Sabtu, 16 November 2013

PENYAKIT BERBAHAYA: LUPA DIRI!



Ini kisah manusia. Diri kita semua, tanpa kecuali. Seorang ayah yang sakit parah berpesan pada anaknya, "Anakku, bila ayah wafat nati, gotong saja mayat ayah ke kuburan ya." Sang anak menjawab dengan lembut, " Ayah, rumah kita sangat jauh jaraknya ke makam, sebaiknya naik ambulan saja ya." Si ayah langsung menimpali, "Jangan anakku. Kalo naik mobil, ayah suka muntah-muntah!"

Ya, kebanyakan kita seperti itu. Lupa diri. Tidak menempatkan diri dalam konteks yang benar. Mencampurbaurkan perspektif kelampauan, kekinian, dan keakanan. Menilai realitas baru dengan paradigma lama. Sungguh ini kesalah berfikir yang sangat fatal.

Mr. Bean dalam film-film pendeknya sangat canggih menggunakan kesalahan kontekstual ini menjadi komedi yang bermutu dan lucu. Konyol memang, tetapi sungguh menimbulkan kelucuan yang sangat.

Namun, dalam kehidupan nyata, kesalahan kontekstual atau lupa diri ini selalu menjadi pemicu kemarahan dan konflik. Karena orang atau kejadian dinilai secara salah. Sebenarnya apa yang menjadi sumber lupa diri jenis ini?

Bisa jadi egosentrisme atau keakuan yang radikal. Seseorang menjadikan dirinya dalam kekiniannya sebagai ukuran untuk menilai orang lain, kejadian, bahkan kemungkinan dirinya pada keakanan atau masa depan. Keadaan makin parah jika orang tersebut juga menggunakan secara bodoh, kelampuan atau masa lalunya sebagai dasar penilaian. Orang-orang seperti ini sangat percaya, dengan segala ketololannya, bahwa pengalaman adalah guru yang baik. Dia tidak tahu, pengalaman seringkali menjadi penjara yang buruk. Itulah sebabnya pendidikan lebih penting daripada pengalaman. Karena pendidikan membuka kesempatan bagi segala sesuatu yang baru, bahkan yang belum pernah kita alami.

Semua kita pasti pernah mengalami betapa sulitnya untuk keluar dari ego atau keakuan, mencoba dengan sadar dan jernih menarik jarak dari diri sendiri, untuk bersikap objektif dan bijak. Biasanya kesulitan itu berakar pada adanya kepentingan yang kita sembunyikan dengan argumentasi yang canggih, kata-kata yang terpilih dan indah. Bahkan dengan bukti-bukti yang tampaknya meyakinkan.

Kesulitan itu bisa pula berakar dari penyakit jiwa yang jarang kita sadari, yaitu mau tunjukkan ke orang lain bahwa diri kitalah yang paling benar, paling hebat dan paling tahu. Sikap seperti inilah yang membuat kita tenggelam dalam subjektivisme yang menjurus ke solipsisme. Merasa paling hebat sendiri, paling benar sendiri. Akhirnya, jadi paling gila sendiri!

Tetapi lupa diri ini, kebiasaan menjadikan diri sendiri sebagai ukuran, mengabaikan persepektif orang, dan tidak mau tahu dengan berbagai kemungkinan perubahan dalam lintasan waktu, bukan hanya monopoli manusia. Dalam Al Quran, surat Al Baqarah ada penjelasan tentang rencana Allah untuk menciptakan manusia. Malaikat keberatan dan protes atas rencana itu. Alasan keberatan adalah Malaikat menjadikan dirinya sebagai ukuran. Bukankah kami selalu patuh dan beriman padaMu. Apakah akan Engkau ciptakan makhluk yang akan melakukan pertumpahan darah? Tanya Malaikat.

Allah sampai melakukan pembuktian dengan cara menghadapkan Malaikat dengan Adam. Malaikat akhirnya mengakui kelebihan ciptaan Allah yang baru ini. Namun, ada di antara Malaikat  yang tidak dapat menerima kenyataan, dan sepenuhnya percaya pada perspekti dan kehebatan diri sendiri. Merekalah yang kemudian disebut iblis, para pembangkang.

Boleh jadi, manusia yang menjadikan dirinya sebagai ukuran dan percaya bahwa dirinyalah yang paling hebat, sampai-sampai lupa diri adalah keturunan iblis. Tidak secara biologis, tetapi secara genesis dan perilaku. Mereka adalah pelanjut tugas dan fungsi iblis di antara manusia. Dengan kata lain mereka adalah para dajjali. Dajjal-dajal kecil.

