Ini kisah manusia. Diri kita semua,
tanpa kecuali. Seorang ayah yang sakit parah berpesan pada anaknya,
"Anakku, bila ayah wafat nati, gotong saja mayat ayah ke kuburan ya."
Sang anak menjawab dengan lembut, " Ayah, rumah kita sangat jauh jaraknya
ke makam, sebaiknya naik ambulan saja ya." Si ayah langsung menimpali,
"Jangan anakku. Kalo naik mobil, ayah suka muntah-muntah!"
Ya, kebanyakan kita seperti itu. Lupa
diri. Tidak menempatkan diri dalam konteks yang benar. Mencampurbaurkan
perspektif kelampauan, kekinian, dan keakanan. Menilai realitas baru dengan
paradigma lama. Sungguh ini kesalah berfikir yang sangat fatal.
Mr. Bean dalam film-film pendeknya
sangat canggih menggunakan kesalahan kontekstual ini menjadi komedi yang
bermutu dan lucu. Konyol memang, tetapi sungguh menimbulkan kelucuan yang
sangat.
Namun, dalam kehidupan nyata, kesalahan
kontekstual atau lupa diri ini selalu menjadi pemicu kemarahan dan konflik.
Karena orang atau kejadian dinilai secara salah. Sebenarnya apa yang menjadi
sumber lupa diri jenis ini?
Bisa jadi egosentrisme atau keakuan
yang radikal. Seseorang menjadikan dirinya dalam kekiniannya sebagai ukuran
untuk menilai orang lain, kejadian, bahkan kemungkinan dirinya pada keakanan
atau masa depan. Keadaan makin parah jika orang tersebut juga menggunakan
secara bodoh, kelampuan atau masa lalunya sebagai dasar penilaian. Orang-orang
seperti ini sangat percaya, dengan segala ketololannya, bahwa pengalaman adalah
guru yang baik. Dia tidak tahu, pengalaman seringkali menjadi penjara yang
buruk. Itulah sebabnya pendidikan lebih penting daripada pengalaman. Karena
pendidikan membuka kesempatan bagi segala sesuatu yang baru, bahkan yang belum
pernah kita alami.
Semua kita pasti pernah mengalami
betapa sulitnya untuk keluar dari ego atau keakuan, mencoba dengan sadar dan
jernih menarik jarak dari diri sendiri, untuk bersikap objektif dan bijak.
Biasanya kesulitan itu berakar pada adanya kepentingan yang kita sembunyikan
dengan argumentasi yang canggih, kata-kata yang terpilih dan indah. Bahkan
dengan bukti-bukti yang tampaknya meyakinkan.
Kesulitan itu bisa pula berakar dari
penyakit jiwa yang jarang kita sadari, yaitu mau tunjukkan ke orang lain bahwa
diri kitalah yang paling benar, paling hebat dan paling tahu. Sikap seperti
inilah yang membuat kita tenggelam dalam subjektivisme yang menjurus ke
solipsisme. Merasa paling hebat sendiri, paling benar sendiri. Akhirnya, jadi
paling gila sendiri!
Tetapi lupa diri ini, kebiasaan
menjadikan diri sendiri sebagai ukuran, mengabaikan persepektif orang, dan
tidak mau tahu dengan berbagai kemungkinan perubahan dalam lintasan waktu,
bukan hanya monopoli manusia. Dalam Al Quran, surat Al Baqarah ada penjelasan
tentang rencana Allah untuk menciptakan manusia. Malaikat keberatan dan protes
atas rencana itu. Alasan keberatan adalah Malaikat menjadikan dirinya sebagai
ukuran. Bukankah kami selalu patuh dan beriman padaMu. Apakah akan Engkau
ciptakan makhluk yang akan melakukan pertumpahan darah? Tanya Malaikat.
Allah sampai melakukan pembuktian
dengan cara menghadapkan Malaikat dengan Adam. Malaikat akhirnya mengakui
kelebihan ciptaan Allah yang baru ini. Namun, ada di antara Malaikat yang tidak dapat menerima kenyataan, dan
sepenuhnya percaya pada perspekti dan kehebatan diri sendiri. Merekalah yang
kemudian disebut iblis, para pembangkang.
