Selasa, 22 Oktober 2013

HENING MALAM CIBUBUR

Malam luruh di Cibubur. Angin sepoi. Dedaunan menari pelan. Tak ada bulan. Udara sejuk setelah hujan. Di lapangan terbuka, di atas rumput yang sejuk, kami duduk berkumpul dalam hening malam. Sungguh ini saat teduh. Berkumpul dalam sebuah keluarga besar. Dua orang dosen dan ratusan mahasiswa dari semua angkatan. Sebuah keluarga yang dibangun bukan atas ikatan darah, tetapi oleh ikatan keyakinan.

Seorang mahasiswa baru melontarkan tanya, kita kan tidak punya ikatan darah, mengapa bisa menjadi sebuah keluarga?

Ya, keluarga memang bisa dibangun atas ikatan darah. Ada ayah dan ibu yang diikat oleh pernikahan dan anak sebagai buah cinta. Tetapi, keluarga juga bisa didirikan atas ikatan keyakinan. Keyakinan bahwa kita adalah para pendidik yang ikut bertanggung jawab untuk menyiapkan hari depan cerah, dan harapan gemilang bagi anak bangsa. Dan cinta adalah ruh penting dalam seluruh prosesnya.

Hakikinya para pendidik tidak sekedar mengusahakan agar anak didik menjadi cerdas dan kritis. Lebih dari itu, para pendidik bertanggung jawab mendorong, mengupayakan, dan mengondisikan anak didik menjadi manusia yang manusiawi, yaitu manusia yang menyadari makna keberadaannya sebagai makhluk yang mampu menentukan dan menetapkan makna hidupnya di hadapan sesama dan Sang Pencipta. Dengan demikian apa pun ilmu yang dipalajari anak didik, ia mampu mengejawantahkannya menjadi tindakan-tindakan yang bermakna bagi hidupnya dan sesamanya.

Konsekuensinya, para pendidik tidak cukup mengambil peran sebagai pentransfer ilmu. Peran ini adalah peran minimal yang harus dilakukan, namun tentu saja belum mencukupi. Para pendidik harus melapaui itu. Ia harus menjadi motivator, fasilitator, dan generator yang mendorong para peserta didik mengalami transformasi kemanusiaan. Dari sekedar manusia biologis menjadi manusia multidimensi yang mengembangkan kecerdasan majemuk sebagai manusia dewasa yang fungsional dan bermakna. Kebermaknaan menjadi sangat penting, karena kebermaknaan itulah yang membedakan kualitas manusia dibandingkan binatang, bahkan sesama manusia.

Sebagai contoh sederhana. Ketika anak didik belajar matematika, ia harus memahami dan dan dapat mengoperasikan semua konsep matematika sesuai dengan tingkat usianya. Tidak cukup sampai di situ. Pemahaman dan kebisaannya dalam matematika itu harus fungsional. Artinya, berguna dalam hidup sehari-harinya. Dalam berbagai aktivitas seperti bemain dan bertransaksi. Namun, itupun belum memadai. Sang anak didik juga harus mampu memasuki tahapan yang lebih tinggi yaitu apa makna matematika dalam hidupnya. Matematika yang mengajarkan penalaran yang teratur dan terstruktur, mestinya dapat membantunya mengembangkan cara hidup yang menunjukkan kedisiplinan berfikir, dan kejujuran. Dengan demikian, matematika telah memberi makna bagi keberadaannya sebagai manusia terdidik.

Dalam konteks Pendidikan IPS, yang calon pendidiknya berkumpul  dikehingan malam ini, tidaklah memadai jika mereka hanya mampu menguraijelaskan apa itu toleransi. Mereka harus mempraktikkan toleransi itu dalam seluruh proses pemelajaran dan membangun interaksi dengan anak didik. Toleransi menjadi bermakna dengan cara ini.

Semua ini meniscayakan bahwa para pendidik tidak cukup hanya cakap dalam menjelaskan konsep-konsep mata pelajaran yang menjadi tanggung jawabnya. Ia juga harus menjadi model, dan sumber keteladanan. Terutama bagi kebermaknaan ilmu yang diajarkannya. Dalam cara fikir seperti ini, pendidik diharuskan memiliki keterampilan untuk membangun hubungan empatis yang dilandasi kasih sayang dengan anak didik. Inilah alasan utama mengapa sang pendidik dan anak didik terikat dalam hubungan kekeluargaan yang tidak didasarkan pada ikatan darah. Tetapi pada ikatan keyakinan dan kesamaan dalam mencapai tujuan.

