Sabtu, 16 November 2013

aMuK



Hukum kita kumuh. Kumuh karena beraroma tak sedap yang bisa membuat kita muntah, dan menyajikan pemandangan yang menjijikkan. Pencuri kelas teri dihukum berat, sedangkan koruptor besar dihukum ringan. Tak heran bila para koruptor yang tak tahu malu selalu mengumbar senyum jika keluar dari ruang pemeriksaan di depan wartawan. Sementara itu para pengacara dan keluarganya, juga dengan tanpa rasa malu sedikit pun, bersikeras bahwa para koruptor itu tidak bersalah. Tak ada raut wajah yang menunjukkan rasa bersalah dan keinginan meminta maaf di wajah para koruptor bajingan dan keluarganya. Mereka lakukan itu karena tahu dan sadar bahwa hukum kita kumuh. Komoditi murahan yang sering diperjualbelikan.

Jadi, tidak usah marah melihat aMuK di MK. Anda bisa bilang mereka telah menghancurkan benteng penjaga konstitusi. Tetapi mereka bisa membantah dan bilang, "Kami meneladani Ketua MK, si Akil, tau!!!" Ya..... Bukankah Si Akil dan para penegak hukum itu yang selama ini justru menghancurleburkan sistem hukum kita. Tentu masih ada yang baik di antara mereka. Namun, dalam rentang waktu yang sangat pendek kita menyaksikan komedi yang tak lucu dan cenderung ironis tentang penegak hukum yang tertangkap tangan menerima suap, menggunakan narkoba, selingkuh, dan sejumlah pelanggaran hukum lainnya.

Kepastian hukum menguap, dan keadilan sirna. Rasa percaya ancur dan masyarakat kehilangan harapan. Itulah salah satu akar dari semua aMuK yang sering kita lihat di televisi. Bila hukum formal tak lagi dipercaya, maka hukum jalanan yang mengemuka. Inilah fakta kehidupan. Menyakitkan dan tragis, tetapi sangat nyata.

Dulu sebagian penegak hukum menggunakan cara akal-akalan dalam penegakan hukum. Mereka merancang sejumlah strategi agar semuanya bisa diatur dan berujung sogok-menyogok. Akibatnya banyak keputusan hukum yang penuh kejutan dan meninggalkan tanya. Mirip misteri di ruang gelap gulita.  Itulah sebabnya berkembang omongan dalam masyarakat bagaimana sejumlah penegak hukum menjadikan terperiksa atau tersangka sebagai mesin ATM. Pejabat, keluarga pejabat, orang-orang kaya dan orang terkenal diperlakukan dengan sangat istimewa. Lihat saja polisi tampaknya lebih sulit menemukan Flo yang diduga pelaku penabrakan di rumah istri muda Adiguna daripada menemukan teroris. Kita juga belum lupa bagaimana Adiguna lolos dari jerat hukum saat menembak mati pegawai kecil. Jika contoh penegakan hukum yang melindas rasa keadilan dan kepastian seperti ini kita kumpulkan, pasti lebih tebal dari ensiklopedi yang paling tebal yang pernah dibuat manusia.

Sekarang ini modus operandinya telah berubah. Dari akal-akalan menjadi akil-akilan. Akil-akilan ini memiliki karakteristik yang berbeda dan lebih canggih. Karakteristik itu adalah: 1). hanya menerima bayaran tinggi. Hukum itu kan penting dan mulia, karena itu harus diperdagangkan dengan harga yang tinggi. Dalam dugaan suap Akil, uang yang sudah tercatat melampaui seratus milyar. Jumlah yang cukup untuk membangun sejumlah sekolah bermutu bagi anak Indonesia yang putus sekolah. 2). Melibatkan jaringan yang mengikutsertakan supir dan anggota keluarga. Dengan bayaran yang juga tinggi. Ini dibuktikan dengan perjalanan supir Akil keliling Eropa. Dalam kaitan ini kita jadi sulit membedakannya dengan kelakuan anggota dewan, sebagian juga ikutan korupsi, yang sering menggunakan uang rakyat untuk plesiran ke luar negeri, pada saat banyak rakyat miskin yang  mengalami gizi buruk. 3). Menggunakan uang hasil jual beli perkara untuk membangun perusahaan, yang meski tidak jelas bidang usahanya tetapi sangat besar uang masuknya.

Penggunaan akal yang akil ini tampaknya memang lebih canggih dengan daya rusak yang sangat luar biasa. Sisi ketakpeduliannya pada dampak yang diakibatkannya pada penghancuran sendi-sendi kehidupan berbagsa dan bernegara sungguh-sungguh sangat menjijikkan. Sampai-sampai kepikiran, apakah pelakunya masih golongan manusia atau devil. Tak mustahil, akal yang akil memang ciri khas devil.

Jangan heran bila masyarakat yang tak berdaya saat menghadapi kenyataan pahit ini merasa MuaK dan mereka jadi aMuK. Saat kepastian bagai cuaca ekstrim yang tidak bisa diprediksi, dan ketika keadilan menjadi barang mewah yang mahal. Yang hanya dapat disentuh oleh mereka yang berpunya. Maka kemarahan karena hilangnya harapan merupakan keniscayaan. Ini bukan soal apakah orang bisa menahan diri atau tidak. Tapi soal orang sudah kehilangan rasa percaya dan matinya harapan. Mereka sangat merasa, bahwa warga negara bukan saja tidak sama di depan hakim, juga tidak sama di depan hukum. Semua ini menegaskan,

TANPA KEPASTIAN DAN KEADILAN, HUKUM HANYALAH SAMPAH BUSUK DI SELOKAN!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

setiap komentar yang masuk akan terkirim secara langsung ke alamat email pribadi Bapak DR. Nusa Putra, S.Fil, M.Pd