Hukum kita kumuh. Kumuh karena beraroma
tak sedap yang bisa membuat kita muntah, dan menyajikan pemandangan yang
menjijikkan. Pencuri kelas teri dihukum berat, sedangkan koruptor besar dihukum
ringan. Tak heran bila para koruptor yang tak tahu malu selalu mengumbar senyum
jika keluar dari ruang pemeriksaan di depan wartawan. Sementara itu para
pengacara dan keluarganya, juga dengan tanpa rasa malu sedikit pun, bersikeras
bahwa para koruptor itu tidak bersalah. Tak ada raut wajah yang menunjukkan rasa
bersalah dan keinginan meminta maaf di wajah para koruptor bajingan dan
keluarganya. Mereka lakukan itu karena tahu dan sadar bahwa hukum kita kumuh.
Komoditi murahan yang sering diperjualbelikan.
Jadi, tidak usah marah melihat aMuK di
MK. Anda bisa bilang mereka telah menghancurkan benteng penjaga konstitusi.
Tetapi mereka bisa membantah dan bilang, "Kami meneladani Ketua MK, si
Akil, tau!!!" Ya..... Bukankah Si Akil dan para penegak hukum itu yang
selama ini justru menghancurleburkan sistem hukum kita. Tentu masih ada yang
baik di antara mereka. Namun, dalam rentang waktu yang sangat pendek kita
menyaksikan komedi yang tak lucu dan cenderung ironis tentang penegak hukum
yang tertangkap tangan menerima suap, menggunakan narkoba, selingkuh, dan
sejumlah pelanggaran hukum lainnya.
Kepastian hukum menguap, dan keadilan
sirna. Rasa percaya ancur dan masyarakat kehilangan harapan. Itulah salah satu
akar dari semua aMuK yang sering kita lihat di televisi. Bila hukum formal tak
lagi dipercaya, maka hukum jalanan yang mengemuka. Inilah fakta kehidupan.
Menyakitkan dan tragis, tetapi sangat nyata.
Dulu sebagian penegak hukum menggunakan
cara akal-akalan dalam penegakan hukum. Mereka merancang sejumlah strategi agar
semuanya bisa diatur dan berujung sogok-menyogok. Akibatnya banyak keputusan
hukum yang penuh kejutan dan meninggalkan tanya. Mirip misteri di ruang gelap
gulita. Itulah sebabnya berkembang
omongan dalam masyarakat bagaimana sejumlah penegak hukum menjadikan terperiksa
atau tersangka sebagai mesin ATM. Pejabat, keluarga pejabat, orang-orang kaya
dan orang terkenal diperlakukan dengan sangat istimewa. Lihat saja polisi
tampaknya lebih sulit menemukan Flo yang diduga pelaku penabrakan di rumah
istri muda Adiguna daripada menemukan teroris. Kita juga belum lupa bagaimana
Adiguna lolos dari jerat hukum saat menembak mati pegawai kecil. Jika contoh
penegakan hukum yang melindas rasa keadilan dan kepastian seperti ini kita
kumpulkan, pasti lebih tebal dari ensiklopedi yang paling tebal yang pernah
dibuat manusia.
Sekarang ini modus operandinya telah
berubah. Dari akal-akalan menjadi akil-akilan. Akil-akilan ini memiliki
karakteristik yang berbeda dan lebih canggih. Karakteristik itu adalah: 1).
hanya menerima bayaran tinggi. Hukum itu kan penting dan mulia, karena itu
harus diperdagangkan dengan harga yang tinggi. Dalam dugaan suap Akil, uang
yang sudah tercatat melampaui seratus milyar. Jumlah yang cukup untuk membangun
sejumlah sekolah bermutu bagi anak Indonesia yang putus sekolah. 2). Melibatkan
jaringan yang mengikutsertakan supir dan anggota keluarga. Dengan bayaran yang
juga tinggi. Ini dibuktikan dengan perjalanan supir Akil keliling Eropa. Dalam
kaitan ini kita jadi sulit membedakannya dengan kelakuan anggota dewan,
sebagian juga ikutan korupsi, yang sering menggunakan uang rakyat untuk
plesiran ke luar negeri, pada saat banyak rakyat miskin yang mengalami gizi buruk. 3). Menggunakan uang
hasil jual beli perkara untuk membangun perusahaan, yang meski tidak jelas bidang
usahanya tetapi sangat besar uang masuknya.
Penggunaan akal yang akil ini tampaknya
memang lebih canggih dengan daya rusak yang sangat luar biasa. Sisi
ketakpeduliannya pada dampak yang diakibatkannya pada penghancuran sendi-sendi
kehidupan berbagsa dan bernegara sungguh-sungguh sangat menjijikkan.
Sampai-sampai kepikiran, apakah pelakunya masih golongan manusia atau devil. Tak mustahil, akal yang akil
memang ciri khas devil.
Jangan heran bila masyarakat yang tak
berdaya saat menghadapi kenyataan pahit ini merasa MuaK dan mereka jadi aMuK.
Saat kepastian bagai cuaca ekstrim yang tidak bisa diprediksi, dan ketika
keadilan menjadi barang mewah yang mahal. Yang hanya dapat disentuh oleh mereka
yang berpunya. Maka kemarahan karena hilangnya harapan merupakan keniscayaan.
Ini bukan soal apakah orang bisa menahan diri atau tidak. Tapi soal orang sudah
kehilangan rasa percaya dan matinya harapan. Mereka sangat merasa, bahwa warga
negara bukan saja tidak sama di depan hakim, juga tidak sama di depan hukum.
Semua ini menegaskan,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
setiap komentar yang masuk akan terkirim secara langsung ke alamat email pribadi Bapak DR. Nusa Putra, S.Fil, M.Pd