Karena itu, para pendidik harus mewakafkan dirinya. Dalam arti bersemangat dan fokus. Ikhlas dan bertanggung jawab. Memberikan yang terbaik bagi anak didiknya. Hakikinya, pendidk adalah orang tua sosiologis dan psikologis bagi para anak didiknya. Para pendidik harus mengusahakan yang terbaik bagi anak didiknya. Anak didik adalah bagian dari diri dan kehidupannya. Ia harus mengupayakan dan rela anak didik melampauinya, lebih hebat dari dirinya. Salah satu indikator keberhasilan adalah bila anak didik lebih hebat dari gurunya. Inilah kebahagiaan utama seorang pendidik.

Itulah sebabnya, para pendidik sejati tidak pernah dan tidak akan pernah melakukan kejahatan kemanusiaan. Pendidik yang menjual belikan gelar akademik, menggunakan otoritasnya untuk sekedar mencari keuntungan materi dan duniawi memanfaatkan pendidikan, adalah perusak-penghancur kebudayaan, dan penjahat kemanusiaan. Mereka adalah dajjali. Anak cucu dan anggota keluarga besar dajjal. Karena sejatinya,

PENDIDIK SEJATI BERTANGGUNG JAWAB MENJADIKAN ANAK DIDIK MANUSIA YANG MANUSIAWI DALAM INTERAKSI EMPATIS YANG DILANDASI RASA CINTA

5 komentar:

  1. PENDIDIK SEJATI BERTANGGUNG JAWAB MENJADIKAN ANAK DIDIK MANUSIA YANG MANUSIAWI DALAM INTERAKSI EMPATIS YANG DILANDASI RASA CINTA
    Apakah di tempat saya belajar terdapat seorang pendidik sejati??
    bagaimana cara kita melihat seorang pendidik sejati dan bertanggung jawab??

    BalasHapus
  2. Tapi yang saya lihat kebanyakan para pendidik hanya melaksanakan tugas dan kewajibannya. Dan juga semata-mata hanya untuk mendapatkan kebutuhan material saja. sepertinya sangat sulit menemukan pendidik sejati yang bertanggung jawab. Lalu, bagaimana cara menumbuhkan sikap pendidik sejati agar mereka menjadi seorang pendidik sejati yang bertanggung jawab ???

    BalasHapus
  3. Nama : Siti Mastoah
    Kelas : P.IPS A 2013

    Tapi yang saya lihat kebanyakan para pendidik hanya melaksanakan tugas dan kewajiban yang hanya semata-mata untuk mendapatkan kebutuhan material saja. Sepertinya sangat sulit menemukan pendidik sejati bertanggung jawab yang dikemukakan di tulisan malam hening Cibubur. Nah, bagaimana cara menumbuhkan sikap para pendidik yang kurang memperhatikan muridnya, agar mereke menjadi pendidik yang bertanggung jawab ???

    BalasHapus
  4. Nama : TRIA MAULIDA AGUSTIAR
    Kelas : P.IPS A 2013

    berarti pendidik yang tidak dilandasi rasa cinta tidak dapat dikategorikan pendidik sejati yang bertanggung jawab. dan bagaimana kita membedakan seorang pendidik sejati yang bertanggung jawab dengan yang tidak, karena secara nyata baik pendidik sejati yang bertanggung jawab dengan yang tidak itu sama-sama mengajar??

    BalasHapus
  5. Assalamu'alaikum pak, saya Sandra Puspita Sari dari P.IPS 2014 B ingin bertanya sedikit pada bapak. Jika seorang pendidik sudah berusaha keras dengan semaksimal mungkin untuk mendidik anak didiknya. Namun, di dalam diri anak didik itu sendiri tidak menunjukkan adanya kemajuan, apakah itu dapat dikatakan bahwa pendidiknya belum dapat bertanggungjawab atas anak didiknya ?
    Terimakasih.

    BalasHapus

setiap komentar yang masuk akan terkirim secara langsung ke alamat email pribadi Bapak DR. Nusa Putra, S.Fil, M.Pd