Para psikolog membuat kajian khusus terkait dengan penyakit ini. Mereka mengembangkan psikologi bias. Mereka secara ilmiah menjelaskan bagaimana ketenggalaman orang dalam perspektif diri sendiri telah merusak diri sendiri dan orang lain. Berbagai kejahatan kemanusiaan sejak zaman dulu sampai kini, berakar pada penyakit ini. Terorisme atas nama apapun pasti berakar pada penyakit berbahaya ini. Rasisme yang kini menjadi persoalan besar dalam persepakbolaan di Eropa, juga bersumber dari penyakit berbahaya ini.

Edmund Husrell pencetus dan pendiri filsafat dan psikologi fenomenologi memberi resep sederhana untuk mengatasi penyakit berbahaya ini. Semboyan yang diperkenalkannya adalah KEMBALILAH KE BENDA ITU SENDIRI. Secara aplikatif rumusannya adalah seperti ini. Bila ingin memahami seseorang, sekelompok orang atau apaun, maka lakukan tiga langkah berikut. Pertama, apapun yang dikatakan orang lain tentang seseorang, lupakanlah! Kedua, apapun yang kita fikirkan tentang seseorang, lupakanlah! Ketiga, berinteraksilah dengan orang itu secara intens dalam berbagai kondisi dalam rentang waktu yang memadai, sampai kita sendiri yang menemukan apa, siapa, dan bagiamana seseorang itu sesungguhnya.

Mengapa pendapat orang lain harus dilupakan atau diabaikan. Karena bila kita menerima pendapat orang lain, yang bisa positif atau negatif, apalagi sampai sepenuhnya percaya, maka kita tidak pernah memahami seseorang yang ingin kita kenali itu dengan sebenar-benarnya. Bisa jadi, semua pendapat orang lain itu menjadi tembok penghalang untuk memahami jati diri seseorang yang ingin kita kenali.

Begitupun halnya dengan pendapat kita sendiri. Apalagi pendapat kita sebelum secara mendalam mengenali orang tersebut. Bukankah seringkali kita sudah memiliki perasaan tertentu pada seseorang saat mengenalnya pertama kali? Inilah yang membuat sebagian orang percaya pada ungkapan, cinta pada pandangan pertama. Aneh dan berbahaya sebenarnya, koq bisa jatuh cinta padahal belum kenal. Kita harus brani mengoreksi berulang-ulang pendapat kita tentang seseorang, bahkan bila sudah sangat mengenalnya. Bukankah manusia adalah makhluk yang terus menerus berubah? Inilah yang menyebabkan para filsuf menyebut manusia adalah misteri. Makhluk yang berproses, bukan being tetapi becoming.

Langkah ketiga merupakan langkah penting dan menentukan. Kita berinteraksi secara intens dalam berbagai keadaan, kondisi, dan situasi. Mengapa harus intens dalam berbagai keadaan, kondisi, dan situasi. Karena perilaku orang di kantor bisa berbeda dengan di rumah. Sikap orang bisa sangat tidak sama saat punya uang dan bokek. Ya, kita harus mengenal semua sisi orang itu. Sampai akhirnya kita menemukan sendiri hakikat atau sejatinya orang itu. Namun harus disadari, kesimpulan kita tentang manusia tidak boleh definitif dan tuntas. Meskipun kita telah berinteraksi secara intens dengannya. Sebab, manusia adalah makhluk paling rentan dan suka membuat kejutan.

Langkah ketiga tidak dapat kita lakukan dengan baik bila tidak dilandasi oleh semangat empati. Empati bermakna memahami orang lain sebagaimana orang itu memahami dan menghayati hidupnya. Ini mengharuskan kita rela menerima dan masuk ke dalam perspektif orang lain. Untuk sementara kita harus 'mengubur' perspektif diri sendiri. Praktik ini sama sekali tidak mudah. Oleh sebab itu,

TIDAK PERNAH MUDAH MENJADI ORANG BAIK YANG MEMILIKI FIKIRAN TERBUKA DAN BERSIKAP BIJAK.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

setiap komentar yang masuk akan terkirim secara langsung ke alamat email pribadi Bapak DR. Nusa Putra, S.Fil, M.Pd