seorang pendidik sejati yang bertanggung jawab ???
BalasHapusNama : Siti Mastoah
BalasHapusKelas : P.IPS A 2013
Tapi yang saya lihat kebanyakan para pendidik hanya melaksanakan tugas dan kewajiban yang hanya semata-mata untuk mendapatkan kebutuhan material saja. Sepertinya sangat sulit menemukan pendidik sejati bertanggung jawab yang dikemukakan di tulisan malam hening Cibubur. Nah, bagaimana cara menumbuhkan sikap para pendidik yang kurang memperhatikan muridnya, agar mereke menjadi pendidik yang bertanggung jawab ???
Nama : TRIA MAULIDA AGUSTIAR
BalasHapusKelas : P.IPS A 2013
berarti pendidik yang tidak dilandasi rasa cinta tidak dapat dikategorikan pendidik sejati yang bertanggung jawab. dan bagaimana kita membedakan seorang pendidik sejati yang bertanggung jawab dengan yang tidak, karena secara nyata baik pendidik sejati yang bertanggung jawab dengan yang tidak itu sama-sama mengajar??
Assalamu'alaikum pak, saya Sandra Puspita Sari dari P.IPS 2014 B ingin bertanya sedikit pada bapak. Jika seorang pendidik sudah berusaha keras dengan semaksimal mungkin untuk mendidik anak didiknya. Namun, di dalam diri anak didik itu sendiri tidak menunjukkan adanya kemajuan, apakah itu dapat dikatakan bahwa pendidiknya belum dapat bertanggungjawab atas anak didiknya ?
BalasHapusTerimakasih.