Hijrah bukan sekedar perpindahan. Lebih
merupakan pergerakan. Pergerakan yang direncanakan secara matang, sistematis,
bertujuan dan terukur untuk melakukan revolusi, perubahan mendasar dalam
keyakinan dan pandangan hidup. Saat Nabi Muhammad SAW hijrah, meninggalkan
Mekkah menuju Madinah, sikap revolusioner itu ditunjuktegaskan secara
definitif.
Sebelum Nabi hijrah, para elit kafir
Mekkah yang masih kerabatnya, menawarkan sejumlah pilihan menggiurkan. Begitu khawatirnya
mereka terhadap gerakan revolusioner Nabi, sampai-sampai mereka memberi
kesempatan seluas-luasnya pada Nabi untuk menentukan sendiri apa yang Ia
inginkan. Kita tahu apa jawaban Nabi. Hanya satu kata, TIDAK!!!!
Nabi hendak tegaskan, tidak ada negosiasi
dan kompromi terkait dengan keyakinan-keyakinan yang bersifat prinsip dan
substansial terkait dengan benar-salah. Nabi diutus justru mau membuat furqon,
pembeda, demarkasi yang sangat jelas antara benar-salah. Tak boleh ada celah
abu-abu di antara benar-salah. Apapun resikonya. Hijrah sejatinya tegaskan itu.
Nabi juga mau tunjukkan apa makna
menjadi manusia. Nabi adalah manusia pilihan Allah. Pastilah Allah selalu
membantu, menjaga, dan memberi petunjuk atas berbagai masalah yang dihadapi
Nabi sebagai penyampai pesan-pesan Allah kepada manusia. Namun, Nabi tidak
hanya menunggu dan bersikap menyerah pasrah saat menghadapi berbagai tantangan
yang berat dan beresiko tinggi. Beliau mengambil keputusan, mangatur strategi,
dan memimpin seluruh pergerakan perlawanan terhadap para musuh yang mau
menghabisi dirinya dan Islam sebagai sebuah keyakinan dan ajaran.
Dengan sikap ini, Nabi memberi
keteladanan dengan perilaku nyata, bukan cuma omongan verbal seperti banyak
agamawan masa kini yang tak lebih dari sekadar pengisi acara televisi dan
wayang kapitalisme, bahwa manusia bisa dan harus ikut menentukan taqdirnya.
Taqdir bukanlah sesuatu yang telah jadi dan tuntas, tetapi suatu potensi yang
harus diejawantahkan melalui kreativitas dan kerja keras. Inilah makna
kebebasan manusia. Inilah arti menjadi manusia. Nabi memiliki untaian kata
sederhana yang bermakna sangat mendalam perihal kebebasan dan inisiatif
manusia, ikatkan dulu untamu, baru berpasrah kepada Allah. Tegas jelas, Nabi
menunjukkan bahwa manusia harus mengambil inisiatif, melakukan sesuatu secara
nyata, berikhtiar dulu, baru memulangkan segalanya kepada Allah, inilah makna
hakiki tawakkal.
Al Quran, wahyu yang diturunkan pada
Nabi menyatakan, tak akan berubah nasib suatu bangsa, kecuali bangsa itu berkehendak
dan berikhtiar untuk mengubahnya. Tentu saja ketentuan ini juga berlaku bagi
setiap individu. Dengan hijrah, Nabi mengimplementasikan prinsip ini secara
nyata. Ia tinggalkan Mekkah dengan perhitungan yang cermat untuk membangun
harapan baru di tempat baru. Hijrah menegaskan, manusia bisa ikut menentukan
nasib, taqdir dan hari depannya. Siapa pun yang menyatakan bahwa Islam
mengajarkan sikap pasif, menyerah pasrah, terima nasib begitu saja, pastilah ia
dajjali, keturunan dajjal.
Orang-orang kafir Mekkah mempraktikkan
cara hidup yang bertentangan dengan revolusi yang dibawa Nabi. Jika menghadapi
masalah atau memiliki keinginan, mereka datang ke patung-patung dewa, memberi
sesembahan berupa makanan, hewan atau apa saja. Seringkali diikuti oleh ritual
tertentu berupa arak-arakan, menyanyi dan menari, bahkan meratap. Kemudian
pasrah menunggu apa yang terjadi. Keyakinan pasif dan pasrah menyerah yang
dipraktikkan orang-orang kafir Mekkah inilah yang hendak dijungkirbalikkan Nabi
melalui hijrah. Kamu adalah apa yang kamu yakini dan kamu usahakan. Bukan
sekedar apa yang kamu fikirkan dan inginkan.
Sesampai di Madinah, Nabi membangun
masjid dan komunitas. Ini bermakna, keyakinan spiritual tidak boleh dibiarkan
hanya mengisi ruang hati dan fikiran. Agama bukan sebatas bahan yang bagus
untuk sekadar diomongkan, didiskusikan, dan menjadi bahan ceramah untuk mencari
rezeki. Agama yang berisi keyakinan spiritual harus maujud dalam ruang
material. Menjadi masjid tempat beribadah, pusat pendidikan dan markas perjuangan.
Menjadi komunitas yang menghidupkan ajaran-ajaran itu dalam konteks sosiologis,
budaya dan sejarah. Ajaran-ajaran spiritual harus mewujud menjadi sistem
pemerintahan, ekonomi, budaya, ilmu pengetahuan, tatanan hukum, dan perilaku
sehari-hari yang konkret. Agama bukan hanya rumusan verbal dalam kitab suci,
tetapi harus mengejawantah menjadi darah, daging dan tulang. Hidup dan
menghidupi manusia dan masyarakat. Hijrah dilakukan dengan maksud menjadikan
ajaran spiritual itu mewujud dalam konteks ruang waktu.
Ada fakta yang kurang ditonjolkan
terkait dengan hijrah. Setelah hijrah ke Madinah, Nabi terlibat dalam
serangkaian peperangan. Tentu saja fakta tentang perang ini tidak boleh
diplintir dan menjadi dasar untuk menuduh bahwa Islam itu identik dengan kekerasan,
pedang, dan darah. Namun, terang benderang diperlihatkan bahwa keyakinan
spiritual yang diusung Nabi megajarkan kebenaran harus ditegaktinggikan, dan
kemungkaran harus dihancurleburkan. Sisi inilah yang membuat Islam itu unik dan
berbeda. Dalam Islam, tidak cukup orang hanya mendakwahkan dan menegakkan
kebenaran. Bersamaan dengan itu, bahkan mungkin sebelumnya, kemungkaran harus
dibongkar dan diluluhlantakkan. Tidak banyak orang Islam yang berani melawan
kemungkaran, sebab sangat beresiko. Nabi mengajarkan, bila menjadi seorang
Muslim jangan seperti makan prasmanan, hanya memilih yang disukai saja. Tetapi
menghindari yang beresiko.
Nabi secara nyata meneladankan bahwa
ketegasan, peperangan, senjata, dan pertumpahan darah itu adalah bagian niscaya
dari Islam. Tentu saja bila Islam diserang dan hendak dihancurkan, jika orang
dilarang beribadah, kalau orang beriman diserang, dan saat kemungkaran
merajalela. Setelah hijrah, Nabi tidak hanya mendakwahkan ayat-ayat suci
tentang perang, tetapi memimpin peperangan. Dengan demikian,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
setiap komentar yang masuk akan terkirim secara langsung ke alamat email pribadi Bapak DR. Nusa Putra, S.Fil, M.Pd