Boleh jadi, manusia yang menjadikan
dirinya sebagai ukuran dan percaya bahwa dirinyalah yang paling hebat,
sampai-sampai lupa diri adalah keturunan iblis. Tidak secara biologis, tetapi
secara genesis dan perilaku. Mereka adalah pelanjut tugas dan fungsi iblis di
antara manusia. Dengan kata lain mereka adalah para dajjali. Dajjal-dajal
kecil.
Para psikolog membuat kajian khusus
terkait dengan penyakit ini. Mereka mengembangkan psikologi bias. Mereka secara
ilmiah menjelaskan bagaimana ketenggalaman orang dalam perspektif diri sendiri
telah merusak diri sendiri dan orang lain. Berbagai kejahatan kemanusiaan sejak
zaman dulu sampai kini, berakar pada penyakit ini. Terorisme atas nama apapun
pasti berakar pada penyakit berbahaya ini. Rasisme yang kini menjadi persoalan
besar dalam persepakbolaan di Eropa, juga bersumber dari penyakit berbahaya
ini.
Edmund Husrell pencetus dan pendiri
filsafat dan psikologi fenomenologi memberi resep sederhana untuk mengatasi
penyakit berbahaya ini. Semboyan yang diperkenalkannya adalah KEMBALILAH KE
BENDA ITU SENDIRI. Secara aplikatif rumusannya adalah seperti ini. Bila ingin
memahami seseorang, sekelompok orang atau apaun, maka lakukan tiga langkah berikut.
Pertama, apapun yang dikatakan orang lain tentang seseorang, lupakanlah! Kedua,
apapun yang kita fikirkan tentang seseorang, lupakanlah! Ketiga,
berinteraksilah dengan orang itu secara intens dalam berbagai kondisi dalam
rentang waktu yang memadai, sampai kita sendiri yang menemukan apa, siapa, dan
bagiamana seseorang itu sesungguhnya.
Mengapa pendapat orang lain harus
dilupakan atau diabaikan. Karena bila kita menerima pendapat orang lain, yang
bisa positif atau negatif, apalagi sampai sepenuhnya percaya, maka kita tidak
pernah memahami seseorang yang ingin kita kenali itu dengan sebenar-benarnya.
Bisa jadi, semua pendapat orang lain itu menjadi tembok penghalang untuk
memahami jati diri seseorang yang ingin kita kenali.
Begitupun halnya dengan pendapat kita
sendiri. Apalagi pendapat kita sebelum secara mendalam mengenali orang
tersebut. Bukankah seringkali kita sudah memiliki perasaan tertentu pada
seseorang saat mengenalnya pertama kali? Inilah yang membuat sebagian orang
percaya pada ungkapan, cinta pada pandangan pertama. Aneh dan berbahaya
sebenarnya, koq bisa jatuh cinta padahal belum kenal. Kita harus brani
mengoreksi berulang-ulang pendapat kita tentang seseorang, bahkan bila sudah
sangat mengenalnya. Bukankah manusia adalah makhluk yang terus menerus berubah?
Inilah yang menyebabkan para filsuf menyebut manusia adalah misteri. Makhluk
yang berproses, bukan being tetapi becoming.
Langkah ketiga merupakan langkah
penting dan menentukan. Kita berinteraksi secara intens dalam berbagai keadaan,
kondisi, dan situasi. Mengapa harus intens dalam berbagai keadaan, kondisi, dan
situasi. Karena perilaku orang di kantor bisa berbeda dengan di rumah. Sikap
orang bisa sangat tidak sama saat punya uang dan bokek. Ya, kita harus mengenal
semua sisi orang itu. Sampai akhirnya kita menemukan sendiri hakikat atau
sejatinya orang itu. Namun harus disadari, kesimpulan kita tentang manusia
tidak boleh definitif dan tuntas. Meskipun kita telah berinteraksi secara
intens dengannya. Sebab, manusia adalah makhluk paling rentan dan suka membuat
kejutan.
Langkah ketiga tidak dapat kita lakukan
dengan baik bila tidak dilandasi oleh semangat empati. Empati bermakna memahami
orang lain sebagaimana orang itu memahami dan menghayati hidupnya. Ini
mengharuskan kita rela menerima dan masuk ke dalam perspektif orang lain. Untuk
sementara kita harus 'mengubur' perspektif diri sendiri. Praktik ini sama
sekali tidak mudah. Oleh sebab itu,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
setiap komentar yang masuk akan terkirim secara langsung ke alamat email pribadi Bapak DR. Nusa Putra, S.Fil, M.Pd